SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Begini Rasanya Hidup di Negara yang Serius untuk tidak Serius
Ini gambaran sulitnya kehidupan Gen Z di negara yang tak pernah serius melakukan perbaikan pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, politik, lingkungan, dan budaya.
Galen Hosea
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Brawijaya
26 Desember 2024
BandungBergerak.id – Pergolakan di republik ini terus bertambah banyak, konflik-konflik masih tersulut untuk terbakar. Isu-isu seputar masalah kesejahteraan sosial, lingkungan, budaya, pendidikan, ekonomi, politik, dan lainnya yang menyangkut kepentingan bersama masih terus terjadi. Seolah-olah hal semacam ini menjadi siklus yang terus berulang-ulang, hanya saja berbeda “bajunya”.
Lebih dalam dari itu, sebenarnya tidak ada perubahan yang signifikan mengingat bahwasanya dalam berbagai pertemuan formal maupun informal negara sering kali menggaungkan Indonesia Emas 2045 yang akan dicapai oleh generasi-generasi muda nanti. Melihat bagaimana realitas yang ada –justru memperlihatkan pesimistis yang jauh lebih besar– dan kegagalan dalam mencapai hal tersebut apabila tidak ada reformasi besar-besaran dalam berbagai sektor.
Misalnya di sektor pendidikan, kondisi yang ada saat ini memperlihatkan betapa timpangnya pendidikan di pulau Jawa dan Luar Jawa. Lalu dari segi ekonomi memperlihatkan tingkat deflasi yang terus terjadi selama lima bulan berturut-turut; dalam persoalan sosial politik dan demokrasi pada beberapa waktu lalu terjadi pergolakan politik soal kebebasan berekspresi yang masih menjadi rapor merah pemerintah; kemudian masuk dalam isu lingkungan juga stagnan karena laju deforestasi yang tidak pernah tertahan.
Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mendekonstruksi Wacana Kesehatan Mental di Media Sosial Milik Pemerintah
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: dari Kebuntuan Politik Moralis ke Kebuntuan Melawan Kapitalisme
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa dari Keluarga Kelas Menengah ke Bawah di Persimpangan Mimpi dan Derita
Menjadi Gen Z
Pemaknaan Generasi Z (Gen Z) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah mereka yang lahir antara tahun 1997 - 2012. Melihat pada data Sensus Penduduk 2020, populasi Gen Z mencapai 71,50 juta jiwa. Sebagai sosok yang digadang-gadang akan membawa Indonesia pada puncak emasnya, penting untuk melibatkan Gen Z dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama.
Di kalangan Gen Z, isu tentang pengangguran menjadi hal yang terus menghantui, seolah menggambarkan masa depan yang tidak pasti. Menurut data Sakernas 2023 disebutkan bahwa setidaknya 1,47% dari populasi Gen Z berada pada kondisi “putus asa” dalam mencari pekerjaan. Mirisnya, pemerintah seolah tidak berupaya apa-apa untuk meningkatkan lapangan pekerjaan, khususnya pada sektor formal. Tanpa adanya political will yang serius, isu ketenagakerjaan akan menjadi angin yang terus berlalu saja. Alih-alih berpihak kepada rakyatnya, pemerintah justru membuat kebijakan yang semakin menyudutkan dan mendiskriminasi para pekerja, seperti hal kontrak kerja, penentuan upah, dan instrumen lainnya yang tercantum pada Undang-Undang Cipta Kerja –yang meski pada akhir Oktober 2024 lalu telah dikeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdampak besar terhadap penentuan upah minimum.
Meskipun putusan MK memberikan angin segar, diskriminasi terhadap Gen Z masih terjadi. Banyaknya lowongan pekerjaan yang mensyaratkan batasan usia menjadi penghambat bagi Gen Z untuk memiliki pekerjaan yang stabil. Sayangnya, gugatan yang dilayangkan kepada MK ini ditolak seluruhnya. Tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap generasi muda menjadi persoalan serius karena berdampak terhadap jumlah pengangguran di Indonesia. Pemerintah perlu untuk membuat kebijakan yang fleksibel sebagai pembuka jalan bagi Gen Z untuk masuk ke dalam dunia kerja.
Menjadi Gen Z tentu berat. Persoalannya, yang dilakukan pemerintah bertolak belakang dengan kebijakan yang dibuatnya.
Persoalan Ekonomi yang Kian Merosot
Menyoroti data yang dikeluarkan oleh BPS pada September 2024 lalu memperlihatkan adanya deflasi sebesar 0,12%. Deflasi adalah sebuah fenomena di mana terjadi penurunan harga barang dan jasa di suatu wilayah, beberapa faktornya adalah karena daya beli masyarakat yang menurun. Naasnya, tren deflasi di Indonesia sudah terjadi selama 5 bulan berturut-turut terhitung sejak Mei 2024 - September 2024. Menurut Amalia Adininggar Widyasanti, Plt Kepala BPS, fenomena deflasi beruntun terakhir terjadi di Indonesia ketika terjadi krisis finansial Asia pada tahun 1999.
Daya beli yang semakin menurun ini menjadi efek domino terhadap seluruh sektor kehidupan. Efeknya, perputaran ekonomi tidak berjalan sebagaimana mestinya, UMKM-UMKM banyak yang pailit dan menjerit, salah satu sebabnya menurut berbagai investigasi jurnalis karena larinya uang tidak lagi ke masyarakat melainkan ke judi online.
Sudah merosot, deflasi 5 bulan berturut-turut, muncul wacana naiknya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada awal Januari 2025 nanti. Kondisi ini semakin membunuh mereka yang berada di kelas bawah dan khususnya kelas menengah. Dalam kontribusi pajak, merujuk pada Riset LPEM FEB UI dalam Indonesia Economic Outlook Triwulan-III 2024 bahwa peran kelas menengah sangat signifikan dalam kontribusi penerimaan pajak sebesar 50,7% yang ironisnya berbanding terbalik dengan manfaat pertumbuhan yang diciptakannya, sehingga menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif.
Rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% ini sebetulnya diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 pada Pasal 7. Meski taat pada konstitusional, upaya menaikkan PPN ini tidaklah berada pada momentum yang tepat. Di saat kondisi ekonomi yang sedang lesu dan deflasi yang masih terjadi, perlu adanya kebijakan dari pemerintah untuk berupaya mencari penerimaan di luar pajak, bukan justru menaikkan tarif pajak. Mengingat juga kenaikan PPN ini tidak disertai dengan jaminan atas kondisi hidup yang lebih layak, sebut saja kualitas pendidikan jadi lebih baik, akses pelayanan publik yang lebih mumpuni, kualitas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana pemenuhan hak-hak atas hidup sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Masalah tarif PPN menjadi 12% akan turut memperbesar lubang deflasi yang semakin terbuka lebar. Apabila pemerintah tetap acuh dan fokus pada kepentingan oligarkinya, lingkaran setan akan terus berkutat menjadi permasalahan masyarakat. Pemerintah perlu kembali untuk mengkaji bagaimana kebijakan yang ada harus berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan komoditas politiknya.
Memasuki tahun 2025 ini, beberapa pungutan berisiko untuk naik: PPN menjadi 12%, iuran TAPERA, BPJS Kesehatan yang terancam pailit, uang kuliah tunggal (UKT) yang sempat ditunda kenaikannya, serta rencana subsidi kereta rel listrik (KRL) berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pemerintah yang berpihak, tentu akan melihat bagaimana kondisi perekonomian sedang bergejolak di masyarakat.
Perihal Sosial Politik dan Kebebasan Berekspresi
Melihat bagaimana berlangsungnya pemilu pada 2024 ini menggambarkan keberpihakan pemerintah bukan didasarkan pada kepentingan bersama, justru pada kepentingan koalisi. Pemilih hanya dijadikan sekadar angka, generasi muda dilihat sebagai objek pendulang suara, selebihnya, kepentingan koalisi dan politis di atas segalanya.
Sudahlah partai politik tidak berhasil menjalankan pendidikan politik, berkutat pada program yang pragmatis dan populis, tidak ada penawaran baru dalam bentuk ideologi-ideologi. Pasca 1965 memang masyarakat dijauhkan dari politik dan dibuat apolitis. Tujuannya tentu untuk mudah mengaturnya dan menjaga stabilitas kursi politiknya. Terlihat pada penelitian Edward Aspinall, Diego Fossati, Burhanuddin Muhtadi, dan Eve Warburton yang berjudul “Mapping the Indonesian Political Spectrum” bahwa secara ideologis hanya itu-itu saja.
Rendahnya pendidikan politik di masyarakat kita tidak berusaha untuk diperbaiki. Justru dimanfaatkan sebagai peluang suara dalam pertandingan elektoral. Penggunaan anggaran negara dalam pemanfaatan buzzer juga menjadi persoalan yang perlu dipersoalkan karena hadirnya menjadi sebab polarisasi dalam politik. Hasilnya, solidaritas tidak menguat, tidak ada perlawanan yang searah karena dipengaruhi oleh buzzer politik.
Fenomena besar dalam gerakan sosial yang dilakukan masyarakat sipil di tahun 2024 terjadi pada aksi #PeringatanDarurat di Agustus lalu. Aksi tersebut menolak adanya intervensi dan ketidaktaatan DPR dalam mematuhi putusan MK terkait peraturan Pilkada. Hal ini menunjukkan amarah dari kalangan sipil dan mahasiswa, mereka bergerak turun ke jalan sebagaimana nafasnya menjadi mahasiswa. Budaya turun ke jalan sudah tergambar sejak Orde Lama yang disebutnya sebagai Angkatan 66.
Tentang gerakan demonstrasi, tidak heran jika aparat penegak hukum menggunakan kekerasan sebagai bentuk “pengamanan”. Di Semarang, gas air mata terus ditembak meski demonstran telah mundur, di Jakarta, beberapa aksi massa dipukul, ditendang, bahkan ditangkap. Persoalan seperti ini tidak sesuai dengan amanah untuk melakukan reformasi besar-besaran dalam tubuh aparat penegak hukum–TNI dan Polri yang terlibat pada aksi Agustus lalu.
Tak hanya berkutat pada bentuk kekerasan saja, serangan siber dan ancaman menutupi ruang gerak tentang kebebasan berekspresi masyarakat. Bagaimana bisa kita mengamini sistem demokrasi sebagai sistem politik yang mengusung partisipasi aktif dari rakyat tetapi ketika berpartisipasi justru direpresif oleh aparat. Pola-pola seperti itu akan terus berulang selama aparat penegak hukum– TNI dan Polri tadi tidak pernah belajar dari kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang sampai kini tidak pernah mencapai titik temunya.
Penting bagi pemerintah dalam mendorong dan menciptakan budaya yang lebih baik dari tindakan-tindakan represif budaya Orde Baru. Mungkin memang benar bahwa Orba tidak pernah mati, ia hanya berganti jas.
Fondasi Terpenting, Pendidikan
Sebagai fundamental paling penting, pendidikan perlu mendapat sorotan lebih dari pemerintah. Kondisi sektor pendidikan kini sangat timpang, baik secara sarana maupun prasarananya. Pengajar di daerah dan di kota sangat timpang, begitu dengan kualitas ruang belajarnya. Pemerataan pendidikan tidak berjalan sebagaimana mestinya, hadirnya kebijakan zonasi hanya menambah catatan buruk bagi pemerintah dan aparat daerah terkait manipulasi-manipulasi yang dilakukannya.
Tidak hanya mempersoalkan tentang bentuk fisiknya. Dari segi pengajar yang diberikan beban administrasi besar-besaran ini menambah terpuruknya sektor pendidikan Indonesia belakangan ini. Pengajaran menjadi tidak maksimal, materi-materi pendidikan dasar tidak tersampaikan dengan baik, hingga yang terburuk adalah memudarnya kemampuan kognitif siswa.
Mungkin benar, inilah gambaran betapa sulitnya hidup di negara yang serius untuk tidak pernah serius. Tidak pernah serius melakukan perbaikan: pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, politik, lingkungan, budaya. Akibat terlalu serius, hal yang seharusnya menjadi hak masyarakat dinormalisasi sebagai hal yang wajar karena pemerintahnya tidak pernah berhasil untuk memenuhi hak-haknya.
*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara