SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ketika Negara tak Acuh pada Nasib Gen Z
Menghadapi pengangguran yang dialami banyak Gen Z, pemerintah hanya menawarkan solusi usang seperti mengajak mereka menjadi pengusaha atau mendirikan UMKM.
Hifzha Aulia Azka
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
31 Desember 2024
BandungBergerak.id - Saya sering kali mendengar cerita teman-teman saya yang gigih mencari informasi lowongan pekerjaan saat mereka masih duduk di bangku kuliah. Alasan mereka serupa: ingin menambah pengalaman kerja agar setelah lulus tidak kelimpungan mencari pekerjaan. Pekerjaan apa pun mereka lakoni, bahkan mereka rela tidak dibayar.
Kondisi saat ini memang cukup mengerikan bagi saya dan teman-teman untuk secara tegar menjalani kehidupan yang serba sulit. Kami sudah sering membaca survei soal 10 juta Gen Z menjadi penggangguran. Pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang fenomena banyaknya Gen Z menganggur cukup beragam; dari pendapat diskriminatif seperti Gen Z adalah generasi yang super malas dan tidak tahan banting hingga analisis ekonomi canggih a la marxian.
Hal ini mengundang pertanyaan dalam diri saya: apa yang akan dilakukan pemerintah untuk menekan angka pengangguran Gen Z? Jokowi [ketika menjabat Presiden RI] sering menyinggung soal pentingnya sekolah vokasi di Indonesia. Menurutnya, sekolah vokasi bisa mencetak lulusan yang kompeten dalam bekerja karena sekolah vokasi berfokus pada penerapan ilmu. Melalui sekolah vokasi, Gen Z siap bekerja sesuai dengan kebutuhan industri saat ini.
Atau, Jokowi malah mendorong Gen Z untuk membantu pemerintah dalam mengejar pendapatan negara hingga 30.300 dolar AS pada tahun 2045. Bonus demografilah yang menjadi biang kerok munculnya ambisi keblinger Jokowi itu. Semakin banyak usia produktif yang menghasilkan barang dan jasa, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Sialnya, pemerintahan Prabowo-Gibran (selanjutnya ditulis Pragib) akan melanjutkan ambisi Jokowi untuk menyongsong “Indonesia Emas 2045”. Gelagat (buruk) mereka memperpanjang napas ambisi Jokowi bisa kita temukan pada buku saku mengenai paparan visi, misi, dan program mereka. Dalam buku itu, mereka ingin Gen Z berkecimpung dalam dunia kewirausahaan yang menghadirkan inovasi dan membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Selain itu, tentu saja, tujuan lain mengapa Gen Z harus menjadi pengusaha adalah mendorong peningkatan ekonomi negara.
Jumlah Gen Z di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 60 juta orang. Tentu, tidak semuanya, atau hampir sebagian besar Gen Z, memiliki kekayaan dari orang tua yang bisa menjadikan dirinya pengusaha mandiri. Mereka, termasuk saya, begitu pontang-panting mencari pekerjaan formal. Selain itu, Gen Z juga sering mendapatkan stereotip yang merugikan mereka, seperti Gen Z selalu menuntut gaji yang tinggi, nyantai, tidak disiplin, dan lain sebagainya.
Inilah kondisi sebenarnya Gen Z yang jarang disorot media, diabaikan pemerintah, dan disepelekan oleh banyak orang.
Janji Prabowo-Gibran Meningkatkan Lapangan Kerja
Pragib mengobral janji untuk meningkatkan lapangan pekerjaan ketika mereka berkampanye. Ada dua hal yang saya soroti mengenai janji mereka: mendorong anak muda untuk terjun ke dalam dunia usaha dan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Kedua “solusi” yang ditawarkan mereka tentunya bukanlah solusi ampuh. Ada beberapa catatan yang menyertai kedua solusi itu.
Untuk solusi pertama, Pragib mendorong anak muda untuk membangun usaha ekonomi kreatif. Tak lupa juga, jika tidak dibarengi dengan penggunaan teknologi, usaha itu tidak akan mencapai taraf sukses. Solusi ini adalah solusi usang yang perlu dimusnahkan. Pragib tidak bisa melihat problem pengangguran Gen Z secara struktural. Terlebih, mereka masih mengamini stereotip yang memberatkan Gen Z, yaitu kreatif dan melek teknologi sehingga mampu mengembangkan usaha ekonomi kreatif.
Gibran pernah secara gamblang memberikan solusi yang begitu dangkal. Ia tak mampu melihat persoalan pengganguran secara lebih mendalam. Beredar di media sosial video yang menampilkan Gibran sedang ditanyai oleh salah warga soal solusi Gibran untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Ia menjawab singkat saja: jadilah pengusaha! Lebih lanjut ia berkata begini: masih mau ngelamar kerja? Jadi pengusaha aja. Ya udah jadi pengusaha saja. Jangan ikut orang.
Faktanya, tidak semua Gen Z memiliki privilese agar bisa secara cepat merintis usaha sukses dan menyerap pekerja sebanyak-banyaknya. Gen Z yang memimpin perusahaan moncer pasti di belakang mereka ada dukungan finansial yang sangat besar dari keluarga pebisnins dan konglomerat. Project Multatuli pernah merilis serial liputan bertajuk “#UnderprivilegedGenZ” yang menyodorkan kondisi sebenarnya Gen Z yang tidak berprevilese. Untuk sekadar hidup mereka megap-megap. Mereka melakoni banyak pekerjaan, bolak-balik mengirim surat lamaran, membiayai sekolah adiknya, dan lain-lain.
Untuk menyiasati agar tetap mendapatkan penghasilan, Gen Z mencari pekerjaan informal yang dikategorikan oleh International Labour Organization (ILO) sebagai jenis pekerjaan rentan. Bagaimana tidak rentan? Para pekerja informal tidak berada pada jalur inti produksi, sehingga produktivitas mereka rendah dan lebih parahnya lagi tidak dilindungi dengan hukum yang mengikat dari negara.
Saat ini, pasar tidak takut lagi jika para buruh aktifnya melakukan mogok kerja. Pasar memiliki cadangan tenaga kerja yang disebut oleh Karl Marx sebagai Surplus Populasi Relatif (SPR). Muchtar Habibi, dalam bukunya berjudul Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980an, mengidentifikasi SPR menjadi proletariat informal dan pengangguran. Para pekerja SPR inilah yang akan menggantikan para pekerja aktif di industri. Jumlah SPR membludak, maka pasar akan menyerap SPR yang celakanya akan menerima upah yang rendah.
Tapi, alih-alih pemerintah mendorong agar perusahaan besar bisa sepenuhnya menyerap pekerja, mereka malah menyuruh rakyatnya untuk mandiri dalam mencari pekerjaan, pun membuka lapangan pekerjaan. Pemerintah Pragib malah menunjuk sektor UMKM sebagai garda terdepan penopang perekonomian negeri ini.
Alnick Nathan, dalam esainya berjudul Fetisisme Usaha Kecil ala Populisme Ekonomi yang Tidak Selalu Indah, membuktikan bahwa karakterisasi UMKM itu cenderung memiliki produktivitas dan upah rendah serta relasi kerjanya bersifat informal. Para pekerja yang diserap oleh UMKM sebagian besar tidak mendapatkan perjanjian kerja yang jelas. Jam kerjanya pun bahkan lebih lama dibandingkan dengan sektor formal dan tidak dibarengi dengan upah layak.
Berdasarkan data BPS tahun 2019 sebagaimana dikutip Nathan, sektor UMKM bisa menyerap 96,92 persen tenaga kerja dengan rincian sebagai berikut: mikro (89,04 persen), kecil (4,81 persen), dan menengah (3,07 persen). Sedangkan usaha besar (cenderung formal) malah hanya menyumbang 3,08 persen. Jumlah riilnya dari data Kementerian Koperasi dan UMKM, terdapat 119.562.843 orang yang merupakan tenaga kerja UMKM dan usaha besar hanya menyerap sekitar 3.805.829 orang.
Para pekerja informal bisa sewaktu-waktu tidak lagi dibutuhkan lagi oleh majikan. Lowongan pekerjaan disebar dalam waktu yang berdekatan. Antar sesama pekerja saling bertarung demi mendapatkan pekerjaan. Akhirnya, pembentukan serikat pekerja menjadi jauh panggang dari api. Fleksibilitas kerja mengakibatkan kaburnya niat untuk berserikat. Untuk apa membentuk serikat pekerja di usaha UMKM kalau toh akhirnya bulan depan banyak dari mereka yang dipecat?
Permasalahan lainnya yang menggelayuti sektor UMKM adalah usaha mereka cenderung tersegmentasi dan tidak mampu mengembangkan skala usahanya. Mereka berjualan hanya untuk bertahan hidup. Penghasilan yang dihasilkannya tidak sebesar perusahaan-perusahaan besar. Akibatnya, sistem pengupahannya pun tergantung dengan penghasilan yang didapatkan.
Pragib hanyalah mengulang apa yang telah dijalankan oleh pemerintahan sebelumnya. Tidak ada komitmen untuk melakukan perubahan secara fundamental terkait fenomena membludaknya jumlah pekerja informal dan penggangguran. Mereka malas berpikir. Padahal, kritik-kritik yang menyertai sudah tersedia di mana-mana. Orang-orang terdekat Pragib pun dikondisikan untuk selalu patuh terhadap kebijakan mereka, dan tugas mereka hanya menjalankannya.
Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Politik Indonesia, Memanusiakan Manusia atau Membinatangkan Manusia?
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mengatasi Tengkes sebelum Berkeluarga, Membangun Generasi Sehat dari Akar
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ancaman Kerusakan Keanekaragaman Hayati dan Krisis Iklim Akibat Proyek Food Estate di Indonesia
Mari Berkumpul dan Meraung
Kapitalisme sudah begitu mapan. Segala lini telah dicaplok olehnya, bahkan hingga imajinasi sekali pun. Kita tidak lagi mampu mengimajinasikan dunia indah tanpa penindasan. Kita hanya ingin melihat semuanya berakhir. Dunia terlampau mengerikan, kehancuran dunialah yang kita dambakan.
Mark Fisher dalam bukunya Ghost of My Life: Writings on Depression, Hauntology, and Lost Futures pernah menuliskan penyebab mengapa kita sulit mengimajinasikan dunia serba baru yang menyenangkan. Menurut Fisher, pikiran kita lebih mendorong kita untuk menjalani hidup seperti biasanya tanpa harus repot-repot memikirkan perubahan radikal. Dari hari ke hari kita dibimbing kapitalisme untuk bekerja dan carilah keuntungan lain bagi kapitalisme, pokoknya bertahan hiduplah selama-lamanya.
Saya rasa, hal inilah yang menghambat kita untuk saling berkumpul dan membicarakan nasib (buruk) kita masing-masing. Kita justru direpotkan oleh masalah pribadi yang tak kunjung selesai. Kegiatan berkumpul dan mengobrol dianggap sia-sia dalam kacamata kapitalisme. Apalagi, misalnya, kegiatan membaca, menulis, mengamati kebobrokan struktural secara lebih dekat. Kita dengan cepat mencap hal yang demikian dengan, meminjam istilah Zoe Baker, kerja-kerja membosankan.
Padahal, kerja-kerja membosankan begitu penting untuk mengikis dominasi kapitalisme dalam pikiran kita. Zoe Baker dalam tulisannya Anarchist Counter Culture in Spain memaparkan tentang kegiatan sepulang kerja para anarkis Spanyol yang diisi dengan membaca dan menulis teori anarkis, melakukan ceramah radikal tentang perubahan dunia, dan yang paling menonjol dari itu semua adalah penerbitan surat kabar anarkis yang disebarkan kepada para pekerja Spanyol.
Baker mengambil contoh seorang militan anarkis Spanyol bernama Jose Peirats yang membagi waktunya untuk bekerja pada siang hari dan menulis teori penting mengenai anarkisme pada malam hari. Seperti kita tahu, anarkisme sangat kritis terhadap kapitalisme dan memandang kapitalisme sebagai sistem yang melulu mengeksploitasi kelas pekerja.
Untuk itu, kita bisa mengadopsi cara-cara yang dilakukan anarkis Spanyol demi menyongsong revolusi di kemudian hari. Kita perlu menciptakan budaya tandingan dan tidak terpaku dengan narasi-narasi yang diproduksi pemerintah. Kita harus melatih diri untuk curiga dengan janji-janji manis pemerintah soal kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah lihai memproduksi bahasa penguasa yang mengaburkan realita. Inilah tantangan kita bersama.
Solusi UMKM dan dorongan pemerintah agar anak muda menjadi pengusaha terbukti usang. Sehingga, untuk apa kita terus-terusan mendukung kedua solusi itu? Sudah saatnya kita berkumpul dan meraung bersama. Tapi, perlu diingat, seperti yang diusulkan Baker, kita harus tetap berkumpul. Jangan putus. Revolusi tidak terjadi begitu saja tanpa adanya pemupukan kekuatan yang berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Tidak apa-apa lambat. Karena budaya serba cepat adalah khas kapitalisme. Dan kita muak dan jijik akan hal itu.
*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara