MAHASISWA BERSUARA: Suara Rakyat di Era Digital, Peran Media Sosial Membentuk Populisme Modern
Media sosial mampu menyebarkan informasi dan populisme. Mereka juga dapat memperburuk disinformasi dan ketidakpahaman masyarakat.

Pahmi Novaris
Mahasiswa FISIP Unpad
6 Mei 2025
BandungBergerak.id - Kebangkitan populisme telah menjadi salah satu fenomena politik yang paling menonjol dan mengkhawatirkan dalam beberapa dekade terakhir di berbagai tempat di seluruh dunia. Perkembangan teknologi digital, terutama media sosial, sangat berperan dalam mempercepat dan menyebarkan ideologi populis ini.
Pesan populis sekarang dapat dengan cepat menjangkau audiens yang luas dan melampaui batas geografis melalui platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram yang menjadikannya tren global yang signifikan. Media sosial tidak hanya memberi pemimpin populis lebih banyak kesempatan untuk membangun basis massa yang kuat, tetapi juga memungkinkan penyebaran disinformasi yang dapat memanipulasi pendapat publik. Informasi yang tidak akurat sering kali menyebar lebih cepat daripada berita yang akurat, membuat cerita yang menguntungkan bagi gerakan populis menjadi lebih kuat.
Ini dapat menghasilkan echo chambers, di mana orang hanya diberikan pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka, yang dapat memperdalam polarisasi dalam masyarakat. Media sosial dapat meningkatkan partisipasi politik dengan memungkinkan orang untuk berpartisipasi dalam aksi politik dan diskusi, tetapi juga dapat mengurangi kepercayaan terhadap institusi konvensional. Banyak orang merasa bahwa pemerintah dan media massa tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan mereka. Akibatnya, mereka beralih ke pemimpin populis, yang menawarkan alternatif yang lebih mudah diakses dan langsung. Pemimpin populis sering menggunakan narasi "kita vs mereka", yang memperburuk krisis kepercayaan ini dan menimbulkan ketegangan antara rakyat dan elite politik.
Dalam politik, populisme merupakan fenomena yang muncul sebagai tanggapan terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap institusi dan pemimpin politik yang berkuasa. Populisme umumnya dapat digambarkan sebagai gerakan yang mengutamakan kepentingan rakyat banyak. Pendekatan ini sering kali menekankan kisah "kita vs mereka" antara orang-orang biasa dan elite. Sikap antielite, penggunaan narasi emosional, dan klaim representasi adalah ciri khas populisme.
Pemimpin politik populis sering mengkritik pihak-pihak yang berkuasa di bidang ekonomi dan politik, menggambarkan mereka sebagai sumber masalah yang dihadapi masyarakat. Mereka menciptakan ikatan yang kuat dengan orang-orang dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mendalam. Contoh nyata dari fenomena ini terlihat dalam pemilihan umum di berbagai negara, termasuk Indonesia, di mana pemimpin populis mendapatkan dukungan dengan berjanji untuk melakukan perubahan dan menekankan masalah yang terkait dengan perasaan tidak puas masyarakat, seperti halnya yang terjadi dalam pemilihan presiden 2019, di mana politik identitas memiliki pengarauh sangat besar.
Media sosial adalah platform digital yang memungkinkan orang berinteraksi, berbagi, dan bekerja sama secara online. Media sosial memainkan banyak peran penting dalam komunikasi politik, seperti berkomunikasi langsung, berbagi informasi, dan mendorong dukungan. Media sosial adalah alat yang sangat berguna untuk memperkuat narasi populis dalam politik populis. Instagram, Facebook, dan X memungkinkan politikus berinteraksi langsung dengan masyarakat dan menyebarkan pesan mereka dengan cepat ke audiens yang lebih besar. Pemimpin politik memanfaatkan media sosial untuk membangun identitas mereka sendiri dan menekankan masalah kontroversial yang menarik perhatian publik.
Namun, efek buruk penggunaan media sosial tidak dapat diabaikan. Disinformasi sering menyebabkan ketidaksepakatan politik, ketidakpercayaan terhadap institusi, dan perpecahan masyarakat. Dalam konteks ini, gerakan populisme di Indonesia tidak selalu dilihat sebagai manifestasi budaya demokrasi yang baik. Sebaliknya, populisme ekstrem yang dipromosikan melalui media sosial dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi demokratis dan meningkatkan ketegangan sosial.
Dalam hal ini media sosial sebagai alat yang sangat berguna bagi pemimpin politik untuk berinteraksi langsung dengan publik. Pemimpin dapat menggunakan platform seperti X, Facebook, dan Instagram untuk menyampaikan pesan mereka kepada masyarakat secara langsung tanpa menggunakan media konvensional. Contoh langsung dari hal ini adalah penggunaan X oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Melalui akun X-nya, Trump tidak hanya menyampaikan pendapat dan kebijakannya, tetapi juga berkomunikasi dengan pengikutnya, menjawab pertanyaan, dan secara langsung menanggapi kritik.
Pemimpin dapat membentuk cerita mereka sendiri tanpa dipengaruhi oleh media massa karena pendekatan ini meningkatkan kedekatan dan keterlibatan mereka dengan masyarakat. Oleh karana itu media sosial memiliki banyak manfaat, salah satunya adalah kemampuan mereka untuk menyebarkan informasi dengan cepat; namun, mereka juga membawa risiko besar untuk menyebarkan informasi yang salah. Opini publik dapat sangat dipengaruhi oleh informasi yang beredar di media sosial.
Di sisi lain, hoaks atau informasi palsu dapat menyebar dengan cepat, menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian. Misalnya, berita palsu tentang calon tertentu dapat memengaruhi persepsi pemilih dan mengubah hasil pemilu. Studi menunjukkan bahwa berita palsu lebih sering dibagikan di media sosial daripada berita asli, yang dapat memperburuk polarisasi politik dan mengganggu proses pengambilan keputusan. Media sosial juga sangat penting untuk mendorong dukungan untuk berbagai gerakan politik. Hal ini telah menjadi alat penting bagi aktivis dan pemimpin populis karena mereka dapat menjangkau audiens yang luas dan mengatur aksi dengan efektif.
Gerakan #BlackLivesMatter, yang menggerakkan jutaan orang di Amerika Serikat untuk berpartisipasi dalam demonstrasi dan kampanye kesadaran melalui media sosial, menunjukkan lebih dari 10 juta orang berpartisipasi dalam protes pada tahun 2020, sebagian besar diorganisir melalui media sosial. Selain itu, demonstrasi dan kampanye politik telah dilakukan melalui media sosial di Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh aksi mahasiswa yang menuntut reformasi kebijakan.
Meskipun demikian, media sosial juga dapat memecah masyarakat melalui polarisasi pendapat. Fenomena ini terjadi ketika individu atau kelompok terjebak dalam "gelembung informasi", di mana mereka hanya terpapar pada perspektif yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Contoh nyata dari polarisasi ini dapat ditemukan dalam pemilihan umum Indonesia, di mana perdebatan tentang calon presiden sering kali menghasilkan perselisihan antarpendukung fanatik mereka. Misalnya, selama pemilihan presiden 2019 media sosial menjadi tempat perselisihan ideologis; pendukung masing-masing kandidat saling menyerang dan memberikan bukti yang salah. Ini menimbulkan ketegangan sosial yang signifikan dan membatasi peluang untuk percakapan konstruktif. Di sini misinformasi menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh masyarakat di era digital. Informasi palsu dapat menyebar dengan cepat di media sosial, memengaruhi persepsi masyarakat dan membuat mereka bingung.
Misalnya, selama pandemi Covid-19, banyak informasi yang salah beredar tentang cara virus menyebar dan seberapa efektif vaksin, yang membuat masyarakat ragu. Penyebaran informasi yang salah memiliki dampak negatif terhadap demokrasi selain merugikan individu. Jika masyarakat tidak dapat membedakan informasi yang benar dan salah, kepercayaan pada sistem demokrasi akan terganggu dan proses pengambilan keputusan publik akan terganggu.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Kerusakan Ekologis Ulah Perusahaan Tambang, Masyarakat yang Terdampak
MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Membangun Tembok Pemisah Kampus?
MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Kastrat
Literasi Media
Populisme digital menyebabkan masalah yang sangat kompleks bagi sistem demokrasi. Populisme yang terjadi dalam media sosial dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi, menambah ketidakstabilan politik, dan meningkatkan polarisasi. Dalam hal ini, mencari solusi yang dapat membantu mengatasi masalah ini sangat penting. Langkah berikutnya adalah bagaimana cara meningkatkan literasi media di berbagai kalangan masyarakat. Ini akan memungkinkan orang lebih kritis dalam memilih apa yang mereka lihat. Selain itu, platform media sosial harus bertanggung jawab untuk mengawasi konten yang beredar dan menghentikan penyebaran informasi yang tidak benar. Untuk membuat ekosistem informasi yang sehat dan mendukung demokrasi yang lebih kuat, pemerintah, masyarakat sipil, dan perusahaan teknologi harus bekerja sama.
Peran media sosial yang sangat penting dalam dinamika politik dan populisme saat ini, di mana memungkinkan pemimpin untuk mobilisasi dukungan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat. Sebaliknya, media sosial juga dapat memecah belah masyarakat melalui pembagian pendapat dan penyebaran informasi yang salah. Fenomena seperti ini berpotensi mengganggu demokrasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi, dan menimbulkan tantangan baru bagi stabilitas politik. Seperti yang ditunjukkan oleh analisis yang telah dilakukan, jelas bahwa media sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap populisme, baik dengan cara yang positif maupun negatif. Media sosial memiliki kemampuan untuk menyebarkan informasi dengan cepat, namun mereka juga dapat memperburuk disinformasi dan ketidakpahaman masyarakat.
Untuk ke depannya semua pihak yang bertanggung jawab, termasuk pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat sipil, harus bekerja sama untuk membuat lingkungan informasi yang sehat. Meningkatkan literasi media masyarakat merupakan langkah yang sangat penting untuk memungkinkan orang untuk menyaring informasi dengan bijak dan berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi politik. Selain itu, platform media sosial harus lebih ketat dalam mengawasi konten yang beredar, menciptakan sistem yang transparan, dan memerangi penyebaran misinformasi.
Selain mendukung kebijakan yang mendorong transparansi dan akuntabilitas di platform digital, masyarakat harus aktif berpartisipasi dalam diskusi dan kritik informasi yang beredar. Oleh karena itu, masa depan demokrasi kita di era komputer dan internet akan sangat dipengaruhi oleh peningkatan kesadaran dan tindakan proaktif dalam menghadapi berbagai tantangan ini. Kita harus tetap optimistis bahwa kita dapat membuat lingkungan politik yang lebih sehat dan inklusif dengan bekerja sama dalam menghadapi semua dinamika ini.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Pahmi Novaris, atau artikel lain tentang MAHASISWA BERSUARA