SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: dari Kebuntuan Politik Moralis ke Kebuntuan Melawan Kapitalisme
Para moralis lantang menyuarakan kritiknya pada pejabat korup, tidak jujur, dan munafik. Setelah itu menguap begitu saja. Di balik itu kapitalisme berakar kuat.
Faris Ahmad Toyyib
Mahasiswa magister di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (UGM).
18 Desember 2024
BandungBergerak.id - Belakangan, saya mulai yakin bahwa pembicaraan politik moralis itu nonsens. Saya atau siapa pun bisa bilang bahwa pejabat A korup, pejabat B bodoh, atau pejabat C bajingan. Kita bisa memaki kebobrokan moral politisi sebanyak yang kita mau, sementara mereka bisa mengabaikan makian kita semaunya juga. Faktanya, memang, seruan-seruan moral nyaris tak pernah didengar, seolah cuma gonggongan anjing yang akan reda sendirinya. Contoh paling jelas, Rocky Gerung. Ia bisa mencap per pejabat ‘dungu’ di setiap kanal publik di mana ia sebagai pewara. Namun, apakah per pejabat dengan cap dungu itu insaf kemudian?
Pembicaraan politik moralis melihat borok politik sebagai konsekuensi dari kebobrokan moral pejabat. Sebabnya, jika borok itu lekas mau sembuh, pejabat harus mulai berlatih jujur (menyampaikan kebenaran), pintar (mampu membangun program bagus), rendah hati (sanggup berintrospeksi diri), open minded (terbuka atas aspirasi-aspirasi), dan seterusnya. Andai tiap pendidikan kita punya sistem yang teruji untuk melahirkan manusia bermoral sehingga tiap tahun lulusan orang bermoral tumpah-ruah, lalu mereka menjadi pejabat publik, maka niscaya negara yang menjunjung kesejahteraan dan keadilan terwujud.
Dengan demikian, perhatian besar kita harusnya diberikan pada pendidikan lebih dari apa pun, sebab hanya dalam pendidikan moralitas orang itu diasuh. Apakah ini berarti bahwa pendidikan yang kita miliki jelek dan gagal sehingga melahirkan lulusan-lulusan dengan moral menjijikkan yang pada gilirannya menjadi pejabat dengan tindak-tanduk yang sama menjijikkan? Saya tidak bisa menjawab. Namun, hal yang sudah common sense bahwa orang dengan masa pendidikan lama, dari keluarga sampai kuliah, pasti bermoral. Dan nyaris semua politisi memiliki ini, bahkan sebagian lulusan luar negeri dan pesantren.
Di lapangan, orang, sebermoral apa pun, jika masuk ke dunia politik tak ada beda dengan mereka yang menindas dan meresahkan rakyat! Dengan kata lain, langkah ekonomi-politiknya sama-sama kapitalis dan mutlak bahwa tidak ada kapitalisme baik. Misal, mengesahkan undang-undang yang merugikan buruh, merampas lahan warga untuk proyek nasional yang bahkan mengerahkan kekerasan aparat, memenangkan selalu pemodal ketika gugatan dilayangkan atas pabrik yang polusinya merusak paru-paru penduduk sekitar, dan menjadikan lembaga pendidikan tak lebih dari pencetak buruh untuk perusahaan-perusahaan.
Kapitalisme bisa dikatakan menjadi langgam baku di setiap era kepemimpinan, dari sebelum Jokowi, ketika Jokowi, dan setelah Jokowi—untuk yang terakhir tinggal menunggu waktu. Saya, dengan ini, ingin mengatakan bahwa menjadi bermoral saja tidak cukup! Pejabat harus memiliki pengetahuan tentang apa itu kapitalisme, bagaimana kapitalisme bekerja, dan alternatif macam apa setelah kapitalisme, yang syukurnya hal ini telah digumuli dan ditulis oleh Karl Marx dan pelanjut ide-idenya sampai sekarang. Tugas calon pejabat adalah mempersiapkan diri: tinggal baca bukunya, sering-sering merenungkan dan mendiskusikan. Mengapa harus antikapitalisme? Karena kapitalismelah pangkal kerusakan kehidupan.
Dengan demikian, kaum moralis politik itu salah arah, tidak menyentuh persoalan utama. Selain, pertama, salah arah—sebagai konsekuensi lanjutan—kedua, pembicaraan politik moralis bersua jalan buntu. Setelah kita berbusa-busa mengatakan bahwa pemerintah munafik, korup, dan rakus kekuasaan, apa selanjutnya? Kita mungkin berdemo agar pelaku dihukum berat. Namun, hukum selalu tumpul menghadapi elite politik dan pengusaha—atau dirancang skenario entah bagaimana sehingga kasusnya lenyap ditelan waktu. Kondisi ini akan membuat kita patah arang, lalu akhirnya tenggelam ke dalam arus ketidakacuhan yang tak berujung.
Gerakan politik moralis memiliki nasib persis serupa pembicaraannya, salah arah dan menabrak kebuntuan. Contoh paling terkini adalah #PeringatanDarurat, aksi massa membara selama kurang lebih sepekan di akhir Agustus lalu. Aksi ini menua hasil: Jokowi gagal mendudukkan anaknya di Pilkada Jawa Tengah. Sialnya, cerita belum selesai. Putusan MK memang merugikan faksi oligarki Jokowi, namun menguntungkan faksi oligarki lainnya, yaitu (i) PDIP layak mencalonkan orangnya sendiri tanpa harus berkoalisi, (ii) Anies kembali mungkin mencalonkan diri setelah sebelumnya dibekuk oleh 12 partai oposisi, dan (iii) Prabowo bisa cek ombak seberapa kuat pengaruh kuasa Jokowi untuk pasca-pelantikan [Mudhoffir AM, A’yun RQ. Darurat Aktivisme Borjuis. Project Multatuli. August 23, 2024. Accessed November 16, 2024].1
Oleh karena itu, penyelamat kaum moralis politik adalah kedatangan nabi selanjutnya. Sebagaimana kita mafhum, hanya nabi yang punya moralitas sempurna mutlak. Namun, sayangnya nabi sudah tidak ada lagi setelah Nabi Muhammad, setidaknya ini dalam pandangan muslim. Penyelamat lainnya adalah kiamat. Dunia ini mestinya segera berakhir agar tidak ada lagi penindasan rakyat. Namun, sepertinya kiamat masih jauh. Dari waktu ke waktu sudah banyak ramalan kiamat dan semuanya meleset, spekulasi tak berdasar belaka. Di titik inilah kebuntuan itu mendekam; mereka yang moralis meratap dan merutuk belaka.
Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mau ke mana Arah Demokrasi Kita?
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ancaman Kerusakan Keanekaragaman Hayati dan Krisis Iklim Akibat Proyek Food Estate di Indonesia
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Janji Hijau di Tengah Luka Alam
Politik Kelas: Kebuntuan Lain?
Demi menerabas kebuntuan, pembicaraan politik harus ditarik pada perspektif Marxis atau kelas. Lantaran musuh yang dihadapi ialah sistem ekonomi-politik kapitalis dan satu-satunya pendekatan yang membicarakan kapitalisme paling serius ialah politik kelas, maka peralihan dari politik moralis ke politik kelas merupakan keharusan. Lalu, apakah politik kelas?
Jika Anda menjual keterampilan yang Anda miliki kepada bos Anda sebagai analis data atau tukang ledeng, misal, maka Anda adalah buruh; bos Anda adalah pemodal. Jika Anda menjual produk kerja Anda, hasil panen atau tangkapan laut, misal, pada tengkulak atau pabrik, Anda buruh; tengkulak dan pemilik pabrik adalah pemodal. Politik kelas melihat masyarakat terbelah atas dua macam: kelas proletar/buruh dan kelas borjuis/ pemodal/kapitalis. Kapitalis ingin memupuk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan cara mengeksploitasi buruh; buruh mau tidak mau harus menjual keterampilan produknya pada kapitalis agar bisa bertahan hidup.
Kapitalis akan melakukan apa pun agar bisa memupuk kekayaan. Ia memengaruhi kebijakan negara agar berpihak padanya, menguntungkan bisnis-bisnisnya, yang bisa dengan menjadi bagian dari pemerintah—jumlah dewan eksekutif kita berlatar pengusaha banyak dan seiring waktu semakin meningkat—atau memberi “santunan” jika enggan terlibat langsung. Selain itu, untuk maju dalam suatu pemilihan umum ongkos yang dibutuhkan begitu mahal sehingga hanya orang super kaya bisa maju atau harus mencari sponsor dari pemodal. Akibatnya, ia terkerangkeng dalam hubungan balas budi. Sebab itu, jangan heran jika rata-rata politisi kita kebanyakan tak lebih dari jongos pemodal.
Namun, coba bayangkan sekarang terdapat seorang pemimpin baru yang maju secara independen, dimenangkan oleh suara rakyat, dan memiliki visi kesejahteraan. Apakah sang pemimpin baru tetap menjalankan sistem kapitalisme secara otomatis, padahal tidak terpengaruh pemodal—dia bebas? Tentu. Kapitalisme telah meresap ke dalam setiap bentuk negara modern sehingga, seidealis apa pun, sang pemimpin baru akan terjebak untuk menjalankannya begitu saja. Karena itu, setiap pelantikan pemimpin baru hanyalah pergantian pengendara dengan motor, lintasan, dan aturan berkendara yang telah ditentukan.
Varian kapitalisme yang dimaksud adalah kapitalisme finansial dan kata Nancy Fraser, “kekhasan rezim ini adalah sentralitas baru dari utang” [Fraser N. Contradictions of Capital and Care. New Left Rev. 2016;100. Accessed November 16, 2024].”2 Nyaris kini tak ada negara yang tidak punya utang. Pemberi utang (pemodal, negara, atau lembaga internasional) dapat memanfaatkan utang itu untuk eksploitasi. Semisal, jika Indonesia punya utang pada Bank Dunia, Bank Dunia dapat menekan Indonesia untuk terlibat dalam perekonomian internasional (baca: kapitalisme neoliberal) sehingga Amerika—keduanya memang berkomplot— dapat membangun perusahaan-perusahaannya di Indonesia dan memperolah banjir buruh murah.
Akan tetapi, kungkungan kapitalisme sendiri itu satu hal. Hal lainnya adalah keterasingan sang pemimpin baru dari wacana politik kelas. Faktanya, ia memang tidak pernah menyentuh sekadar sampul Communist Manifesto atau buku pengantar kajian kapitalisme lainnya—ini sepertinya menjadi ciri umum para politis kita. Karena itu, boro-boro ia mengerti kapitalisme, modus kerjanya, cara melawannya, apalagi alternatif dunia setelah keruntuhannya. Sialnya, Indonesia melarang pembelajaran, penyebaran, dan pengorganisasian Marxisme sejak Orde Baru dan Orde Baru menginjeksi masyarakat dengan paranoid pada komunisme.
Terakhir, meskipun perspektif kelas sanggup memberikan gambaran presisi mengenai kapitalisme yang merupakan pangkal kerusakan sosial, ekonomi, dan politik, apakah ia tidak akan menemukan kebuntuan seperti halnya politik moralis? Kita tidak akan lupa kapitalisme telah jatuh bangun berulang kali, dan bangkit berulang kali; dari kapitalisme liberal abad ke-19, ke kapitalisme liberal, lalu ke bentuknya paling kiwari, kapitalisme finansial. Ramalan-ramalan mengenai akhir dari kapitalisme selalu keliru. Banyak pemikir Marxis menunjukkan bahwa kapitalisme mengandung pada dirinya swa-penghancuran dan ini adalah peluang niscaya menuju dunia tanpa kapitalisme. Namun, sayangnya, swa-penghancuran diri justru membuat kapitalisme belajar, bermutasi menjadi lebih gahar dan kokoh.
Membayangkan keruntuhan kapitalisme atau dunia tanpa kapitalisme adalah hal sukar bagi banyak orang hari ini, sesukar masyarakat abad pertengahan membayangkan bahwa sistem tata surya Copernicus adalah benar, sedang Ptolemaeus adalah keliru setelah meyakininya sebagai kebenaran ilahi untuk beberapa waktu yang lama. Kapitalisme bisa dilawan, bisa dilenyapkan, karena mulanya ia tidak ada, menjadi ada, lalu mengapa tidak mungkin meniadakannya kembali?
*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara