• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mengatasi Tengkes sebelum Berkeluarga, Membangun Generasi Sehat dari Akar

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mengatasi Tengkes sebelum Berkeluarga, Membangun Generasi Sehat dari Akar

Pernikahan dini menjadi salah satu faktor di balik tingginya angka tengkes (stunting) di Nusa Tenggara Timur (NTT). Stunting menjadi problem panjang di Indonesia.

Loudewyk M.L.B

Mahasiswa Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Ilustrasi. Kesehatan masih menjadi persolanan di Indonesia. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak).

29 Desember 2024


BandungBergerak.id – Stunting atau tengkes yang disebabkan oleh kurangnya gizi pada anak dengan jangka waktu yang lama telah menjadi beban bagi daerah pedalaman di Indonesia. Perlu adanya perhatian khusus oleh pemerintah dalam skala daerah hingga pemerintah pusat untuk menyelesaikan dilema yang dihadapi. Berdasarkan survei status gizi penduduk Indonesia pada tahun 2022, daerah pedalaman khususnya di Nusa Tenggara Timur yang menjadi provinsi dengan persentase tertinggi sebanyak 37,8% dari total seluruh penduduk NTT yang ada (Kementerian Kesehatan, 2023).

Penanganan yang dicanangkan pemerintahan Prabowo Subianto terlalu berfokus pada penyelesaian ketika setelah berkeluarga dan setelah bayi lahir, hal yang cenderung tidak masuk akal karena berdasarkan sumber riset yang sama menyebutkan bahwa tengkes sudah dapat diketahui sejak bayi lahir dan angka kejadiannya juga terus meningkat pada usia 6-11 bulan menuju 12-23 bulan dari bayi lahir.

Data tersebut seharusnya cukup menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk mencari metode lain untuk penyelesaian tengkes. Upaya pencegahan dari sebelum bayi lahir seperti pembekalan kesiapan ekonomi bagi keluarga dirasa perlu untuk setidaknya menghambat laju tengkes yang ada. Fenomena tengkes yang masih tinggi di Nusa Tenggara Timur (NTT) lebih efektif diatasi dengan penanganan dari sebelum berkeluarga.

Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ancaman Kerusakan Keanekaragaman Hayati dan Krisis Iklim Akibat Proyek Food Estate di Indonesia
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa dari Keluarga Kelas Menengah ke Bawah di Persimpangan Mimpi dan Derita
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Begini Rasanya Hidup di Negara yang Serius untuk tidak Serius

Permasalahan Tengkes

Tengkes telah menjadi problem panjang di Indonesia. Masyarakat perlu menyadari bahwa tengkes adalah masalah yang sistemik dan perlu penanganan menyeluruh. Kesediaan pola makan yang baik dan akses air bersih menjadi tantangan di daerah pelosok Indonesia untuk memenuhi kebutuhan gizi anak. Kondisi yang ada akan diperburuk dengan skala prioritas penggunaan penghasilan yang diperoleh orang tua anak tengeks yang hanya berfokus untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga dan kebutuhan sekunder dan tersier lainnya. Perlu penanganan menyeluruh dari pemerintah untuk menangani permasalahan tersebut.

Perlu disadari bahwa pemberian tunjangan pangan dan barang untuk anak dapat dijual kembali di pasar untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih diprioritaskan orang tua. Kepastian untuk dapat mencukupi kebutuhan makan tiga kali sehari ataupun membeli baju untuk seluruh anggota keluarga rasanya dinilai lebih penting ketimbang hanya memikirkan kondisi sang anak.

Tunjangan ataupun upaya pemenuhan kebutuhan lainnya yang diberikan pemerintah perlu mencukupi kebutuhan bayi dan juga memenuhi kebutuhan keluarga yang beragam. Pemerintah tidak hanya perlu berfokus pada penanganan untuk anak, tetapi juga perlu mempertimbangkan potensi masalah yang dapat menjadi faktor tengkes yaitu kesiapan ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan yang tidak hanya berfokus kepada anak di keluarga tersebut.

Berdasarkan laporan yang ada mengenai kebutuhan gizi untuk anak tengkes, sumber protein hewani menjadi penyokong utama dari kebutuhan gizi yang seimbang dan menjadi penting untuk proses perkembangan (Kementerian Kesehatan, 2023). Kebutuhan gizi dan protein yang diperlukan terhambat karena sulit diperoleh dan ketersediaannya yang tidak pasti.

Pemberian suplemen gizi dan bermacam bentuk makanan agar anak memiliki keinginan makan makanan bergizi hanya menjadi bentuk penanganan ketika anak tersebut sudah lahir. Sedangkan kecukupan nutrisi untuk sang ibu memiliki ASI yang baik justru tidak menjadi perhatian pemerintah. Padahal ASI adalah sumber makanan pertama untuk anak. Hal tersebut diperburuk ketika pendidikan dasar mengenai kebutuhan gizi yang diupayakan pemerintah dapat saja diabaikan oleh orang tua yang memiliki kesibukannya sendiri.

Akibat dari besarnya angka tengkes yang ada, fenomena yang terjadi telah menjadi hal yang dianggap lumrah dan bukan hal yang menjadi perhatian khusus bagi masyarakat daerah yang lebih fokus untuk bekerja mencukupi kebutuhannya. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada orang tua sebagai garda terdepan dalam penanganan tengkes menjadi kalah penting dengan fokus masyarakat untuk bekerja setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Pernikahan Dini

Pernikahan dini dapat menjadi salah satu faktor terselubung dibalik tingginya angka tengkes di NTT. Ketidaksiapan dalam memulai keluarga akibat pernikahan dini akan berdampak pada kurangnya pengetahuan tentang gizi dan ketidaksiapan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Meskipun data menunjukkan bahwa angka pernikahan dini di NTT relatif lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional (Badan Pusat Statistik NTT, 2020), hal tersebut tetap dapat menjadi alasan mengapa tengkes dapat terjadi karena kesiapan berkeluarga menjadi faktor utama dalam membentuk keluarga yang baik.

Penyuluhan yang diberikan pemerintah mengenai tengkes akan lebih terealisasi bila diikuti dengan penyuluhan atau program untuk menangani permasalahan pernikahan dini di NTT. Pola pikir, kesiapan mental, kesiapan berkeluarga bagi remaja belum cukup mumpuni untuk mengatasi permasalahan mendatang seperti kesiapan gizi dan kesiapan ekonomi. Pemerintah perlu mengambil langkah preventif untuk mengatasi tengkes dengan penanganan pada pernikahan usia dini.

Fenomena tengkes yang terjadi di NTT perlu ditangani dengan metode preventif jauh sebelum pasangan memutuskan berkeluarga. Tengkes yang terjadi kepada anak akibat kurangnya nutrisi akan menjadi masalah yang lebih besar bagi anak saat sudah dewasa, baik dari segi kesehatan maupun penampilan.

Faktor-faktor utama seperti penyuluhan yang salah sasaran dan kurangnya program yang proaktif terhadap masalah yang ada, diperburuk dengan kondisi masyarakat yang tidak sadar atas masalah yang ada, menjadi alasan utama mengapa program pemerintah yang sekarang diterapkan tidak berjalan efektif. Ketidaksiapan ekonomi bagi keluarga, kurangnya pengetahuan mengenai gizi yang sesuai dengan kebutuhan juga kesanggupan masyarakat, dan ditambah dengan adanya faktor pernikahan dini pada remaja adalah faktor yang menjadi penyebab adanya tengkes yang seharusnya ditangani oleh pemerintah.

Pembukaan lapangan kerja baru, peningkatan mutu pendidikan, serta memaksimalkan serapan anggaran untuk tunjangan dan menjaga stabilitas bahan pokok menjadi upaya yang dapat digencarkan pemerintah. Penanganan masalah secara preventif dan menyelesaikan masalah dari akar akan menjadi solusi bagi masalah tengkes di NTT.

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//