• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Membangun Tembok Pemisah Kampus?

MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Membangun Tembok Pemisah Kampus?

Kampus sebagai ruang produksi wacana alternatif perlahan dikurung dalam logika keteraturan dan keamanan yang didefinisikan secara sepihak.

A Fadhil Aprilyandi Sultan

Seorang buruh yang sedang keranjingan politik, sejarah, dan sastra.

Orang-orang muda, mahasiswa, dan warga berbaur merayakan suara-suara kritis dalam Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

1 Mei 2025


BandungBergerak.id“Schools serve the same social functions as prisons and mental institutions- to define, classify, control, and regulate people.” -Michel Foucault

Tembok batu kini berdiri angkuh, membungkus rapat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin bak benteng yang menolak disentuh. Sejak susunan batu pertama hingga difungsikan penuh pada Maret 2025, kehadiran tembok ini patut dicurigai, apalagi kalau diperhatikan secara saksama, hanya fakultas ekonomi yang mengisolasi penuh wilayahnya dengan menggunakan pagar batu. Sebagaimana tembok-tembok lain yang pernah berdiri kemudian runtuh sepanjang sejarah manusia, tirai batu ini lebih dari sekadar struktur bisu.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis terletak di jantung lingkungan sosial-humaniora Universitas Hasanuddin. Secara geografis, kawasan FEB bukanlah sebuah ruang yang terisolasi –ia berada dalam lanskap yang cair, terbuka, dan saling terhubung. Di selatan, wilayahnya berbatasan langsung dengan Fakultas Ilmu Budaya; di sebelah timur, berdiri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; dan di barat, Fakultas Hukum mengapitnya.  Namun kini, dengan dibangunnya tembok pemisah, watak “serumpun” ini sepenuhnya berubah. Pertanyaannya: apakah ini sekadar pengaturan tata ruang biasa, atau ada logika tertentu yang sedang bekerja di baliknya.

Saya tidak bisa tidak bertanya dan terus bertanya: apa sebenarnya motif di balik pembangunan pagar batu yang kini mengelilingi fakultas ini? Sebab apabila dimaknai secara arsitektural maupun simbolik, pagar bukanlah sekadar pembatas fisik. Pagar merupakan konsep abstrak yang memolakan dunia sebagai “bagian dalam” dan “bagian luar.” Dengan demikian, berdirinya pagar batu yang melingkupi FEB-Unhas dapat dilihat sebagai upaya pemetaan “realitas baru” ini, di mana FEB diisiolasi dari wataknya sebagai bagian dari rumpun soshum. Dalam realitas baru ini, dunia terpola hanya atas dua wilayah: “bagian dalam FEB” dan “bagian luar FEB”.

Sebelum menelusuri aktor yang hendak mengisolasi FEB, pertanyaan pertama yang perlu diajukan adalah: secara umum, mengapa sebuah tembok didirikan? Mengapa dunia mesti dipetakan secara terpisah, antara bagian “dalam” dan “luar”. Salah satu tembok purba yang masih berdiri hingga saat ini, yakni Great Wall of China, kiranya dapat menjawab pertanyaan ini. Sejak dibangun pada abad ke-7 SM, tembok ini ditujukan untuk melindungi kekaisaran China dari invasi bangsa-bangsa nomaden utara, seperti Xiongnu dan Mongol. Selain itu, terpaut abad dan jarak jauhnya, Hadrian’s Wall, membentang 117 km dari Wallsend hingga Bowness-on-Solway, dibangun untuk melindungi wilayah kekaisaran Romawi di Inggris dari invasi suku-suku nomaden Skotlandia pada sekitaran tahun 122 M. Tidak hanya menghalau invasi yang bersifat fisik. Dalam perkembangannya, tembok juga menjadi alat penghalau bagi sesuatu yang bersifat abstrak. Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Timur merupakan satu contoh yang tepat. Di samping sifat-sifat materiilnya, tembok ini ternyata pernah efektif untuk mengamankan wilayah Jerman Timur dari invasi budaya konsumerisme dan liberalisme yang sedang menggerogoti separuh Eropa. Berdasarkan penelusuran historis tersebut, dapat diketahui bahwa tembok selalu hadir untuk melindungi mereka yang berada “di dalam” dari sesuatu yang dianggap sebagai ancaman “dari luar.” Dengan demikian, pertanyaan mengerucut: siapa yang sedang dilindungi? Dan lebih penting lagi, apa atau siapa yang dianggap sebagai ancaman? Mahasiswa? Publik? Atau malah hal-hal abstrak seperti ide dan gagasan?

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Optimalisasi Industri Manufaktur untuk Pengurangan Pengangguran di Timor-Leste
MAHASISWA BERSUARA: Wajah Tersembunyi Fast Fashion yang Mengeksploitasi Bumi dan Buruh Perempuan
MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Kastrat

Relasi Kuasa

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis lagi-lagi akan meminjam perspektif Michel Foucault dalam membedah relasi kuasa yang terselubung ini. Tembok yang berdiri menyelimuti FEB Unhas dapat dipahami sebagai bentuk pendisiplinan kontemporer yang bekerja melalui otoritas ruang. Dalam analisis ini, tembok dimaknai lebih dari sekadar struktur fisiknya. Tembok merupakan apa yang disebut oleh Foucault sebagai instrumen panoptik, yakni alat yang membentuk individu agar merasa diawasi bahkan ketika tidak ada mata yang melihat. Dalam konteks ini, tembok bukan sekadar kurungan spasial, tetapi juga psikis. Individu-individu yang dilingkupi oleh sebuah tembok dibentuk agar patuh, tidak menyimpang, dan tunduk pada tata kelola sang otoritas pemilik tembok. Dengan membatasi dan memusatkan ruang, kekuasaan menjadi lebih efektif: tidak perlu represi langsung, tembok akan mengondisikan tubuh-tubuh hidup yang dilingkupinya sehingga senantiasa merasa diawasi. Dengan demikian, pembangunan tembok bukan hanya fenomena infrastruktur. Lebih daripada itu, ia menjadi pengejawantahan arsitektur kekuasaan yang menghadirkan mekanisme pengawasan tersembunyi.

Konsekuensi logis dari logika “pengawasan abstrak” adalah segregasi antara subjek yang mengawasi dan objek yang diawasi. Siapakah yang mengawasi, dan siapakah yang tanpa sadar menjadi objek pengawasan? Mengingat bahwa pagar batu ini adalah keputusan sepihak dari birokrasi fakultas, maka yang paling berkepentingan dari berdirinya tembok, atau kita sebut sebagai “otoritas tembok”, tiada lain adalah mereka sendiri. Oleh karena itu, tidak salah kiranya apabila ditarik kesimpulan bahwa berdirinya tembok ini merupakan bentuk penyelubungan kekuasaan yang dilakukan oleh birokrasi FEB-Unhas). Lantas kalau yang menjadi subjek pengawas adalah birokrasi FEB-Unhas, siapa yang diawasi? Tak lain adalah mahasiswanya sendiri, atau secara spesifik, organisasi kemahasiswaannya. Lantas mengapa Ormawa perlu diawasi?

Dalam spektrum kekuasaan, tidak satu kekuatan pun yang boleh bersifat mutlak. Semuanya harus punya penyeimbang dalam artian setiap penguasa harus punya oposisi. Dalam konteks kehidupan kampus, terdapat kampus sebagai pelaksana pendidikan dan mahasiswa sebagai pelaku pendidikan. Antara kampus dan mahasiswa seharusnya memiliki kekuasaan yang seimbang dalam menentukan proses berjalannya pendidikan.

Mahasiswa dan Birokrasi Kampus

Sebagai bahan pengingat, dalam tulisan sebelumnya penulis pernah menganalisis praktik yang sejak beberapa waktu lalu telah dijalankan oleh birokrasi FEB-Unhas. Tulisan tersebut membahas bagaimana birokrasi FEB-Unhas menegakkan kekuasaannya melalui tiga strategi: politisasi sarana dan anggaran, pembunuhan citra organisasi mahasiswa (ormawa) sah, dan penciptaan ormawa boneka sebagai alat legitimasi semu. Ketiga strategi ini mencerminkan apa yang penulis sebut sebagai totalisasi kekuasaan, yaitu upaya sebuah institusi untuk mensterilkan potensi oposisi.

Totalisasi kekuasaan hadir untuk membongkar keseimbangan relasi kuasa antara mahasiswa dan birokrasi dengan cara membentuk relasi subjek-objek: fakultas sebagai subjek, mahasiswa sebagai objek. Dalam pelaksanaannya, praktik ini menyasar mulai dari ranah yang paling fundamental dari kehidupan mahasiswa: mempreteli  kekuatan politik mahasiswa.

Kehadiran “pengawas-pengawas” tak bernyawa seperti pagar batu merupakan penanda bahwa birokrasi FEB-Unhas masih menjalankan totalisasi kekuasaannya hingga hari ini. Tujuannya hanya satu: organisasi kemahasiswaan sebagai front politik mahasiswa dapat tunduk total sebagai “objek” kekuasaan. Sebab ketika mahasiswa sudah terseok-seok tanpa daya tawar politik, birokrasi akan memiliki kuasa penuh dalam mengontrol jalannya pendidikan. Dengan kekuatan yang telah dikebiri, ditambah ruang yang telah diambil alih, sang “pemilik tembok” akan menciptakan tata dunia versi mereka sendiri—ruang yang bersih dari oposisi, steril dari perlawanan, dan patuh terhadap segala bentuk definisi sepihak.

Oleh karena itu, pembangunan tembok tidak pernah menjadi persoalan pengamanan wilayah semata. Mahasiswa harus sadar kalau hal ini merupakan upaya subtil untuk menata ulang lanskap kampus. Kampus sebagai ruang produksi wacana alternatif perlahan dikurung dalam logika keteraturan dan keamanan yang didefinisikan secara sepihak. Ruang-ruang bebas tempat mahasiswa biasa menyelenggarakan diskusi terbuka, pertunjukan seni, atau aksi solidaritas kini menyusut akibat pengawas-pengawas “tak terlihat” ini, baik secara fisik maupun simbolik. Selain itu, mahasiswa juga semakin terpecah akibat sekat-sekat teritorial yang disusun atas nama ketertiban.

Lantas, apa yang harus dilakukan? Organisasi mahasiswa (ormawa) tidak cukup hanya bersikap waspada. Mereka juga harus mulai menyusun kembali kekuatan politiknya –kekuatan yang mampu meneguhkan posisi ormawa dalam tarik tambang kekuasaan dengan birokrasi kampus.

Untuk memperoleh kekuatan itu, pertama-tama massa harus mampu menyadari dan melampaui dua lapis tembok abstrak yang menyelubunginya. Seiring dengan dilampauinya tembok pertama, tembok-tembok abstrak yang dibangun oleh kampus untuk “mendisiplinkan” organisasi mahasiswa, massa akan diperhadapkan dengan tembok yang jauh lebih tinggi dan kokoh: imajinasi tentang universitas dan mitos gerakan mahasiswa. Tembok kedua hanya dapat dirobohkan jika massa mulai berani menghancurkan batas semu antara mahasiswa dan rakyat –dengan kata lain, meleburkan ormawa ke dalam gerakan rakyat. Tapi, rakyat yang mana? Seperti yang telah saya singgung dalam tulisan lainnya, tentu saja rakyat pekerja. Dalam peleburan ini, identitas massa mahasiswa sebagai calon buruh –dan pada banyak kasus, buruh itu sendiri– menjadi titik tumpu untuk membentuk basis politik yang lebih luas dan kokoh.

Dengan modal kekuatan politik semacam inilah, dengan melampaui tembok-tembok yang abstrak, massa mahasiswa baru memiliki daya tawar yang lebih besar untuk kembali ke kampus dan merobohkan tembok-tembok yang fisik.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//