• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Ketika Sekolah Gagal Memberikan Makna pada Reformasi

MAHASISWA BERSUARA: Ketika Sekolah Gagal Memberikan Makna pada Reformasi

Kesadaran politik kolektif tidak pernah betul-betul ditimbulkan melalui institusi pendidikan negara.

Eka Farras Kurnia Firmansyah

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Membaca adalah salah satu jalan memperoleh keberanian untuk melawan feodalisme dan struktur kuasa. (Ilustrasi: Laurancia Melani)

30 Mei 2025


BandungBergerak.id – Saya adalah seorang anak yang lahir dan tumbuh di cengkeraman ibu kota, dalam asuhan kelas menengah, dengan berhasil menyelesaikan pendidikan wajib hingga taraf pendidikan yang berhasil menyentuh perguruan tinggi, dan mempelajari politik sebagai fokus keilmuannya. Kendati berangkat dari keluarga menengah, orang tua saya hanya mampu menyekolahkan saya di institusi pendidikan negeri. Pendidikan swasta terlampau jauh bagi kami. Melalui proses pendidikan di sekolah negeri, saya menemukan sesuatu yang mengganjal saya mengenai bagaimana pandangan saya (dan mungkin teman-teman sejawat saya) memandang diri sebagai entitas yang disebut sebagai masyarakat melalui pendidikan politik yang cukup abu-abu.

Tulisan ini menjadi terjemahan pribadi saya yang dipengaruhi oleh persinggungan saya dengan institusi pendidikan yang dikelola negara serta orang-orang di dalamnya. Saya berpandangan bahwa, entah secara disengaja atau tidak, kesadaran politik kolektif tidak pernah betul-betul ditimbulkan melalui institusi pendidikan negara yang akan kemudian saya kaitkan dengan bagaimana siswa didesain untuk menyikapi peringatan tahunan yang selalu digadang-gadang menjadi titik balik proses berdemokrasi kita: Reformasi.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Suara Rakyat di Era Digital, Peran Media Sosial Membentuk Populisme Modern
MAHASISWA BERSUARA: Kebijakan Kepala Daerah Harus Transparan
MAHASISWA BERSUARA: Mengkritisi Usulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Apakah Institusi Pendidikan Benar-benar Berupaya Membangkitkan Kesadaran Politik?

Dalam setiap jenjang sekolah yang pernah saya tempuh, selalu terdapat mata pelajaran  wajib, yaitu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dan pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pada jenjang pendidikan pertama (Sekolah Dasar) dan kedua (Sekolah Menengah Pertama), kedua mata pelajaran ini kurang lebihnya membicarakan hal-hal yang sifatnya umum, seperti gagasan mengenai Pancasila, fungsi-fungsi cabang kekuasaan, dan peristiwa-peristiwa sejarah yang sifatnya monumental dan “grandeure”. Kemudian, pada taraf pendidikan menengah atas (Sekolah Menengah Atas) fokus keilmuannya dipecah menjadi dua: Ilmu Sosial (IPS) dan Ilmu Eksak (IPA) walau mata pelajaran PPKN dan Sejarah tetap menjadi mata pelajaran yang wajib ditempuh oleh kedua koridor penjurusan tersebut.

Pada titik ini, sebetulnya rancangan pendidikan bagi siswa sudah cukup ideal. Mata pelajaran yang membahas kehidupan bernegara, hak dan kewajiban rakyat, serta peristiwa sejarah yang mempengaruhi perjalanan bangsa dan membentuk masyarakat masih konsisten dibicarakan sampai jenjang pendidikan menengah atas. Namun yang saya rasa menjadi batu besar mengganjal adalah bagaimana substansi mata pelajaran tersebut disampaikan kepada siswa.

Dalam pengalaman pendidikan saya, metode hafalan masih menjadi cara yang dianggap paling efektif dalam mengajar siswa. Sering kali kekakuan hafalan dijadikan indikator untuk melihat sejauh mana siswa mengerti materi pelajaran yang diajarkan. Terlebih lagi, bahan bacaan yang dihadirkan kerap kali tidak memantik dan hanya berputar-putar pada bahasan-bahasan normatif yang membosankan.

Metode-metode dialogis yang seharusnya hadir di tengah-tengah materi ilmu sosial hampir tidak pernah dihadirkan, terutama di jenjang sekolah dasar dan menengah pertama. Belakangan saya mengerti bahwa istilah ini disebut sebagai “Pendidikan Gaya Bank” yang dikemukakan oleh Paulo Freire, seorang pedagog asal Brazil. Model pendidikan macam ini memandang murid sebagai sebuah rekening kosong dan guru adalah nasabah yang harus mengisi rekening kosong tersebut agar bernilai tinggi.

Menurut pandangan Freire, cara mendidik seperti ini punya implikasi jangka panjang buruk terhadap siswa. Pendidikan yang menganggap siswa adalah makhluk tanpa pengetahuan dan guru sebagai sumber kebenarannya akan menciptakan individu-individu yang pasif, tidak kritis, tidak percaya diri, dan bahkan terhalang dari  pemahaman yang seharusnya mereka peroleh. Padahal, mata pelajaran PKN dan IPS di sekolah adalah arena pertama siswa untuk dapat secara penuh terpapar dalam proses belajar yang partisipatif, kritis dan penuh dengan pertentangan ide serta gagasan.

Pertanyaan mengenai “Mengapa harus Pancasila?” “Mengapa harus demokrasi?” “Mengapa Indonesia harus merdeka?” adalah pertanyaan yang saya pikir harus timbul di dalam ruang kelas, alih-alih hanya dihadirkan ceramah yang membicarakan segala pembenaran soal hal-hal tersebut. Di sana peran guru sebagai pendidik harus aktif, ia harus terlebih dulu memantik pertanyaan kritis terhadap materi yang ia ajarkan. Ia juga harus memberikan ruang bagi para siswa untuk sebebas-bebasnya mengemukakan pendapatnya tanpa buru-buru memberikan label “salah” dan “benar”. Segala macam perbedaan pendapat harus dapat diterima oleh seluruh individu di kelas, sehingga sedari awal siswa tidak gagap dan terbata-bata saat dihadapkan perbedaan gagasan yang sebetulnya dibutuhkan dalam kehidupan bernegara kelak.

Abai Soal Politik

Implikasi yang timbul dari kecacatan cara mengajar dapat berimbas pada abainya siswa saat disajikan persoalan nyata yang –telah atau sedang– terjadi di kehidupan sehari-hari akibat hilangnya daya kritis. Padahal, kita dapat melihat bahwa persoalan politik yang terjadi dapat berpengaruh sedemikian jauh pada kehidupan sehari-hari kita.

Jika kita membandingkan dengan negara seperti Perancis, iklim debat dan diskusi terbuka sudah menjadi metode ajar yang ditetapkan sejak akhir dekade 1990-an dalam Éducation Civique, Juridique et Sociale (ECJS), mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di sana. Cakupan materi yang dibahas dalam EJCS juga meliputi bahasan mengenai etika publik, partisipasi publik seperti demonstrasi, protes, dan bersuara, serta isu-isu fundamental kontemporer seperti gender, diskriminasi, hingga penggunaan ruang publik, selain bahasan normatif seperti institusi negara dan undang-undang. Selain itu, pemikiran filsuf-filsuf besar Perancis juga diikutsertakan menjadi bagian dari landasan materi yang diajar. Walau menitikberatkan pada sekularisme, tetapi di samping itu, tujuan pendidikan kewarganegaraan di Perancis jelas: Berusaha menciptakan masyarakat otonom yang sadar dan dapat membuat keputusan politik rasional (Dobuzinskis, 2008; Ruget, 2006; Sawyer & Zinigrad, 2023; Janmaat & Mons, 2023).

Walau memiliki sejarah panjang soal negara dan demokrasi, PKN dan pelajaran sejarah di Indonesia seperti belum bisa bicara banyak di luar topik-topik normatif mengenai fungsi institusi negara, menghafal butir undang-undang, dan peristiwa sejarah yang hanya mengulas kulit luarnya saja –setidaknya berdasarkan pengalaman saya. Padahal, Indonesia memiliki titik balik yang cukup signifika –walau belum maksimal– mengenai upaya melakukan demokratisasi 27 tahun silam.

Kisah Reformasi Lewat Bangku Sekolah, Apa yang Terjadi dan Bagaimana Seharusnya

Walau dinarasikan sebagai titik balik kembalinya demokrasi substansial dalam sistem pemerintahan, pembedahan peristiwa reformasi di bangku sekolah tidak pernah memberikan informasi yang memunculkan kesadaran atas bahaya yang terus mengancam demokrasi di masa depan secara lengkap dan lugas. Sajian berbasis teks yang tercantum di buku mata pelajaran sekolah hanya mengulas aspek kronologisnya saja. Padahal, peristiwa tersebut sejatinya merupakan upaya panjang untuk keluar dari cengkeraman otoritarianisme. Analisa sesederhana ini seharusnya bisa menjadi sesuatu yang dihidupkan dan ditanamkan di dalam ruang kelas.

Komplikasi dari metode belajar yang kurang efektif, minimnya analisa dalam materi dan proses mengajar, serta hilangnya kritisisme siswa menyebabkan peristiwa sejarah seperti reformasi hanya “masuk kuping kanan dan keluar di kuping kiri” tanpa benar-benar memberikan kesan berarti terhadap kesadaran politik. Padahal, Reformasi lewat mata pelajaran PKN dan Sejarah dapat menjadi gerbang awal paling strategis untuk melakukan penanaman kesadaran politik dan kritisisme siswa terhadap tindak-tanduk negara di masa kini, serta ancaman kekuasaan terhadap kemerdekaan rakyat (dalam arti seluas-luasnya).

Reformasi sebagai momentum bagi Indonesia kembali menjadi lebih demokratis dapat dijadikan refleksi bagi kondisi riil negara saat ini; apakah pemerintah masih berupaya menjalankan cita-cita reformasi atau justru sebaliknya. Hal selanjutnya yang dapat dibedah adalah bagaimana perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa ini kemudian menjalankan peran politiknya di masa kini, apakah visi mereka 27 tahun silam masih sejalan dengan perilakunya sekarang?

Reformasi tidak selayaknya hanya dijadikan kisah yang dituturkan di kelas tanpa elaborasi, analisa, dan pemaknaan lebih lanjut. Tidak seharusnya juga reformasi hanya dijadikan penanda atau checkpoint terhadap periode kepemimpinan rezim-rezim sebelumnya, sebab perjalanan historis rezim kekuasaan yang terjadi di Indonesia semuanya berhubungan antara satu sama lain.

Peristiwa reformasi, haruslah menjadi pemaknaan mendalam terhadap titik sejarah yang membuat siswa dan generasi berikutnya sadar atas kondisi politik dan posisi mereka sebagai masyarakat Indonesia secara lebih luas kelak. Mereka harus bisa memahami dan berpikir apakah sebenarnya Indonesia masih ada dalam cita-cita agungnya untuk menjadi negara yang demokratis atau sudah melenceng jauh dari tujuan tersebut.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//