• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kritik terhadap UU Cipta Kerja dengan Pisau Analisis Ruang Publik Jurgen Habermas

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kritik terhadap UU Cipta Kerja dengan Pisau Analisis Ruang Publik Jurgen Habermas

Diksusi ataupun kritik di ruang publik terhadap pemerintah mestinya diakomodir sehingga melahirkan diskursus. Jika tidak maka akan melahirkan anarki.

Laurentius Nugraha W

Mahasiswa Universitas Katolik Widya Mandala

Ilustrasi. Regulasi atau undang-undang tidak akan bermakna tanpa melibatkan partisipasi publik. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

2 Januari 2025


BandungBergerak.idDiskursus mengenai aturan dan komunikasi di dalam masyarakat merupakan sebuah hal yang tidak pernah lepas dalam kehidupan berpolitik. Isu-isu yang beredar terkait dengan kesepakatan hidup bersama merupakan sebuah hal yang niscaya ada dan tidak akan pernah berakhir. Manusia sebagai makhluk sosial, secara kodrati akan selalu berdinamika dan berproses bersama manusia lainnya. Dalam konteks ini, manusia selalu mencari cara-cara yang dibutuhkan supaya pemenuhan kebutuhannya menjadi terpenuhi. Melalui pencarian macam inilah, cara-cara ditemukan dan kesepakatan dibentuk dalam rupa macam aturan yang melandasi kehidupan bersama. Selama manusia masih ada, demikian pula dengan politik, sebab politik seperti sebuah aksioma yang akan selalu berjalan seiring dengan kehidupan manusia.

Dalam masyarakat yang demokratis, tentu sistem dan cara yang dipakai sebagai landasan untuk hidup bersama didasarkan pada sebuah konsensus yang merujuk pada sebuah kesepakatan dan dijadikan sebuah acuan. Indonesia juga merupakan sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, dimana pemerintah mencakup presiden ditentukan oleh rakyat dan dengan demikian bekerja demi kepentingan rakyat. Segala macam hal yang menyangkut kebijakan publik dituangkan dalam bentuk undang-undang yang didasarkan pada ideologi Pancasila dan UUD 1945. Dalam implementasinya, sering kali terdapat pro dan kontra di dalam masyarakat sehingga pemerintah juga dituntut untuk selalu mengkaji dan merevisi UU yang sudah ada supaya dapat menjadi semakin relevan bagi kehidupan masyarakat Indonesia.

Salah satu isu yang pernah ramai menjadi bahan perbincangan publik dan menjadi polemik di dalam masyarakat Indonesia adalah isu tentang omnibus law, UU Cipta Kerja. Isu ini menjadi polemik yang menimbulkan pertentangan dan oposisi antara pemerintah dan rakyat buruh. Jurgen Habermas, seorang filsuf kontemporer kelahiran Jerman memiliki konsep teori tentang ruang publik yang kiranya menjadi sebuah teori yang masih relevan untuk dibicarakan dalam konteks politik di era sekarang ini. Maka, polemik mengenai omnibus law UU Cipta Kerja dapat dilihat dalam kacamata sistem filsafat Jurgen Habermas melalui teori ruang publik sebagai objek formal.

Jurgen Habermas & Teori Ruang Publik

Jurgen Habermas lahir di Duesseldorf pada 18 Juni tahun 1929. Ayahnya bernama Ernst Habermas yang merupakan seorang putra dari Pendeta sekaligus direktur seminari lokal di Jerman, bekerja sebagai Ketua Jawatan Perdagangan dan Industri. Gummersbach, Jerman merupakan tempat Habermas tinggal dan dibesarkan. Pada saat ia berusia sekitar lima belas sampai enam belas tahun, ia mengalami peristiwa yang sangat membekas ketika ia melihat kekejaman rezim Nazi. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Nazi selama perang dunia kedua membuat dirinya mengalami guncangan yang hebat. Ketika ia melihat film-film dokumenter yang dirilis berkaitan dengan perlakuan Nazi terhadap tahanan di kamp-kamp konsentrasi, membuatnya memiliki suatu kesadaran politis bahwa apa yang dilakukan oleh Nazi merupakan suatu sistem kejahatan politis. Pengalaman inilah yang kemudian menjadi titik sentral yang mendasar di dalam karya-karyanya [Bdk. Supartiningsih, Misnal Munir, dkk., Pemikiran Tokoh Filsafat Barat Kontemporer, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2024, hlm. 1].

Habermas pada masanya dikenal dengan kecemerlangannya di dalam berbagai bidang secara mendalam. Ia memiliki perjalanan hidup panjang serta kompleks yang kemudian membentuk buah pikirnya. Habermas menempuh pendidikan di Universitas Gottingen (1949- 1950). Ia mempelajari Kesusastraan Jerman, sejarah, filsafat, psikologi, dan ekonomi. Kemudian ia juga melanjutkan studi filsafatnya di Universitas Zurich (1950-1951) dan kemudian Universitas Bonn (1954), di mana ia menerima gelarnya sebagai Doktor Filsafat dengan judul disertasi Das Absolute und die Geschichte: Von der Zwiespaltigkeit in Schellings Denken (Yang Absolut dan Sejarah: Ambivalensi Pemikiran Schelling) [Bdk. Ibid., hlm. 2.].

Selama masa pendidikannya, ia menekuni pemikiran Marx muda selain dari pemikiran Hegelian [Bdk. Supartiningsih, Misnal Munir, dkk., Pemikiran Tokoh Filsafat Barat Kontemporer, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2024, hlm. 2-3]. Ia populer di kalangan mahasiswa Jerman, namun ketika aksi-aksi mahasiswa itu menggunakan kekerasan, ia pun mulai mengkritik mereka dan terlibat konflik dengan mahasiswa. Aksi-aksi oleh mahasiswa tersebut dikecam oleh Habermas sebagai bentuk revolusi palsu yang berujung pada pemerasan yang diulang kembali, naif, dan kontraproduktif. Jurgen Habermas banyak menghimpun mahasiswa dari berbagai bidang seperti antropologi, ekonomi, politik, psikologi, filsafat, sosiologi, dan linguistik. Pemikiran dan wawasannya pun menjadi semakin luas sampai mencakup persinggungannya dengan teori antropologi dan linguistik evolusioner serta teori perkembangan moral yang kelak menjadi titik tolak dirumuskannya tindak komunikatif dan etika diskursus oleh Habermas. Semasa hidupnya ia banyak menerbitkan buku dan mendapatkan penghargaan [Bdk. Ibid., hlm. 3-5].

Salah satu gagasan yang cukup fenomenal dan menarik dari karya pemikiran Habermas adalah konsepnya mengenai ruang publik. Menurut Habermas ruang publik adalah suatu wilayah hidup sosial yang didalamnya terdapat berbagai pendapat umum yang dibentuk di antara warga negara yang mendiskusikan tentang kepentingan umum tanpa ada paksaan atau tunduk dalam menyatakan pandangannya. Ruang publik merupakan suatu metafora yang digunakan untuk ruang virtual di mana orang saling bertemu dan saling berhubungan, serta ruang sebagai tempat untuk percakapan, gagasan, dan pikiran masyarakat bertemu. Ruang publik adalah ruang virtual tempat warga negara dari suatu negeri bertukar gagasan dan mendiskusikan isu, untuk mencapai persetujuan tentang berbagai hal yang menyangkut kepentingan umum. Ruang publik adalah tempat yang di dalamnya berbagai informasi, gagasan, dan perdebatan dapat berlangsung dalam masyarakat dan merupakan sebuah sarana untuk membentuk pendapat politis [Bdk. Ibid., hlm. 15].

Jurgen Habermas mendefinisikan ruang publik sebagai suatu wilayah kehidupan sosial, tempat opini publik terbentuk. Akses terhadap ruang publik terbuka bagi semua warga negara. Maka ruang publik terbentuk dalam setiap perbincangan yang di dalamnya pribadi-pribadi berkumpul dan membentuk ruang publik. Bila ruang publik ini semakin besar, maka akan memiliki pengaruh bagi kehidupan politik [Bdk. Supartiningsih, Misnal Munir, dkk., Pemikiran Tokoh Filsafat Barat Kontemporer, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2024, hlm. 15-16].

Ruang publik adalah ruang komunikasi yang terjadi ketika dua orang membahas suatu isu yang kemudian menghasilkan penyingkapan, maka dapat disebut juga sebagai ruang penyingkapan. Ruang publik bukanlah ruang fisik namun ruang sosial yang merupakan hasil dari produksi tindakan komunikatif. Ruang publik bukanlah suatu institusi pengambilan keputusan, tetapi suatu arena tempat dilakukannya suatu pembicaraan atas isu yang terjadi tanpa terikat secara institusional. Ruang publik juga bisa berupa suatu komunitas yang bersifat virtual atau imajiner, maka dalam bentuknya yang ideal, ruang publik berguna untuk menyuarakan dan mengetengahkan publik pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat [7 Bdk. Ibid., hlm. 16].

Menurut Habermas, di dalam ruang publik segala hal dapat dijadikan sebuah permasalahan, maka hal ini bisa saja bersifat anarkis, meskipun demikian ruang publik tetap memiliki aturan dan prinsip yang berlaku. Habermas meyakini bahwa terdapat prinsip rasio di mana intelektual menseleksi apakah suatu opini berkualitas atau tidak. Jika opini semakin rasional dan semakin menyangkut kepentingan umum, maka kualitas diskursifnya semakin menyangkut diskursus moral dan akan masuk pada filter yaitu sistem hukum [Bdk. Ibid., hlm. 17].

Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Jatinangor di Tengah Krisis Ekologi dan Gempuran Urbanisasi
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ketika Negara tak Acuh pada Nasib Gen Z
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ancaman Kerusakan Keanekaragaman Hayati dan Krisis Iklim Akibat Proyek Food Estate di Indonesia

Polemik Omnibus Law di Indonesia

Pada hari minggu pada tanggal 20 oktober tahun 2019, dalam pidato pertamanya setelah terpilih untuk kedua kalinya sebagai presiden, Joko Widodo menyinggung sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut sebagai omnibus law. Pada saat itu, Presiden Jokowi membicarakan mengenai rencananya untuk mengajak DPR membahas dua undang-undang yang akan menjadi omnibus law. Undang-undang (UU) itu berupa UU Cipta Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM [Bdk. Jawahir Gustav Rizal, Inggried Dwi Wedhaswary, “Jejak Omnibus Law: Dari Pidato Pelantikan Jokowi hingga Polemik RUU Cipta Kerja” (diunduh 10-06-2024)]. Dalam pidatonya, Jokowi menyebutkan bahwa undang-undang tersebut akan menjadi omnibus law yaitu sebuah undang-undang yang bisa merevisi beberapa bahkan puluhan undang-undang sekaligus.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri mengatakan bahwa konsep omnibus law merupakan sebuah undang-undang yang dibuat untuk menyasar suatu isu besar di dalam sebuah negara dengan tujuan supaya undang-undang bisa memiliki bentuk [Bdk. Jawahir Gustav Rizal, Inggried Dwi Wedhaswary, “Jejak Omnibus Law: Dari Pidato Pelantikan Jokowi hingga Polemik RUU Cipta Kerja”, (diunduh 10-06-2024)]. Dalam prosesnya, pembentukkan omnibus law tidak berbeda dengan pembentukkan undang-undang pada umumnya yang dibahas oleh DPR. Meskipun demikian, UU Cipta kerja yang direncanakan oleh Jokowi bisa dikatakan sebagai “proses kilat”, sebab perencanaan undang-undang dikerjakan dalam waktu singkat ketika kondisi pandemi [Bdk. Ibid]. Penundaan sempat terjadi terkait dengan pasal ketenagakerjaan setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Jokowi karena ada penolakan dari kaum buruh terkait dengan beberapa pasal yang diajukan [12 Bdk. Ibid].

Polemik tentang UU Cipta Kerja pada saat masih berupa Rancangan Undang-Undang (RUU) bermula ketika kaum buruh melalui Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan ada tujuh isu yang diusung oleh partai buruh terkait dengan pasal- pasal yang ada di dalam Rapat Paripurna DPR. Isu-isu ini diangkat sebagai bentuk penolakan terhadap RUU Cipta Kerja terkhususnya dalam klaster ketenagakerjaan, sebab kaum buruh merasa bahwa ada beberapa tuntutan mereka terkait dengan aturan di dalam RUU yang belum terakomodir [13 Bdk. Ibid]. Berikut saya kutip isu keberatan tersebut berdasarkan salah satu artikel di Kompas:

1. Menolak penghapusan Upah Minimum Sektoral (UMSK) dan pemberlakuan Upah Minimum Kabupaten/Kota bersyarat. 
2. Menolak pengurangan nilai pesangon, dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Pesangon senilai 19 bulan upah dibayar pengusaha, sedangkan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.
3. Menolak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bisa terus diperpanjang alias kontrak seumur hidup. 
4. Menolak Outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batasan jenis pekerjaan.5. Menolak jam kerja yang eksploitatif. 
6. Menuntut kembalinya hak cuti dan hak upah atas cuti. Termasuk cuti haid, dan cuti panjang. 
7. Karena karyawan kontrak dan outsourcing bisa berlaku seumur hidup, maka buruh menuntut jaminan pensiun dan kesehatan bagi karyawan kontrak dan outsourcing [Bdk. Jawahir Gustav Rizal, Inggried Dwi Wedhaswary, “Jejak Omnibus Law: Dari Pidato Pelantikan Jokowi hingga Polemik RUU Cipta Kerja” (diunduh 10-06-2024)].

Polemik ini tidak hanya berhenti pada kaum buruh melalui KSPI saja, melainkan juga para akademisi dan pakar ikut terlibat dalam polemik yang terjadi atas omnibus law yang disahkan pada tanggal 02 November tahun 2020 tersebut, sebab terdapat beberapa kesalahan yang sangat fatal. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusko) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan bahwa meskipun sudah mengalami revisi sebanyak enam kali serta perubahan baik berupa pencabutan pasal maupun perubahan jumlah halaman, bahkan ketika sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi pun, UU Cipta kerja tersebut masih diwarnai oleh salah pengetikan dan kesalahan redaksional yang sangat fatal dan menunjukkan kesemrawutan dalam pengerjaannya [Bdk. Ayomi Amindoni, “UU Cipta Kerja: Kesalahan 'fatal' pasal-pasal Omnibus Law akibat 'proses legislasi ugal- ugalan', apakah UU layak dibatalkan?”, (diunduh 10-06-2024)]. Berikut saya kutip pernyataan Feri Amsari dan Bivitri Susanti berdasarkan tim redaksi BBC:

"Tentu saja orang yang membaca ketentuan undang-undang ini akan mengalami kebingungan luar biasa untuk memahami hal tersebut," kata Feri. Pasal 6 dalam undang-undang itu merujuk pada pasal 5 ayat 1 huruf a. Namun pada pasal sebelumnya itu tidak terdapat ayat atau huruf.21
Di pasal 1, pengertian minyak dan gas bumi adalah minyak bumi dan gas bumi. "Itu pengertian yang menurut saya sangat konyol," tegas Feri. "Dan kita juga bisa baca pengertian-pengertian lain yang kemudian maknanya disederhanakan padahal itu membuat pemaknakan isi materi muatan undang-undang ini menjadi kabur dan sulit dipahami," jelasnya kemudian [Bdk. Ibid].

Bivitri Susanti mengatakan pasal lain yang janggal adalah pasal 175 yang mengubah pasal 53 UU Administrasi Negara. Sama seperti pasal 6, pasal 175 adalah salah rujukan.23 "Dalam pembuatan UU kesalahan seperti ini fatal, karena kedua pasal yang ditemukan sejauh ini, jadi tidak bisa dilaksanakan karena rujukannya salah pasti akan ada kebingungan dalam pelaksanaannya," kata Bivitri. Dengan kondisi ini, kata Bivitri undang-undang itu "layak dibatalkan". "Bahkan ada atau tidak ada kesalahan ini, dengan segala kesalahan yang ada, sudah layak dibatalkan. Dia sudah tidak punya legitimasi sebenarnya. Tapi layak dibatalkan dalam hukum itu artinya harus dimintakan pembatalannya kepada Mahkamah Konstitusi," jelas Bivitri [Bdk. Ayomi Amindoni, “UU Cipta Kerja: Kesalahan 'fatal' pasal-pasal Omnibus Law akibat 'proses legislasi ugal- ugalan', apakah UU layak dibatalkan?” (diunduh 10-06-2024)].

Menanggapi polemik yang terjadi, Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Donny Gahral Adian menyebutkan bahwa kesalahan ini hanya merupakan kekeliruan teknis dan administratif saja, sehingga tidak akan berdampak pada implementasi dari undang-undang yang telah disahkan.25 Meskipun demikian, para akademisi menganggap bahwa kekeliruan dalam hal teknis tentu akan berdampak pada implementasi undang-undang tersebut.26 Bivitri Susanti ahli pakar Hukum Tata Negara pun menyayangkan hal ini karena pemerintah mengkerdilkan proses legislasi sebagai human error yang sebenarnya merupakan hal “sakral” dalam proses hukum. Proses legislasi dianggap hanya sebagai proses teknokrasi saja yang menganggap bahwa pembuatan undang-undang disamakan dengan membuat makalah yang kalau salah bisa direvisi. Jika ada kesalahan dalam proses penyusunannya, maka sebenarnya undang-undang tersebut tidak memiliki legitimasi dan tidak punya legalitas [Bdk. Ibid].

Beberapa komentar juga dilontarkan oleh beberapa organisasi terkait dengan pengesahan UU Cipta Kerja dikutip melalui Kompas, seperti oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), "Kalangan dunia usaha menyambut baik dan memberikan apresiasi kepada pemerintah dan DPR yang telah menyepakati pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU" [Bdk. Vina Fadhrotul Mukaromah, Rizal Setyo Nugroho, “Ini Pro Kontra yang Muncul Setelah Omnibus Law UU Cipta Kerja Disahkan”, (diunduh 10-06-2024)], Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Oce Madril mengatakan “RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode, maupun substansinya", Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memberikan juga catatan seperti, “Keselamatan rakyat dan agenda penyelamatan lingkungan hidup akan semakin menemui tantangan yang lebih berat. Karena sejak awal aturan ini memang menjadi karpet merah untuk kemudhaan investasi, khususnya industri ekstraktif".

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartarti mengatakan "Kemudahan investasi itu memang dibutuhkan, tapi tidak perlu sampai menjadi lembaga yang superbody seperti yang ada di dalam UU ini"31. Demikianlah berbagai tanggapan dari organisasi dan akademisi terkait dengan pengesahan UU Cipta Kerja yang dianggap belum bisa mengakomodir kebutuhan pekerja.

Relevansi dan Kesimpulan

Pengesahan UU Cipta Kerja yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2020, menghasilkan suatu polemik di dalam masyarakat Indonesia. Tentu sebagian masyarakat terutama dari kalangan penyedia kerja merasa terbantu dengan adanya undang-undang yang baru tersebut, namun demikian di satu sisi, para buruh yang menjadi pekerja merasa terbebani oleh kebijakan baru yang ada. Tidak sedikit juga dari masyarakat yang turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi dan aksi mogok kerja sebagai bentuk penolakan terhadap regulasi yang baru saja dijalankan oleh pemerintah. Bukan hanya dari kalangan buruh, namun para akademisi dan pakar ilmu kenegaraan pun ikut mengomentari isi dari undang-undang yang baru dengan kritis. Ada yang beranggapan bahwa UU Cipta Kerja mengandung sebuah kesalahan teknis yang fatal, sehingga isinya pun dianggap menggambarkan kinerja yang buruk dari pemerintah. Berbagai kesalahan teknis inilah yang pada akhirnya mengantar opini publik terhadap UU Cipta Kerja sebagai suatu undang-undang yang tidak punya legitimasi dan mengkerdilkan proses hukum yang sakral.

Berdasarkan teori ruang publik yang digagas oleh Jurgen Habermas, tentu polemik ini merupakan salah satu contoh konkret yang dapat menggambarkan suatu ruang publik sebagai proses politik dalam kehidupan sosial masyarakat. Ruang publik menurut Habermas merupakan suatu ruang yang menggambarkan proses komunikasi antarwarga negara dalam konteks isu-isu politik. Segala sesuatu dapat menjadi isu atau masalah di dalam ruang publik, namun demikian, dalam ruang publik terdapat juga prinsip rasio yang menurut Habermas bisa menjadi seleksi terhadap segala argumen yang diajukan sehingga argumen yang paling rasional menyangkut kepentingan umum secara luas akan memiliki dampak yang berpengaruh dan dapat masuk ke dalam filter hukum.

Dalam konteks polemik UU Cipta Kerja, ruang publik tercipta di antara masyarakat baik yang bersikap pro maupun bersikap kontra dengan kebijakan pemerintah. Ketika masyarakat menanggapi isu terkait dengan pengesahan undang-undang ini, berbagai komentar disampaikan melalui media massa, baik itu melalui kanal-kanal berita, maupun melalui media sosial. Berbagai pendapat ini kemudian menghasilkan suatu komunikasi yang menukarkan gagasan, pandangan yang diarahkan pada satu argumen politis.

Ruang publik tentu mengandaikan sebuah komunikasi yang dapat terarah dan sesuai dengan prinsip-prinsip rasional, namun tentu saja bisa bersifat anarkis. Pencegahan seperti ini tentu bisa dilakukan dengan etika diskursus yang juga dikemukakan oleh Habermas, akan tetapi polemik mengenai UU Cipta Kerja ini tidak sampai pada suatu diskursus yang di fasilitasi oleh pemerintah, akan tetapi dibiarkan saja menjadi polemik, bahkan ketika ada usulan terkait dengan RUU Cipta Kerja, tetap tidak ada perubahan yang berarti dan bahkan masih mengandung kesalahan teknokratis yang fatal. Kiranya hal inilah yang menjadi suatu kritik terhadap pemerintah, di mana ruang publik tidak diakomodasi untuk sampai pada etika diskursus, sehingga yang terjadi hanya sebatas polemik tanpa adanya evaluasi yang dapat dijadikan untuk acuan kepentingan bersama.

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//