SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Dari Penggunaan Buzzer untuk Black Campaign hingga Endorsement Pasangan Calon Pilkada oleh Presiden, Mau ke mana Arah Demokrasi Kita?
Endorsement salah satu pasangan calon kepala daerah oleh presiden sah-sah saja selama mengikuti UU Pemilu. Namun, apakah tindakan tersebut pantas atau tidak.
Nur Fitri Ramadani
Mahasiswi Hukum Universitas Diponegoro, hobi menulis, dan volunteer berbagai kegiatan di Semarang.
17 Desember 2024
BandungBergerak.id - Endorsement salah satu pasangan calon kepala daerah oleh presiden sah-sah saja selama mengikuti UU Pemilu. Namun, apakah tindakan tersebut pantas atau tidak.
Reformasi yang terjadi 26 tahun membawa Indonesia sebagai salah satu negara demokratis terbesar di dunia. Tahun 2024 menjadi momentum besar perayaan demokrasi di Indonesia dengan dua pemilihan sekaligus yang dilaksanakan pada tahun yang sama, yakni Pemilu dan Pilpres pada 14 Februari dan Pilkada pada 27 November. Pemilu, Pilpres, dan Pilkada adalah ajang bagi para tokoh dan partai politik untuk menunjukkan taji dan kepiawaian mereka dalam menarik suara rakyat.
Namun, di balik euforia pesta demokrasi ini, muncul berbagai fenomena memprihatinkan, mulai dari penggunaan buzzer politik untuk black campaign hingga “endorsement” yang dilakukan oleh Presiden terhadap salah satu pasangan calon. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan: ke mana arah demokrasi kita sebenarnya?
Penggunaan Buzzer Politik dalam Pelaksanaan Black Campaign terhadap Kandidat Lawan
Pada kontestasi politik tahun ini, keberadaan media sosial akibat masifnya perkembangan teknologi dan digitalisasi dapat menjadi media kampanye yang menguntungkan. Fakta bahwa pemilih muda mendominasi sebagian besar daftar pemilih tetap menegaskan dominasi pengguna media sosial sebagai target utama kampanye. Dilansir dari laporan rapat pleno penetapan DPT Pemilu 2024 KPU, persentase gen milenial dan gen z sebagai kelompok aktif pengguna media sosial dalam daftar pemilih tetap bahkan mencapai 33,6 persen dan 22,85 persen. Namun, penggunaan media sosial tidak selalu digunakan untuk menarik suara rakyat dengan mempromosikan kandidat yang diusung, melainkan turut digunakan untuk melancarkan serangan politik melalui black campaign kepada kandidat lain yang didukung oleh buzzer politik.
Istilah buzzer politik dapat diartikan sebagai individu atau kelompok terorganisir yang secara aktif menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan politik, memengaruhi opini publik, dan memanipulasi persepsi massal terhadap kandidat atau partai politik tertentu (Mustika, 2019). Penggunaan buzzer bukan merupakan hal baru dalam politik di berbagai negara. Sebuah studi yang dipublikasikan oleh Bradshaw dan Howard pada tahun 2019 mengatakan bahwa 89 persen dari 70 negara yang mereka teliti menggunakan buzzer politik untuk mengkritik kandidat lawan mereka di pemerintahan. Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016 turut menggunakan buzzer politik dalam mendukung Donald Trump dengan menyebarkan klaim palsu dan menyerang Hillary Clinton (Muqsith et al., 2021).
Di Indonesia, peran buzzer politik dalam Pilkada 2024 sangat terasa. Penggunaan buzzer politik pada dasarnya bukan hal yang salah apabila dilakukan dengan memoles citra kandidat melalui kampanye visi misi, program kerja, dan kelebihan kandidat. Akan tetapi, alih-alih memperlihatkan keunggulan kandidat yang diusung, buzzer politik justru dikerahkan untuk menjatuhkan kandidat lawan dengan serangkaian kebohongan dan hoaks sehingga mempengaruhi elektabilitas lawan. Strategi utama yang digunakan oleh buzzer politik dalam melaksanakan black campaign adalah memanipulasi informasi yang berkaitan dengan kandidat lawan dengan tujuan memengaruhi opini publik.
Upaya tersebut dilakukan dengan menyebarkan hoaks, mengedit atau memanipulasi video serta menggunakan kutipan di luar konteks aslinya untuk menciptakan narasi misleading. Berdasarkan laporan pemeriksaan fakta secara langsung (live fact-checking) Koalisi Cek Fakta, pada momen Pilkada Serentak 27 November 2024, sebanyak 98 laporan berita dan konten hoaks telah diterima dari berbagai provinsi. TikTok menjadi platform media sosial yang paling banyak dilaporkan (43 laporan). Dari total 98 laporan, sebanyak 77 laporan telah diidentifikasi sebagai hoaks, sementara 21 laporan lainnya tidak memenuhi kategori hoaks.
Penyebaran hoaks yang tinggi dibarengi dengan rendahnya literasi digital masyarakat dapat berdampak buruk pada demokrasi di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) di 20 provinsi, sebanyak 60 persen responden tidak mengetahui bahwa informasi tentang Warga Negara Asing akan diberi KTP untuk mencoblos pasangan calon tertentu adalah informasi hoaks. Selain itu, beberapa indikator lain yang ditanyakan kepada responden juga memberikan hasil yang sama di mana lebih dari 60 persen responden tidak mengetahui bahwa informasi tersebut adalah hoaks. Hal ini menunjukkan betapa rapuhnya daya kritis masyarakat dalam menghadapi informasi yang belum dapat dipastikan kebenarannya.
Black campaign dengan menggunakan hoaks dan manipulasi informasi oleh buzzer politik jelas merusak prinsip demokrasi yang sehat. Buzzer seharusnya digunakan untuk mempromosikan keunggulan kandidat, bukan untuk menyerang lawan dengan cara-cara yang tidak etis. Namun, kenyataannya, strategi kampanye sering kali berfokus pada pembentukan persepsi negatif terhadap lawan, yang pada akhirnya memperburuk polarisasi politik dan menggerus kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.
Baca Juga:SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ancaman Kerusakan Keanekaragaman Hayati dan Krisis Iklim Akibat Proyek Food Estate di Indonesia
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Janji Hijau di Tengah Luka Alam
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa di Persimpangan Neoliberalisme Pendidikan, antara Performativitas Gerakan dan Tantangan Perjuangan Substantif
Presiden Jadi Juru Kampanye, Endorsement atau Dukungan dari Ketua Parpol?
Demokrasi di Indonesia menjunjung tinggi prinsip keadilan, netralitas dan partisipasi yang setara. Namun, pada Pilkada tahun ini, fenomena presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan memberikan “endorsement” kepada salah satu pasangan calon pilkada dinilai menimbulkan berbagai kontroversi. Endorsement dalam konteks politik dapat diartikan sebagai dukungan atau rekomendasi yang disampaikan oleh individu atau kelompok kepada kandidat atau partai dalam kontestasi politik dengan tujuan memengaruhi opini publik atau meningkatkan elektabilitas kandidat maupun partai yang didukung. Endorsement yang dilakukan Presiden dapat mengaburkan batas antara fungsi presiden sebagai pemimpin negara yang seharusnya netral dan perannya sebagai ketua atau bagian dari partai politik. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah tindakan tersebut dapat dikatakan melanggar prinsip hukum dan demokrasi atau dapat dijustifikasi sebagai bagian dari hak politik individu presiden?
Sebagai kepala negara, presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Artinya, presiden harus menjaga netralitas dan kepentingan seluruh rakyat termasuk dalam Pilkada dengan tidak berpihak kepada salah satu calon pasangan kepala daerah terlepas dari konstituen politiknya. Namun, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberikan ruang bagi para pejabat negara dan pejabat pemerintah untuk berkampanye selama sesuai dengan ]aturan seperti mengajukan cuti di luar tanggungan negara, tidak menggunakan fasilitas negara kecuali pengamanan, dan aturan lain sebagainya. Dalam sistem presidensial Indonesia, presiden memiliki afiliasi kuat dengan partai politik yang berkuasa. Hal ini kemudian memunculkan persoalan di mana batas seorang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dan presiden sebagai bagian atau bahkan ketua dari partai politik yang ikut serta dalam kontestasi pemilihan.
Secara normatif, tindakan endorsement salah satu pasangan calon kepala daerah oleh presiden sah-sah saja selama mengikuti ketentuan Undang-undang Pemilu. Namun, di luar dari ketentuan hukum perlu dipertanyakan apakah tindakan tersebut pantas atau tidak. Presiden memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk bertindak sebagai simbol persatuan bangsa. Ketika presiden terlibat dalam kampanye politik, posisinya tidak lagi dianggap netral melainkan dapat dipersepsikan sebagai bagian dari kelompok tertentu.
Dukungan dari seorang presiden kepada calon tertentu dapat memberikan keunggulan politik bagi calon yang didukung. Terlepas dari posisi presiden sebagai ketua partai politik pengusung calon tersebut, Presiden harus tetap mengutamakan prinsip keadilan dalam berdemokrasi. Sebagai kepala negara, presiden memiliki pengaruh kuat untuk memengaruhi opini publik. Ketika presiden secara terbuka mendukung pasangan calon tertentu, kandidat lain yang tidak memiliki akses serupa menghadapi ketimpangan yang signifikan dalam kompetisi politik. Hal ini jelas melanggar prinsip keadilan dalam demokrasi. Selain itu, endorsement oleh presiden turut menjadi faktor dalamnya polarisasi politik di masyarakat. Presiden sebagai simbol persatuan bangsa alih-alih menciptakan demokrasi yang sehat, justru memperkeruh hubungan antar pendukung terutama ketika Presiden menggunakan retorika partisan yang tajam selama kampanye.
Netralitas dan Keadilan
Kemajuan demokrasi yang dihasilkan pascareformasi pada realitanya belum mampu menghadirkan demokrasi yang sehat dalam dinamika politik di Indonesia. Berbagai tantangan masih mengancam kualitas dan integritas demokrasi di negeri ini. Fenomena buzzer politik yang digunakan untuk black campaign terhadap kandidat lawan dengan menyebarkan hoks serta manipulasi informasi telah mencederai prinsip demokrasi sehat dan memperburuk polarisasi masyarakat.
Selain itu, meskipun keterlibatan presiden dalam memberikan endorsement kepada salah satu pasangan calon sah secara normatif, tetap saja menimbulkan pertanyaan tentang netralitas dan keadilan dalam demokrasi. Keberpihakan presiden pada salah satu pasangan calon kepala daerah jelas tidak sejalan dengan prinsip demokrasi yang sehat dan adil. Namun, persoalan demikian hanyalah sebagian kecil dari tantangan yang dihadapi demokrasi di negara ini. Masih banyak persoalan lain yang belum terungkap dan tidak dapat menemukan penyelesaian, lalu bagaimana kita sebagai mahasiswa dapat menjawab pertanyaan ke mana sebenarnya arah demokrasi kita saat ini?
*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara