• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Ketika Kekerasan Seksual pada Tragedi Mei 1998 Dianggap Hanya Cerita

MAHASISWA BERSUARA: Ketika Kekerasan Seksual pada Tragedi Mei 1998 Dianggap Hanya Cerita

Penyangkalan Fadli Zon mengenai pemerkosaan 1998 sebagai cerita, memupus harapan pemberian ruang setara bagi perempuan dalam sejarah Indonesia.

Mukhtar Abdullah

Mahasiswa UNJ. Aktif di Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) di Departemen Pendidikan. Gemar jalan-jalan keliling museum kala senggang.

Penulisan ulang sejarah dikhawatirkan menjadi alat legitimasi kekuasaan politik (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

17 Juni 2025


BandungBergerak.id – Seno Gumira Ajidarma menghadirkan Clara sebagai tokoh fiksi di dunia nyata kerusuhan Mei 1998. Clara atawa Wanita yang Diperkosa (1998), berisi kepedihan seorang perempuan Tionghoa yang diperkosa ramai-ramai di tengah jalan tol Jakarta. Ayahnya dengan getir menulis pesan pasca jadi saksi tiga anggota keluarga dirudapaksa banyak orang, "Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat."

Selang 27 tahun sejak cerpen Seno diterbitkan, Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menganggap pemerkosaan selama kerusuhan Mei tetap sebatas cerita. Keyakinannya mutlak. Bahkan mengajak berdebat bagi yang menolak. Dengan percaya diri ia berujar, "Itu enggak pernah ada proof-nya. Itu adalah cerita. Kalau ada tunjukkan. Ada enggak di buku sejarah?"

Pernyataan Fadli sudah cukup memperlihatkan keberpihakannya sebagai penyodor wacana penulisan ulang sejarah Indonesia. Dia bahkan amnesia terhadap peristiwa sejarah, yang Fadli merupakan salah satu saksinya. Mungkin ia lupa selama Mei 1998 pernah angkat toa menuntut Reformasi. Atau kala itu, Fadli tak sempat membaca surat kabar berisi berita penculikan aktivis, penembakan mahasiswa Trisakti dan tentunya kerusuhan yang jadi pemantik pemerkosaan massal.

Kalau ditanya siapa yang mengakui adanya pemerkosaan massal selama kerusuhan, tentu bukan generasi muda hari ini yang bisa menjawab. Banyak dari kita baru lahir, mungkin kalau sudah, masih dibedong dan disusui di rumah. Biarkan pernyataan Presiden B. J. Habibie pada 15 Juli 1998 menjelaskannya, "Oleh karena itu, saya atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, mengutuk berbagai aksi kekerasan pada peristiwa kerusuhan di berbagai tempat secara bersamaan, termasuk kekerasan terhadap perempuan."

Pernyataan Habibie tak keluar tanpa sebab. Itu didorong oleh koalisi Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Mereka menuntut presiden agar mengutuk peristiwa kekerasan dan pemerkosaan, serta melakukan investigasi menyeluruh atas peristiwa tersebut. Maka dibentuklah TIM Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada 23 Juli untuk menelusuri kerusuhan dalam kurun waktu 13-15 Mei 98.

Hasil kerja komisi ini secara gamblang menunjukkan peristiwa pemerkosaan massal benar terjadi. Dalam laporan TGPF tahun 1999, diklasifikasi jenis perkosaan dan kekerasan yang dialami perempuan; (1) perkosaan: 52 korban; (2) perkosaan dengan penganiayaan: 14 korban; (3) penyerangan dan penganiayaan seksual: 10 korban; (4) pelecehan seksual: 9 korban.

Mereka juga menemukan pemerkosaan dan kekerasan terjadi sebelum dan sesudah kerusuhan itu. Di Medan selama kerusuhan anti-Tionghoa, 4-8 Mei 1998, dilaporkan ratusan perempuan menjadi korban. Di Jakarta pada 2 Juli terdapat dua kasus baru kekerasan perempuan. Sedangkan, di Solo pada 8 Juli terdapat temuan serupa.

TGPF merekomendasikan agar pemerintah melakukan pengusutan lebih jauh, memberikan perlindungan terhadap korban serta saksi, dan pemberian kompensasi. Penyelidikan lebih lanjut dimaksudkan untuk menelusuri indikasi keterlibatan sejumlah elite politik dan militer, seperti Wiranto dan Prabowo Subianto selama peristiwa tersebut.

Prabowo Subianto termasuk tokoh yang berpikir keras agar Soeharto soft landing. Sifat temperamentalnya, didorong hasrat mengabdi ke mertua, membuat jalan apa pun akan ditempuhnya. Ia terindikasi membentuk Tim Mawar yang menjalankan operasi penculikan aktivis. Terkait kerusuhan, TGPF menunjukkan fakta adanya keterlibatan aparat keamanan di Jakarta, Medan dan Solo sebagai provokator awal. Khususnya, di Solo, terdapat temuan provokasi dilakukan orang berbaret merah.

Perlu digarisbawahi, pemerkosaan dan kekerasan massal terjadi bukan sebagai peristiwa yang berdiri sendiri. Melainkan hadir dari kulminasi berbagai kejadian politik dan ekonomi selama tahun 1998. Ambruknya perekonomian nasional, bersamaan meningkatnya demonstrasi menuntut Soeharto mundur membuat sejumlah elite memikirkan jalan alternatif suksesi nasional.

Krisis ekonomi dihembuskan Orde Baru menjadi sentimen rasial anti-Cina. Makanya di banyak tempat kerusuhan didorong oleh motif ini, dan banyak perempuan beretnis Cina jadi sasaran pemerkosaan massal. Sedangkan, gerakan pro-demokrasi dihantui beragam represi, mulai dari cap komunisme, penculikan, hingga penembakan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Ketika Sekolah Gagal Memberikan Makna pada Reformasi
MAHASISWA BERSUARA: Penulisan Ulang Sejarah Nasional dalam Bayang-bayang Novel 1984
MAHASISWA BERSUARA: Post-Truth dan Runtuhnya Rasionalitas Manusia, Ketika Algoritma Mengatur Kebenaran

Tak Ada Sejarah Bernada Positif Buat Perempuan

Proyek penulisan ulang sejarah, seperti dikatakan Fadli akan bernada positif. Nada ini dirangkai dengan dalih tidak mencari kesalahan. Alasan klasiknya, setiap zaman atau rezim pasti punya kekurangan dan kelebihan. Ini dimaksudkan agar sejarah tak menjadi alat pemecah belah bangsa.

Sejarah bernada positif sudah barang pasti tak menyediakan lembaran untuk pemerkosaan massal Mei 1998. Jangankan bicara faktanya, pemerkosaan sebagai perilaku tentu dicap aib yang harus ditutupi. Fadli seharusnya sadar untuk menjawab pernyataan sendiri, di mana letak peristiwa tersebut dalam buku sejarah? Tidak ada.

Sekali lagi, perempuan dipinggirkan dalam wacana historiografi Indonesia. Sejarah kita memang lebih banyak menonjolkan figur laki-laki sebagai aktor utama. Padahal, banyak tokoh perempuan terlibat dalam pergumulan republik. Misalnya, ketika Agresi Militer Belanda II, sejumlah perempuan di Yogyakarta mengorganisir pembentukan dapur umum untuk membantu penduduk.

Kita juga lebih tahu Kongres Pemuda, tinimbang Kongres Perempuan Indonesia. Apalagi kalau bicara sejarah organisasi-organisasi perempuan, seperti Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) –kelak menjadi Gerwani, imajinasi di kepala banyak orang adalah kebengisan. Sebagaimana narasi umum menggambarkan Gerwani melakukan pesta seks dan menyilet kemaluan para jenderal.

Lebih baik, Fadli Zon membaca sendiri literatur alternatif mengenai gerakan perempuan Indonesia. Seperti, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaian  karya Cora Vreede-De Stures dan Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia karya Saskia Eleonar Weringga, bisa jadi contoh referensi bagaimana historiografi perempuan dituliskan. Kalau kiprah perempuan masih sebatas pelengkap sejarah dalam proyek itu, mustahil tragedi sejarah yang menimpa mereka dituliskan.

Penyangkalan Fadli mengenai pemerkosaan 1998 sebagai cerita, sebetulnya memupus harapan pemberian ruang setara bagi perempuan dalam sejarah Indonesia. Itu secara implisit turut mengakui impunitas terhadap pelaku pemerkosaan, yang bahkan sampai hari ini tak pernah diadili. Kalau peristiwa kekerasan massal seperti itu saja disangkal, mungkin banyak orang terdorong untuk menormalisasi kelakuannya terhadap perempuan.

Padahal pengakuan peristiwa pemerkosaan massal itu penting dilakukan saat ini. Ini untuk membuktikan keberpihakan negara kepada perempuan, dan tegas tak mendukung semua jenis kekerasan terhadapnya. Alih-alih menyangkal, pemerintah harusnya mengatakan peristiwa itu sebagai tragedi sejarah. Lewat itu, bangsa Indonesia bisa belajar betapa pentingnya untuk bersama-sama menjaga ingatan kolektif supaya tak berulang kembali di masa depan.

Kalau seperti ini, menjadi terang kecemasan banyak orang soal penulisan ulang sejarah Indonesia sebatas pemenuhan birahi kekuasaan semata. Sebagaimana dituliskan Seno, orang macam Fadli tak ubahnya tokoh dalam cerpen Clara yang bertugas, "menyulap kenyataan pahit menjadi menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik menjadi subversif –pokoknya selalu sesuai dengan kebutuhan".

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//