• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Dwi Fungsi dalam Balutan Revisi UU TNI, Ancaman bagi Demokrasi Kita

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Dwi Fungsi dalam Balutan Revisi UU TNI, Ancaman bagi Demokrasi Kita

Menolak Revisi UU TNI bukan berarti menolak kontribusi militer. Kontribusi mereka harus tetap berada dalam ranah kedaulatan negara, bukan mencampuri urusan sipil.

Muhammad Rafly Gibrant Utaya

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Wali Kota Bandung, 1 Juli 2024. Mereka menolak RUU Tapera, RUU TNI, dan RUU Polri. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

20 Desember 2024


BandungBergerak.idBelakangan ini, revisi terhadap Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali menjadi sorotan. Salah satu poin krusial adalah usulan perluasan Pasal 47 ayat (2), yang memungkinkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil di kementerian atau lembaga negara yang membutuhkan atas perintah presiden. Alasan resminya? “keahlian” militer yang dianggap bisa memperkuat kinerja birokrasi. Namun, di balik narasi ini, ada sebuah bahaya besar yang mengintai: bangkitnya kembali pola dwi fungsi militer yang secara halus mengancam kualitas demokrasi kita.

Dwi fungsi ABRI pada era Orde Baru adalah salah satu penyebab utama mengapa Indonesia sempat terjerat dalam otoritarianisme. Pada saat itu, militer memiliki dua peran: sebagai penjaga keamanan dan sekaligus pengendali birokrasi. Semua lini pemerintahan—dari kementerian hingga kepala daerah—diwarnai oleh kehadiran prajurit aktif. Akibatnya? Sistem politik kita menjadi otoriter, tidak ada ruang untuk kritik, dan militer berada di atas hukum.

Ketika Reformasi 1998 berhasil memisahkan militer dari urusan sipil, itu bukan sekadar langkah simbolis. Reformasi 1998 berupaya mengakhiri praktik ini dengan memisahkan peran militer dari urusan sipil di mana pemisahan ini adalah fondasi baru demokrasi kita, yang menegaskan bahwa militer harus fokus pada pertahanan negara, sementara urusan sipil harus dikendalikan oleh birokrasi yang profesional dan akuntabel. Lalu mengapa para pembentuk kebijakan sekarang hendak mengaburkan batas ini?

Argumen “Keahlian Militer” yang Perlu Dipertanyakan

Pengusulan revisi ini berdasarkan klaim bahwa prajurit TNI memiliki keahlian yang relevan untuk mendukung birokrasi sipil. Tapi mari kita berhenti sejenak dan menguji dalih tersebut secara kritis: keahlian apa yang dimaksud? Militer dapat kita katakan memang unggul dalam bidang pertahanan dan keamanan, tetapi birokrasi sipil memerlukan keterampilan yang berbeda, seperti penyusunan kebijakan publik, pengelolaan anggaran, hingga interaksi dengan masyarakat sipil. Apakah prajurit aktif memiliki pengalaman dan kapasitas dalam aspek-aspek ini?

Bahkan jika mereka memiliki keahlian teknis tertentu, mengapa harus prajurit aktif? Bukankah ada banyak pensiunan TNI yang bisa mengisi peran ini tanpa merusak prinsip pemisahan kekuasaan? Atau, jika tujuannya murni meningkatkan kapasitas birokrasi, mengapa tidak berinvestasi dalam pelatihan bagi pejabat sipil yang memang sudah bekerja di sektor tersebut?

Alasan “keahlian” ini terasa seperti tameng, bukan argumen yang kokoh.

Menjadi Celah untuk Penyalahgunaan Kekuasaan

Bahaya terbesar dari revisi ini adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Ketika prajurit aktif diizinkan menduduki jabatan sipil, mereka tidak hanya membawa struktur militer ke dalam birokrasi, tetapi juga memperbesar peluang pengaruh politik militer di ranah sipil. Dalam kondisi seperti ini, sulit untuk membayangkan adanya transparansi dan akuntabilitas. Sejarah menjadi saksi bahwa dwi fungsi militer pada masa Orde Baru membawa konsekuensi buruk bagi tata kelola negara. Dengan militer mendominasi jabatan sipil, pemerintahan kehilangan sifat akuntabel dan ruang publik menjadi semakin sempit. Reformasi 1998 adalah langkah monumental untuk membatasi peran militer pada ranah pertahanan saja, memastikan supremasi sipil atas militer.

Usulan revisi ini membuka kembali jalan untuk mengaburkan pemisahan itu. Tidak ada jaminan bahwa kehadiran prajurit aktif di birokrasi sipil tidak akan merusak prinsip dasar demokrasi. Sebagai contoh, mari kita lihat beberapa negara yang mengalami militerisasi birokrasi. Thailand, misalnya, secara rutin terganggu oleh intervensi militer dalam politik sipil. Setiap kali militer terlibat, hasilnya hampir selalu sama: demokrasi yang lumpuh, kebijakan yang tidak transparan, dan ruang publik yang semakin sempit.

Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Sampai Kapan Guru Harus Menyandang Gelar Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: dari Kebuntuan Politik Moralis ke Kebuntuan Melawan Kapitalisme
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Dari Penggunaan Buzzer untuk Black Campaign hingga Endorsement Pasangan Calon Pilkada oleh Presiden, Mau ke mana Arah Demokrasi Kita?

Pertanda Demokrasi Sedang Terancam

Revisi Pasal 47 UU TNI ini bukan hanya persoalan teknis hukum, tetapi ancaman langsung terhadap sistem demokrasi kita. Salah satu prinsip utama demokrasi adalah pemisahan kekuasaan, termasuk antara institusi sipil dan militer. Ketika batas ini dilanggar, kita mulai masuk ke wilayah abu-abu di mana akuntabilitas hilang, dan keputusan strategis negara dapat dengan mudah dikendalikan oleh kelompok yang tidak memiliki legitimasi politik dari rakyat.

Imparsial, sebuah organisasi yang berkomitmen pada pengawasan hak asasi manusia, secara tegas menyatakan bahwa revisi ini berpotensi “membegal konstitusi’, menjadikannya sebagai ancaman konstitusional yang dapat melemahkan negara hukum. Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Ketika militer diperbolehkan menduduki jabatan sipil, kita membuka pintu bagi kembalinya pola pemerintahan yang otoriter. Ditambah lagi dengan budaya hierarkis yang melekat pada militer, transparansi dan akuntabilitas—dua pilar utama tata kelola yang baik—akan sulit diwujudkan jika struktur militer disuntikkan ke dalam ranah sipil.

Selain itu, konsep “pasal karet” yang tercium dengan pekat dalam usulan rancanga revisi ini menimbulkan kekhawatiran serius. Frasa yang memungkinkan penempatan prajurit atas perintah presiden membuka peluang bagi interpretasi luas yang rentan disalahgunakan untuk tujuan politik. Hal ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi yang sedang berkembang seperti Indonesia

Membiarkan revisi ini lolos berarti membuka pintu bagi pretoriansime—dominasi militer dalam urusan politik—yang secara langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi modern. Lebih dari itu, hal ini mengkhianati semangat reformasi yang telah mengorbankan banyak energi dan pengorbanan dari masyarakat sipil untuk membangun tata kelola yang berkeadilan.

Sebagai bangsa yang telah melewati masa kelam otoritarianisme, kita seharusnya lebih bijaksana dalam menjaga demokrasi kita. Ketika revisi seperti ini diajukan, pertanyaan utama yang harus kita renungkan adalah: siapa yang sebenarnya diuntungkan? Apakah ini untuk kepentingan rakyat, atau hanya untuk memperluas pengaruh institusi militer di ranah sipil? Belajar dari sejarah, kita harus menolak segala upaya yang mengarah pada pelemahan supremasi sipil. Revisi ini tidak hanya mengancam birokrasi, tetapi juga menjadi cerminan bahwa demokrasi kita masih menghadapi tantangan serius.

Pemerintah dan DPR harus menyadari bahwa demokrasi yang sehat tidak akan pernah tumbuh di atas campur tangan militer dalam urusan sipil. Menjaga garis pemisah yang tegas antara sipil dan militer adalah langkah penting untuk memastikan bahwa Indonesia tetap berada di jalur demokrasi yang berkelanjutan.

Revisi Pasal 47 UU TNI ini bukan sekadar isu teknis, melainkan persoalan fundamental yang menyangkut arah masa depan demokrasi Indonesia. Dalam sejarahnya, bangsa ini telah membayar mahal untuk menghilangkan praktik dwi fungsi. Apakah kita rela menggadaikan capaian reformasi demi alasan yang tidak sepenuhnya teruji? Saya percaya bahwa kita semua memiliki tanggung jawab untuk melindungi demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah. Menolak revisi ini bukan berarti menolak kontribusi militer, tetapi menegaskan bahwa kontribusi mereka harus tetap berada dalam ranah yang sesuai—yakni menjaga keamanan dan kedaulatan negara, bukan mencampuri urusan pemerintahan sipil.

Indonesia membutuhkan birokrasi yang profesional, transparan, dan akuntabel. Membiarkan militer mendominasi ranah ini adalah langkah mundur yang tidak bisa kita biarkan. Jika demokrasi adalah prioritas kita, maka revisi ini harus ditolak dengan tegas.

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersiara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//