• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Regulasi atau Represi? Membaca Ulang Praktik Kekuasaan di Kampus Merah

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Regulasi atau Represi? Membaca Ulang Praktik Kekuasaan di Kampus Merah

Regulasi tebang pilih di kampus merah Unhas sejatinya hadir bukan untuk mewakili kehendak umum, namun untuk meredam resistensi yang mengancam dominasi birokrasi.

Fadhil Aprilyandi Sultan

Mahasiswa Manajemen Universitas Hasanuddin (Unhas)

Ilustrasi. Kekuasaan cenderung korup jika tidak diawasi. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

4 Januari 2025


BandungBergerak.idApa itu kekuasaan? Spektrum teori sosial kontemporer memaknai kekuasaan secara luas dan kompleks, yang tidak lagi melihat kekuasaan sebagai sekadar alat pemaksaan langsung, melainkan sebagai mekanisme yang bekerja secara implisit melalui konvensi, diskursus, ideologi, struktur, bahasa, dan teknologi. Dalam hemat penulis, kekuasaan di era kontemporer dapat dimaknai sebagai hubungan resiprokal antara institusi dan subjek, yang di dalamnya institusi diandaikan sebagai pengejawantahan dari kepentingan umum setiap subjek yang hidup dalam ekosistem di mana kekuasaan ditegakkan. Sedangkan subjek dipandang sebagai makhluk yang secara aktif berkontribusi dalam proses penyelenggaraan, penegakan, dan pengawasan kekuasaan.

Dalam pengertian bebas tersebut, institusi mengambil wujud lembaga, organisasi, seperangkat norma, dan struktur yang apa pun yang menaungi manusia sebagai makhluk sosial. Di sisi lain, subjek merujuk pada manusia yang berpikir dan berkesadaran, yang dapat secara bebas menentukan kehendaknya, kemudian bertanggung jawab atas luaran yang dihasilkan atas kehendaknya masing-masing.

Michel Foucault berhasil mengungkap mekanisme kekuasaan yang bekerja sepihak, di mana kekuasaan, alih-alih dijalankan dalam relasi institusi-subjek, justru bertransformasi sebagai instrumen untuk penundukan, yang melanggengkan hubungan institusi-objek. Relasi kuasa ini mencoba menetralisir otonomi manusia dengan cara mensubjugasi subjek manusia yang semula memiliki peran aktif dalam kekuasaan menjadi sekadar objek untuk ditundukkan. Mekanisme ini bertujuan untuk menciptakan kekuasaan yang bersifat dominan, di mana kekuasaan tidak lagi dilandaskan pada permakluman kehendak umum, namun difokuskan untuk melayani satu kehendak; satu otoritas, yang melingkupi secara mutlak dan total.

Di balik gilang-gemilang akreditasi dan publikasi bergengsi, kampus merah Universitas Hasanuddin (Unhas) menyembunyikan realitas kekuasaan yang sebelumnya dirujuk oleh Foucault, yang meresap secara sistematis dalam setiap aspek kehidupan kampus. Melalui mekanisme pengekangan, pembungkaman, dan penundukan, institusi pendidikan tinggi Unhas telah mengubah dirinya menjadi ladang subur dominasi. Di tengah penaklukan kebebasan intelektual yang tak terlihat namun sangat efektif ini, daya pikir dan kesadaran kritis secara bertahap dikerdilkan, digeser oleh mekanisme kepatuhan dan pembungkaman.

Namun, seperti halnya yang dituliskan Michel Foucault, bahwa dalam setiap dominasi selalu lahir resistensi. Kekuasaan yang menunjukkan pola-pola dominatif dengan sendirinya akan menumbuhkan benih-benih perlawanan dari dalam sistem yang dilingkupinya. Dalam sebuah sistem di mana perbedaan merupakan sebuah kemutlakan, institusi seharusnya hadir selaku representasi dari berbagai kepentingan yang saling berlainan. Dominasi, di satu sisi, hadir untuk mematikan subjek dari insitusi, kemudian mengalienasi kepentingan subjek dari kehendak umum. Oleh karena terdapat kepentingan tereksklusi dari kekuasaan, maka akan lahir pula sikap pembangkangan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dominasi dan resistensi adalah dua hal yang bersifat dwi-tunggal.

Bercermin dari tinjauan di atas, dalam rangka menyetop dominasi yang sedang tumbuh di Unhas, maka strategi yang paling tepat adalah dengan menciptakan kekuasaan yang inklusif, yang di dalamnya agensi subjek tidak lagi dipinggirkan, dan relasi resiprokal institusi-subjek dapat kembali dihidupkan. Namun demikian, sebelum merumuskan langkah taktis yang lebih jauh, diperlukan pemahaman awal terkait situasi riil yang saat ini terjadi di Unhas dalam rangka menganalisis prakondisi yang akan memotori resistensi. Oleh karena itu, bagian selanjutnya akan menguraikan sejumlah peristiwa khusus dan menganalisisnya melalui persepektif totalisasi kekuasaan.

Regulasi sebagai Instrumen Penegak Dominasi 

Kehidupan sosial mensyaratkan setiap elemen yang mengambil bagian di dalam sistem untuk menyetujui sebuah komitmen moral; sebuah nilai bersama yang dipegang untuk menjaga benturan kepentingan antarpihak. Dalam konteks kehidupan universitas, komitmen moral ini umumnya terformalisasi dalam bentuk regulasi. Sebagai pengejawantahan komitmen moral, regulasi seharusnya merepresentasikan kepentingan bersama dari seluruh pihak yang terlibat dalam ekosistem kampus.

Sungguh disayangkan, Unhas nampaknya telah menyalahi syarat prinsipil dari penegakan komitmen moral di lingkup universitas. Hal ini disebabkan karena dalam merumuskan regulasi, Unhas tidak pernah melibatkan representasi mahasiswa sebagai salah satu pihak yang berkepentingan dalam lingkup ekosistem kampus. Adapun badan yang diklaim oleh Unhas sebagai “perwakilan” mahasiswa, ternyata tidak lebih dari sebuah dalih administratif untuk mengadopsi kebijakan PTN-BH.

Sebagai sebuah PTN-BH, Unhas dituntut untuk memiliki sebuah badan representatif yang diisi oleh beberapa unsur strategis, yang salah satunya adalah mahasiswa. Secara historis, unsur representatif ini sudah pernah eksis, mengambil wujud Badan Eksekutif Mahasiswa yang telah hiatus sejak tahun 2006 karena dianggap belum ada urgensi politis yang mendesak. Alhasil, selama ini wadah representasi politik mahasiswa hanya bergulir sampai di lingkup fakultas.

Reaktivasi BEM universitas ini kembali diprakarsai oleh birokrasi pada tahun 2019 lalu. Dari total 15 organisasi kemahasiswaan di tingkat fakultas, hanya 7 yang menyepakati pembentukan kembali BEM tingkat universitas ini. Seolah-olah acuh terhadap sifatnya yang minim andil mahasiswa, keputusan reaktivasi BEM universitas tetap digulirkan, melahirkan seorang “presiden” BEM yang katanya akan menjadi “representasi” mahasiswa Unhas. Walaupun dipimpin oleh seorang “presiden” yang berasal dari unsur mahasiswa, mengamati proses pembentukannya yang sudah penuh dengan intervensi politik birokrasi, menurut sudut pandang penulis, BEM Unhas tidak layak diberi atribusi sebagai penyambung lidah mahasiswa.

Minimnya partisipasi mahasiswa dalam konstelasi kekuasaan di Unhas menimbulkan kesenjangan antara kebijakan yang tengah ditegakkan dan kehendak umum dari pihak yang terdampak. Sebagai dampak dari oleh alpanya representasi yang sejati, fungsi dari mahasiswa sebagai salah satu unsur perumus, pelaksana, dan pengawas kebijakan di tingkat universitas ikut tergilas bersama regulasi yang semakin kuat melanggengkan dominasi birokrasi. Alih-alih menjadi komitmen moral yang disepakati, regulasi justru menjelma menjadi instrumen pendisiplinan yang ditegakkan melalui cara penundukan.

Dalam rangka menegaskan kekuasaannya, kampus menerapkan berbagai formula kebijakan untuk meredam dan membungkam potensi resistensi. Organisasi kemahasiswaan tingkat fakultas di FEB, Senat Mahasiswa FEB-UH (kemudian disingkat SEMA), hampir saja kehilangan eksistensinya ketika birokrasi fakultas mencoba mengingkari legitimasi yang mereka sendiri telah sematkan kepada lembaga tersebut. Belakangan terungkap bahwa upaya 'pembunuhan' secara politis itu adalah dampak jangka panjang dari ketegasan SEMA dalam mengkritik isu pungli di lingkungan akademik Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Langkah serampangan yang terbilang absurd ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk menihilkan peran strategis mahasiswa sebagai penyelenggara dan pengawas kekuasaan di tingkat fakultas. Klaim ini diperkuat oleh fakta bahwa setelah pihak fakultas berusaha mengingkari keberadaan SEMA, birokrasi membentuk struktur kelembagaan paralel, yang, seperti halnya terjadi di tingkat universitas, sarat intervensi politik birokrasi dan diisi oleh ‘kepala-kepala’ yang tidak representatif.

Alief Gufran merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2019 yang juga menjadi salah satu korban regulasi. Gufran, yang akrab disapa Fran, harus menerima surat drop out setelah bersikap kritis terhadap kebijakan jam malam yang dinilainya membatasi kebebasan berekspresi mahasiswa. Sejalan dengan sikap penolakannya, Fran dan kawan-kawannya sesama pegiat seni di FIB Unhas tetap melaksanakan aktivitas rutin berupa latihan di lingkungan kampus hingga larut malam, tanpa menghiraukan kebijakan jam malam yang tidak melibatkan mahasiswa dalam proses perumusannya tersebut.

Fran menerima keputusan drop out dengan delik aduan “tindakan tidak etis” oleh satuan pengamanan Unhas. Ironisnya, Keputusan DO ini diterbitkan tidak lama berselang setelah universitas menjatuhkan sanksi skorsing dua semester kepada dosen pelaku kekerasan seksual. Mahasiswa kritis kena DO, sedangkan dosen cabul hanya kena skorsing.

Dari dua contoh kasus sebelumnya, di mana legitimasi tidak lagi dihargai, dan aturan ditegakkan secara tebang pilih, menunjukkan bahwa regulasi di Unhas sejatinya hadir bukan untuk mewakili kehendak umum, namun untuk meredam resistensi yang mengancam dominasi birokrasi.

Kemenangan Kecil yang Memantik  

Kasus Fran dan dosen cabul yang mencuat ke khalayak memicu gelombang protes seantero Unhas. Praktik penyalahgunaan kekuasaan yang terpampang jelas di depan mata mendorong aksi solidaritas mahasiswa lintas fakultas untuk bersuara, atas nama mereka yang dirugikan oleh mekanisme penegakan regulasi.

Amarah massa mahasiswa meluap ketika Unhas masih saja bersikap arogan dan enggan mendengarkan. Sebagai dampaknya, pembangkangan, pembakaran, dan  pengrusakan yang semula berpusat di area FIB, menjalar ke fakultas sekitar sebagai ekspresi kekecewaan dari mahasiswa yang selama ini merasa teralienasi dari kebijakan yang mereka alami sehari-hari. Kendati api resistensi akhirnya dipadamkan, dan beberapa massa kemudian diamankan, Unhas akhirnya mengeluarkan rekomendasi pemecatan terhadap dosen pelaku kekerasan seksual. Walaupun masih berupa kemenangan kecil, capaian ini seyogianya direfleksikan kembali sebagai upaya merumuskan langkah strategis dalam rangka menggugat dominasi birokrasi di Unhas.

Baca Juga:SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Dilema Antara Bisnis, Ekologi, dan Masa Depan Punclut
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kritik terhadap UU Cipta Kerja dengan Pisau Analisis Ruang Publik Jurgen Habermas
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Jatinangor di Tengah Krisis Ekologi dan Gempuran Urbanisasi

Jangan Berhenti Membakar dan Teruslah Menjalar 

Jangan bermain api kalau tidak mau terbakar. Mungkin kalimat tersebut merupakan penutup yang tepat bagi esai ini. Pemantik yang disampaikan di akhir tulisan ini seharusnya dapat menjadi bahan refleksi bagi gerakan mahasiswa di Unhas, tidak menutup kemungkinan di universitas lain, bahwa birokrasi sedang bermain-main dengan api. Alih-alih mendorong partisipasi, kekuasaan sedang ditegakkan dengan cara yang mendominasi. Regulasi, yang ditegakkan melalui mekanisme representasi abal-abal, menjadi bumerang bagi segala bentuk resistensi.

Namun demikian, gerakan mahasiswa tidak seharusnya terjebak di ambang frustasi, sebab kita masih punya satu sama lain. Kekuatan utama dari gerakan kita adalah massa yang didorong oleh rasa kecewa. Luapkan kekecewaan tersebut secara kolektif, dengan aksi-aksi spontan maupun simbolik, yang menunjukkan ketidakpuasan kita sebagai pihak yang tereksklusi dari rumah sendiri. Sikap Unhas yang cenderung merespon pembangkangan massal ketimbang aksi damai dapat memberi sinyal terang bahwa gerakan ini akan bermula dari anarkisme.

Namun demikian, dalam rangka menggugat dominasi kekuasaan yang bersifat sistemik, kita tidak seharusnya terjebak dalam spontanitas dan mulai memikirkan upaya yang berkelanjutan. Sebagai langkah awal, mahasiswa harus menegaskan kembali posisinya sebagai warga kampus yang memiliki hak dan kehendak politik. Oleh karena itu, diperlukan sebuah front politik yang tidak lagi diinisiasi oleh birokrasi, melainkan oleh mahasiswa secara otonom. Front politik ini dibangun secara kolektif, merangkul akar rumput dari setiap fakultas sebagai satu kesatuan kepentingan, yakni pembebasan. Selain itu, setelah kekuasaan yang representatif benar-benar telah termanifestasi, front ini dengan efektifnya akan beralih tugas sebagai badan penyelenggara sekaligus pengawas kekuasaan di level universitas agar dominasi yang serupa tidak lagi terulang kembali.  

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//