MAHASISWA BERSUARA: Narasi, Negosiasi Kuasa, dan Politik dalam Bingkai Kamera
Empati visual telah menjadi valuta baru dalam dunia perpolitikan. Kita diajak menyukai, membagikan, dan terharu, tetapi tidak diajak untuk berpikir.

Herlin Septiani
Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Universitas Pasundan (Unpas) Bandung
19 Juni 2025
BandungBergerak.id – Di era digital ini, kekuasaan tidak lagi bersandar pada legitimasi suara rakyat semata, melainkan juga pada kecakapan mencitrakan diri dalam bingkai kamera. Politik tidak hanya berjalan di ruang sidang dan rapat pleno saja, tetapi juga berseliweran di lini masa, menjadi sorotan konten, bukan konten sorotan.
Menurut pengamat komunikasi politik R. Suryo Khasabu, media sosial telah menjadi alat utama bagi politisi untuk membentuk citra diri dan berinteraksi langsung dengan masyarakat, memungkinkan mereka menyampaikan pesan politik secara lebih personal dan emosional.
Hari ini saya menyaksikan gaya kepemimpinan yang lebih sering tampil dalam format video satu menit, potongan kisah heroik, dan narasi kepedulian yang dibungkus secara sinematik. Bukan hanya negara yang sedang bekerja, tetapi juga algoritma yang sedang mengabdi. Lalu rakyat? Rakyat hanya dijadikan audiens permanen, disuguhi tayangan kepemimpinan bergaya rakyat, padahal substansinya sering kali jauh dari rakyat itu sendiri.
Tak heran bila beberapa pejabat seperti halnya Dedi Mulyadi yang lebih akrab disapa Kang Dedi, aktif menampilkan dirinya sedang menolong warga miskin, mencium tangan orang tua, atau tidur di gubuk reot. Semua terekam dengan kamera yang kebetulan seperti sudah biasa menyala.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Menimbang Penggunaan Sedotan Beras untuk Menekan Produksi Sampah Plastik
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Kekerasan Seksual pada Tragedi Mei 1998 Dianggap Hanya Cerita
MAHASISWA BERSUARA: Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Strategi Membangun Sumber Daya Manusia yang Berkualitas di Papua
Gimik Kerakyatan dalam Bingkai Media Sosial
Gaya komunikasi semacam ini menjelma menjadi gimik kerakyatan, di mana wajah pemimpin yang menyapa warung, membantu warga, atau sekadar memakai sandal jepit di lokasi bencana dikemas apik, dibagikan berulang, divalidasi lewat like dan dislike, serta disebarkan dalam jejaring simpati.
Kesan yang muncul adalah ingin terlihat sebagai pemimpin "sederhana” Tetapi, apakah benar kesederhanaan itu adalah kenyataan? Atau hanya dramaturgi digital yang sengaja dipentaskan untuk menutupi defisit empati kebijakan?
Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, menyebut bahwa pencitraan semacam ini telah menjadi “sihir politik” yang menciptakan ilusi keberpihakan tanpa transformasi nyata. Misalnya, seperti Presiden Indonesia ke-7, Jokowi pernah tidur di rumah korban banjir di Garut, yang langsung terekam media dan disiarkan ke publik. Meski banyak yang mengapresiasi, sejumlah analis politik menyebut bahwa aksi ini tak lepas dari strategi komunikasi empati visual, di mana kesan sederhana dan dekat dengan rakyat dijadikan komoditas citra.
Mungkin memang di situlah letak kecanggihan trik ini, yaitu ia tak meminta rakyat berpikir, hanya dibuat untuk cukup merasa saja. Lalu, dari rasa itu muncullah kepercayaan yang tidak lagi membutuhkan verifikasi. Dalam politik, kepolosan bisa dijahit, kehangatan bisa dikurasi, dan kesederhanaan bisa direkayasa dengan pencahayaan yang baik serta caption yang menyentuh. Tapi dalam kehidupan nyata, kenyataan tak pernah bisa disunting. Namun sayangnya, masih banyak yang terlalu percaya dan memilih layar yang jernih dibandingkan kenyataan yang keruh.
Dulu, rakyat diminta mendengar. Kini, rakyat diminta ikut merasakan, namun tidak diberi ruang untuk bertanya, apalagi mempertanyakan. Ketika kepemimpinan berubah menjadi konten empati visual, maka kritik yang masuk bisa saja dianggap sebagai kebencian terhadap "sosok baik hati".
Sementara di balik layar, indikator pembangunan amburadul, kualitas demokrasi stagnan, dan keadilan sosial tersendat oleh birokrasi yang tetap feodal, semua itu tidak viral, dan karenanya dianggap tidak penting.
Nanang Trenggono, selaku pengamat komunikasi mengatakan bahwa media sosial membentuk sikap politik yang reaktif dan emosional, bukan rasional. Maka, ketika seorang pejabat membantu warga sambil direkam oleh kamera, rakyat akan merasa tersentuh, tapi lupa bertanya mengapa warga itu tetap miskin selama kepemimpinannya berlangsung?
Kita diajak menangis atas penderitaan yang semestinya tak perlu terjadi, tapi kita pun tidak diberi ruang untuk bertanya. Empati visual telah menjadi valuta baru dalam dunia perpolitikan. Satu pelukan di depan kamera bisa menutup satu dekade abai terhadap kebijakan nyata. Kita diajak menyukai, membagikan, dan terharu, tetapi tidak diajak untuk berpikir.
Barangkali, yang lebih tragis dari kemiskinan yang terus berlangsung adalah ketika kemiskinan itu dijadikan panggung yang selalu layak untuk sebuah konten.
Rakyat harus kembali kritis, bukan hanya terhadap lawan politik, tapi terutama terhadap wajah-wajah kekuasaan yang terlalu sering menyebut kata “rakyat” tanpa menyertakan keberpihakan yang konkret. Kita perlu membedakan antara empati yang berpolitik, dan politik yang menjual empati.
Kritik Merupakan Tanggung Jawa Konstitusional
Pengamat politik, Dr. Arie Sudjito memaparkan bahwa dalam demokrasi, kekuasaan harus terus-menerus diuji dan dipertanyakan oleh publik, bukan hanya diterima sebagai tontonan yang menyentuh hati. Maka ketika pemimpin lebih banyak muncul di reels ketimbang di forum publik, sudah waktunya rakyat mengganti tombol “suka” dengan pertanyaan ”apakah ada yang benar-benar berubah setelah adanya konten ini?”
Jika kekuasaan hari ini sibuk bermain dalam teater citra, maka kritik adalah panggung tempat rakyat menuntut, bukan hanya sekadar akting yang menyentuh, tapi juga kebijakan yang menyeluruh.
Beberapa tahun silam, publik dibuat kagum oleh aksi seorang gubernur yang dengan santainya masuk ke dalam gorong-gorong. Ia bukan teknisi, bukan pekerja kebersihan, tapi orang nomor satu di ibu kota Jakarta saat itu, yaitu sosok Joko Widodo atau yang lebih dikenal sebagai Jokowi.
Video itu viral di media sosial yang menjadikannya sebagai sosok ikon pemimpin yang sederhana, bersih, dan merakyat. Seseorang yang tidak segan menyingsingkan celana, masuk ke selokan yang bau demi rakyatnya. Sebuah simbolisasi kesungguhan dan kesederhanaan.
Namun, waktu berjalan dan ternyata drama satu menit di gorong-gorong tidak cukup untuk menyelamatkan demokrasi. Setelah satu dekade menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, nama Jokowi kini justru tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin yang menggadaikan demokrasi. Ia memberi karpet merah bagi anaknya dalam kontestasi pemilihan presiden. Mahkamah digoyang, etika dilipat. Kepolosan yang dulu dielu-elukan kini menjelma jadi kepentingan dinasti yang terang-terangan. Hal yang paling menyakitkan adalah fakta bahwa kita pernah percaya.
Kini, pola itu kembali hadir pada sosok Dedi Mulyadi, sang mantan bupati Purwakarta, yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, semakin aktif menyebarkan video dirinya yang sedang mencium tangan nenek tua, menolong tukang rongsok, menyambangi gubuk reyot, menyusuri desa, dan dengan selalu kamera yang menyala, lengkap dengan suntingan musik melankolis. Banyak yang tersentuh akan konten tersebut, banyak pula yang percaya.
Ia digadang-gadang sebagai “penerus gaya Jokowi.” Ia tahu bahwa rakyat mencintai narasi kerakyatan, bukan karena substansinya, tetapi karena keakrabannya di layar.
Tidak berhenti di sana, sosok Farhan yang merupakan Wali Kota Bandung yang baru, juga terlihat mulai menempuh jalur yang sama. Ia merekam kunjungan ke gang-gang sempit, menyapa pedagang, mengajak ngobrol anak-anak kecil. Ia mengerti bahwa politik hari ini lebih dekat ke konten daripada konstitusi.
Mengapa mereka melakukan hal itu? Karena kita, rakyat, masih bisa ditaklukkan oleh visual empati, meski realitas tidak sebaik editannya.
Maka kini, saya bertanya pada diri sendiri dan juga pada kita semua, apakah kita masih akan percaya pada pemimpin yang selalu tampil di layar tapi absen pada kebijakan? Apakah kita masih akan terjebak dalam skenario sederhana yang ditulis untuk algoritma, bukan untuk rakyat?
Sebagai rakyat, sebagai pengguna media sosial, sebagai warga negara yang pernah dikecewakan, saya belajar satu hal, yaitu tidak semua yang viral itu nyata dan juga tidak semua yang menyentuh itu benar. Kita harus belajar menjadi pemirsa yang tidak hanya menonton, tetapi juga memahami. Kita harus berani mengecek, menggugat, dan bahkan menolak jika perlu, karena jika tidak, kita hanya akan menjadi figuran abadi dalam panggung kekuasaan yang sama, di mana mereka bermain peran, dan kita menjadi penonton yang selalu lupa bahwa kita punya suara.
Jangan biarkan satu gimik mengikat satu generasi. Jangan biarkan satu narasi membutakan satu bangsa. Jangan biarkan kita, tertipu dua kali oleh skenario yang sama.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara