SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa dari Keluarga Kelas Menengah ke Bawah di Persimpangan Mimpi dan Derita
Mahasiswa dari keluarga mengengah ke bawah harus bergumul dengan segala kesusahan. Mereka dan orang tuanya sama-sama terjebak di negara yang payah.
Ahmad Baidhowi Mursyid
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
21 Desember 2024
BandungBergerak.id - Di sebuah kos kecil berbau asap rokok, seorang remaja mengenakan pakaian kaos oblong dan berkaca mata membolak-balikkan buku yang berserakan di lantai. Kamarnya sempit; di dinding bergelantungan pakaian-pakaian dan di bagian pojokan terdapat sebuah kasur lipat tipis yang digulung. Tidak ada lemari di dalamnya, semua barang yang dimilikinya diletakkan sembarangan di dalam kamar—nyaris seperti gudang. Terkadang, ia juga memikirkan nasib bukunya, yang bisa saja kena kopi atau tergilas kaki ketika tidur.
Begitu sore tiba, ia akan meninggalkan kos. Ia pergi ke sebuah kafe dekat tempat tinggalnya. Tak ada buku yang dibawa, hanya tas kecil yang berisi Hp dan dompet. Ia menggantungkan kehidupannya di kafe itu. Ketika jam dua dini hari, ia kembali ke kamar dan tidur. Saat mata kuliah masih ada, ia akan bangun jam tujuh pagi lalu bergegas ke kampus. Sekarang ini ia hanya fokus pada skripsi. Hari-harinya banyak dihabiskan di kamar dan kafe, tak jarang juga pergi ke perpustakaan. Empat tahun sudah ia masuk ke dalam kehidupan yang monoton di kota yang jauh dari daerah asalnya.
Dalam benakku, bagaimana ia akan bersenang-senang. Aku tak bisa membayangkannya, karena hidup serba kekurangan, yang digelutinya hanyalah belajar dan bekerja. Bersenang-senang menjadi hal kesekian yang tak pernah digapai. Tentu ia mendambakan, sayangnya kenyataan tak memberikannya kesempatan. Melihatnya, membuatku bergidik. Bukan karenanya, tapi pada kehidupan di negara ini.
Aku pikir jika menjadi mahasiswa itu bakal hidup glamor: main sana-sini, nongkrong di kafe sampai larut malam, punya banyak waktu untuk belajar, makan di restoran mahal, tak lupa berpacaran di taman-taman kota. Nyatanya, sebaliknya. Jika masuk di sebuah kampus, jauh dari keluarga, dan dompet tipis, kita akan merasakan bagaimana mimpi dan kenyataan menggerus jiwa yang masih muda.
Buku-buku yang melambai-lambai minta dibaca, kertas kosong yang minta ditanami kata-kata, telinga menganggur meminta ceramah akan sulit tuk memenuhi. Mungkin saja kita mendapatkannya, di sela-sela jam kampus, di bangku kafe saat menunggu pelanggan. Sayangnya, waktu itu sangat singkat, yang pada akhirnya, bukan kita yang membagi waktu, tapi waktu telah berkompromi dengan kenyataan mengatur kita.
Kuliah sambil bekerja adalah hal yang melelahkan. Terkadang, penghasilan yang kita dapatkan enggak cukup untuk kebutuhan satu bulan. Pekerjaan yang diperuntukkan bagi usia muda jarang yang sampai menyentuh angka Upah Minimum Regional (UMR). Lumayan kalau dapat pekerjaan, kalau tidak, minta orang tua?
Dulu ketika duduk di bangku sekolah dasar, aku masih mengingat ketika aku beli beras yang hanya butuh delapan ribu rupiah untuk mendapatkan satu kilogram. Sekarang, delapan ribu kurang lebih hanya mendapatkan setengahnya. Belum lagi harga minyak, BBM, listrik, PDAM, dan kebutuhan lain yang melambung tinggi. Parahnya kalau orang tua kita sebagai pekerja yang gajinya tidak tetap. Ketergantungan kita padanya sama halnya berbagi kesengsaraan. Mungkin bisa saja orang tua kita memberi uang tambahan, tapi yang perlu kita renungkan ialah apakah penghasilan mereka juga bertambah. Kenaikan harga barang pokok tak pernah mengajak gaji. Kita dan orang tua sama-sama terjebak di dalam negara yang payah.
Sempat berpikir kalau beasiswa bisa membantu. Ya, seperti yang kita tahu, memang membantu, tapi sebatas bagi siapa yang mendapatkannya. Kita akan bersaing dengan orang-orang yang punya privilese; banyak dana, pendidikan, dan lingkungan yang mendukung. Jika tak dapat, kita akan masuk ke dalam dunia yang mengerikan.
Baik dari keluarga menengah ke atas maupun keluarga menengah ke bawah pasti mempunyai harapan yang indah mengenai kehidupan. Tak bisa jika kita mengatakan kalau orang menengah ke bawah tergolong kelas pemalas dan tak memiliki cita-cita. Lebih fatalnya lagi kalau menganggap mereka pola pikirnya terbelakang—SDM rendahan kalau bahasa komentar di sosial media.
Meski kehidupan serba kekurangan, bukan berarti menengah ke bawah tak memiliki harapan. Setiap manusia mempunyai harapan yang kompleks terhadap kehidupan, yang tak hanya butuh nasi dan segelas teh. Kendala bagi mereka ialah kehidupan yang begitu pelik, sehingga untuk mewujudkan harapan sangat susah. Selain bertarung dengan cita-cita, mereka juga memikirkan bagaimana besok bisa makan. Mereka bertempur dua kali lipat lebih menyeramkan dari pada orang dari kelas menengah ke atas. Bahkan, dari golongan menengah saja kadang juga mengalami hal serupa—sama-sama kesulitan.
Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Sampai Kapan Guru Harus Menyandang Gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Dwi Fungsi dalam Balutan Revisi UU TNI, Ancaman bagi Demokrasi Kita
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: dari Kebuntuan Politik Moralis ke Kebuntuan Melawan Kapitalisme
Aku rasa, sebagai remaja di negara ini sangat membingungkan—harapan bergandeng tangan dengan keputusasaan. Kehidupan tak bersahabat dengan kita. Jika kita penuh dengan keterbatasan, dan tinggal di Indonesia, kita akan mengalami kesusahan untuk melangkah ke dunia yang lebih baik. Pada akhirnya kita menyerahkan sepenuhnya mimpi-mimpi yang telah kita rajut pada sebuah pabrik dekat rumah. Bayang-bayang kampus sering menyelinap, sekadar menyelinap saja dalam tidur kita. Keesokan harinya kita bangun dan pergi bekerja.
Seandainya kita tetap memilih kuliah, salah satu yang perlu kita siapkan ialah menghadapi penderitaan yang tak kenal ampun. Di negara yang katanya kaya ini, hal seperti itu terjadi demikian mudah. Entah apa yang pemerintah pikirkan, sehingga negara ini bisa begitu mengerikan.
Kecintaan pada hidup, di masa muda ialah memperjuangkan mimpi. Memang kampus bukanlah jalan salah satunya, tapi dari kita banyak yang memilih dan mengharapkan bisa belajar di situ. Maka tak ada alasan lagi buat pemerintah untuk tidak peduli dengan para remaja yang membangun cita-cita di kampus. Tanpa kesejahteraan yang layak, pintu kesempatan akan semakin sempit.
“Karena, bukan kau mendekati kemiskinan, kau akan mendapat sebuah pelajaran yang lebih berharga dari yang lain. Kau akan berkenalan dengan kebosanan dan keruwetan hidup yang kejam dan rasa lapar, tetapi kau juga berkenalan dengan satu sifat kemiskinan yang dapat melipur sengsara: kemiskinan menghapus masa depanmu,” George Orwell—Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London.
*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara