• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Politik Indonesia, Memanusiakan Manusia atau Membinatangkan Manusia?

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Politik Indonesia, Memanusiakan Manusia atau Membinatangkan Manusia?

Ketika politik membinatangkan manusia, kita mesti terus bersuara, bahkan mesti seperti anjing galak yang menggonggong ketika diganggu atau ketika melihat pencuri.

Reinaldus K Mogus

Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Ilustrasi. Kemanusiaan mesti ditempatkan di atas segalanya, melampaui kepentingan politik atau apa pun. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

30 Desember 2024


BandungBergerak.id - Politik sejak zaman Yunani Klasik merupakan suatu upaya untuk mewujudkan masyarakat politik (polity) yang terbaik, atau dalam bahasanya Aristoteles suatu upaya untuk mencapai good life. Yuval Noah Harari dalam bukunya berjudul 21 Lessons: 21 Adab untuk Abad ke-21 menggambarkan setidaknya tiga kisah besar mengenai upaya politics dalam mewujudkan kehidupan yang baik itu. Tiga kisah besar tersebut adalah: kisah fasisme, komunisme, dan liberalisme (2018:3).

Pada Perang Dunia Kedua, kisah fasisme runtuh, dan tersisalah dua kisah yakni, komunisme dan liberalisme. Sejak akhir tahun 1940-an hingga akhir tahun 1980-an dunia hanya menjadi medan pertempuran dua kisah tersebut. Seperti fasisme, nasib kisah komunisme juga runtuh, dan tersisalah kisah liberalisme. Sejak tahun itu hingga saat ini, kisah liberalisme menjadi panduan yang terus merayakan nilai dan kekuatan kebebasannya. 

Pelajaran penting dari tiga kisah besar tersebut adalah; politics hanya perlu merayakan kekuatan kebebasan warga politiknya untuk mewujudkan kehidupan yang baik. Dengan demikian, jika selama ribuan tahun manusia hidup di bawah rezim yang menindas – yang menunjukkan bahwa politik belum tercipta – maka sudah saatnya politik mesti kembali ke hakikatnya yakni untuk membangun kehidupan yang baik bagi polity. Atas dasar kesadaran inilah sejumlah negara di belahan dunia menjadikan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, termasuk Indonesia. Kendati sistem demokrasi ini banyak yang mengkritiknya, tetapi dalam sejarah peradaban politik dunia, demokrasi menjadi sistem yang diyakini sebagai yang terbaik dari sekian banyak opsi sistem politik.

Dalam konteks Indonesia kesadaran ini tampak jelas dalam gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998 silam. Melalui gerakan ini, bangsa Indonesia ingin berpisah dari  masa silamnya yang otoriter (rezim Orde Baru) dan menggantikannya dengan sistem yang lebih baik yakni demokrasi modern. Sejak hari itu, demokrasi memang banyak memberi angin segar bagi bangsa Indonesia. Masyarakat mulai menikmati kebebasan dan kesetaraan. Rahim kekuasaan yang otoriter mulai tertutup, sehingga tidak lagi melahirkan praktik penindasan, pemerasan, dan pertumpahan darah. 

Meskipun demikian, seperti yang dikatakan Denny J.A., transisi sebuah negara menuju sistem demokrasi bukanlah pesta malam. Watak kekuasaan otoriter Orde Baru ternyata masih diwariskan hingga saat ini. Bahkan yang memprihatinkan adalah ketika wajah-wajah otoriter itu mulai menunjukkan taring di ranah kekuasaan dan berhasil memegang alih kekuasaan melalui jalan yang demokratis. Mereka lolos dari sorotan mata masyarakat berkat topeng yang digunakannya, dan ketika memegang kekuasaan penindasan gaya baru mulai muncul. Penindasan tanpa pertumpahan darah. 

Kenyataan demikian tampak dalam sejumlah kasus yang cukup dekat dengan penulis seperti, persoalan pengambilan paksa lahan warga di Poco Leok, Flores untuk mengembangkan proyek geothermal oleh pemerintah setempat; pengabaian suara penolakan dan kearifan lokal dalam penetapan status wilayah Mutis Timau, NTT, sebagai Taman Nasional (Floresa.co, 15/11/2024), dan sejumlah persoalan dalam pembangunan Geopark di Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo (Floresa.co, 26/08/2020).

Fakta demikian merupakan sebagian dari deretan persoalan penindasan yang ada. Keadaan demikian membuat penulis bertanya-tanya, sejauh manakah politik kita telah memanusiakan manusia? Politik Indonesia: memanusiakan manusia atau membinatangkan manusia? Tesis penulis dalam artikel ini adalah politik Indonesia tidak memanusiakan manusia, tetapi justru membinatangkan manusia. Untuk mempertegas tesis ini, penulis akan menggunakan lensa homo sacer, Giorgio Agamben sebagai pisau analisis. 

Memahami Realitas Politik Indonesia Melalui Lensa Homo Sacer

Giorgio Agamben adalah seorang filsuf kontemporer dan kritikus sastra asal Italia yang sangat berpengaruh dan produktif dalam khazanah pemikiran politik Barat. Ia dikenal atas kontribusinya dalam teori politik, ontologi, bahasa, dan estetika. Agamben lahir di Roma pada 22 April 1942, dan dibesarkan di keluarga berpendidikan tinggi. Ayahnya adalah seorang profesor mikrobiologi di Universitas Roma dan ibunya adalah seorang guru sastra Prancis (Agamben, 2005:35). 

Agamben dikenal sebagai pemikir yang sangat radikal dalam membaca realitas politik. Politik Barat baginya terlalu menempatkan gagasan liberalisme dan demokrasi sebagai metanarasi. Karena itu, ia berusaha mendekonstruksi gagasan tersebut dengan membangun teori politiknya sendiri. Teori politiknya itu dikonstruksikan di atas pembacaannya terhadap konsep potensialitas Aristoteles. Hal itu tampak dalam karya besarnya (opus magnum) berjudul Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life.

Di Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, Agamben menjelaskan secara gamblang bahwa apa yang terjadi  antara rezim totaliter dan demokratis bukanlah suatu diskontinuitas, melainkan kontinuitas, sehingga demokrasi baginya adalah sebuah kamp (Agamben, 1998:128). Untuk membuktikan hal itu ia menggunakan konsep homo sacer atau sacred man.

Konsep itu diambilnya dari tradisi hukum Romawi Kuno. Di dalam tradisi tersebut, seorang figur yang disebut kudus adalah orang yang dinilai bertanggung jawab atas kejahatan. Ia bisa dibunuh oleh siapa saja, tanpa ada konsekuensi hukum. Kehidupannya adalah suatu ketelanjangan (bare life). Ia menghidupi kerentanan: dimusnahkan, tetapi tidak boleh dikurbankan (Agamben, 1998:83). Bagi Agamben praktik semacam demikian juga terjadi dalam sistem demokrasi. Homo sacer, hematnya adalah manusia suci yang hidup dalam cengkraman kekuasaan. Kehidupanya ditentukan oleh mekanisme kekuasaan, sehingga setiap saat kehidupannya bisa ditanggalkan dari hak-hak politiknya dan menjadi seperti binatang.

Dalam demokrasi modern praktik semacam itu bisa dimengerti sebagai proses pembinatangan manusia atau bestialisasi. Dalam sistem itu, manusia kehilangan status politiknya dan dijadikan seperti binatang yang bisa dilenyapkan setiap saat (Pryatno, 2021:20). Lebih lanjut yang menentukan keberadaanya dalam tatanan politik adalah penguasa tertinggi. Penguasa tertinggi memanfaatkan keadaan darurat untuk melegitimasi kontrolnya atas masyarakat, serta untuk memperluas kekuasaannya.

Agamben menulis: “The state of exception is not a legal concept but rather a zone of indifference between outside and inside, exclusion and inclusion. It is the inclusion of life in the political order, the originary inclusion of bare life in the realm of the sovereign (Agamben, 2005:1). Menurut Agamben, keadaan penangguhan adalah ekspresi tertinggi dari kedaulatan, karena memungkinkan penguasa untuk menjalankan kekuasaan absolut atas kehidupan individu (Agamben, 2011).

Hemat penulis apa yang disampaikan Agamben sebetulnya telah terjadi di Indonesia, secara lebih khusus pada masyarakat Flores, NTT. Wajah masyarakat Poco Leok, Mutis Timau, dan Labuan Bajo yang ditindas akibat pembangunan adalah referensi terakhir homo sacer yang cukup dekat dengan kehidupan penulis. Dalam mengejar target politik pembangunan, pemerintah acap kali mengabaikan nasib rakyatnya. Rakyat diperlakukan seperti binatang yang bisa dilenyapkan, tanpa ada konsekuensi hukum. Semua ini terjadi karena cara pandang pemerintah yang memposisikan rakyatnya sebagai homo sacer. 

Rakyat tidak mendapat perlindungan hukum dan hak-hak politiknya dicabut. Karena hak-hak politiknya dicabut maka yang tersisa hanyalah kehidupan biologisnya, yang Agamben sebut dengan zoe (kehidupan alamiah). Akibat dari pemosisian ini, maka manusia tidak mempunyai kualitas lagi sehingga dapat dimusnahkan. Hal itulah yang sedang dialami oleh masyarakat Indonesia saat ini, secara lebih khusus masyarakat Flores, NTT. Semua kita mempunyai potensi untuk menjadi homo sacer. Pasalnya kita sedang berada dalam cengkeraman kekuasaan yang sewaktu-waktu bisa mencabut hak-hak politik kita, dan kemudian menjadikan kita seperti Binatang yang boleh dibunuh tanpa ada konsekuensi hukum.

Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mengatasi Tengkes sebelum Berkeluarga, Membangun Generasi Sehat dari Akar
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ancaman Kerusakan Keanekaragaman Hayati dan Krisis Iklim Akibat Proyek Food Estate di Indonesia
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa dari Keluarga Kelas Menengah ke Bawah di Persimpangan Mimpi dan Derita

Mewujudkan Gerakan Emansipasi: Menuju Transformasi Politik

Berpijak pada kenyataan demikian hemat penulis menggagas transformasi politik bagi Indonesia adalah suatu yang mendesak, urgent. Pasalnya politik kita seharusnya kembali pada aras yang benar sesuai dengan cita-cita dan amanat Pancasila. Secara etimologis, transformasi berasal dari dua kata yakni, trans yang berarti dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya atau melampaui, dan form berarti bentuk. Dengan demikian, secara etimologis transformasi adalah perubahan bentuk yang lebih dari atau melampaui perubahan. Dalam konteks politik, transformasi merupakan suatu gerakan perubahan yang mencakup kesadaran akan nilai-nilai kebudayaan dan kemanusiaan yang hakiki.

Gerakan ini akan dengan sendirinya terwujud manakala dimulai dengan gerakan emansipasi. Emansipasi dalam konteks ini adalah suatu upaya pembebasan individu atau kelompok dari bentuk-bentuk penindasan atau ketidakadilan yang menghambat hak-hak dasar mereka. Singkatnya emansipasi dipandang sebagai usaha untuk memastikan bahwa semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati hak-hak politik, sosial, ekonomi, dan budaya, tanpa diskriminasi atau diperlakukan seperti homo sacer dalam tradisi Romawi Kuno. Transformasi politik bagi penulis hanya dapat dimengerti dalam kerangka emansipasi ini. Pertanyaanya bagaimana mewujudkan emansipasi? Hemat penulis, gerakan emansipasi ini, dapat diwujudkan dengan memperkuat pengawasan publik.

Praktik pembinatangan yang diproduksi oleh rezim yang berkuasa, menegaskan bahwa pengawasan publik mesti diperkuat. Pengawasan publik tidak hanya menyangkut pengawasan institusi formal, tetapi juga dari masyarakat luas seperti media, LSM, dan kelompok masyarakat sipil. Dengan memperkuat pengawasan ini, maka segala bentuk praktik penyalahgunaan kekuasaan – yang menindas hak-hak individu – niscaya dapat diredamkan. Dalam konteks homo sacer, pengawasan publik dapat berfungsi untuk mencegah individu atau kelompok yang dipinggirkan dari perlakuan sewenang-wenang oleh negara. 

Dengan demikian, ibarat penumpang bus yang harus teriak ketika mobil masuk off-road, maka kita juga mesti bersuara ketika penyelewengan berada di depan mata. Bahkan kita mesti menjadi anjing yang galak, yang menggonggong ketika diganggu atau ketika melihat pencuri masuk ke rumah tuannya. Niscaya dengan sikap seperti ini kita mampu membebaskan diri dari praktik pembinatangan dalam politik, dan kemudian menggagas transformasi politik yang mencakup kesadaran akan nilai-nilai kebudayaan dan kemanusiaan yang hakiki.

 

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//