• Opini
  • SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Jatinangor di Tengah Krisis Ekologi dan Gempuran Urbanisasi

SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Jatinangor di Tengah Krisis Ekologi dan Gempuran Urbanisasi

Pembangunan kawasan Jatinangor di Sumedang menjadi satu contoh saja dari kisah warga yang tercerabut dari hak atas tempat tinggalnya.

Muhammad Rizal Arifin Hidayah

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati (UIN SGD) Bandung

Ilustrasi. Perubahan iklim terjadi karena aktivitas tidak ramah lingkungan yang dilakukan manusia. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak).

1 Januari 2025


BandungBergerak.id – Rabu, 21 Februari 2024, peristiwa angin puting beliung disertai banjir menghantam Jatinangor dan 4 Kecamatan lainnya di Kabupaten Sumedang dan Bandung. Beberapa desa di Jatinangor luluh lantak diterjang oleh angin puting beliung hingga mengakibatkan kerusakan pada banyak rumah warga. Menurut Eddy Hermawan dalam siaran Pers BRIN tanggal 23 Februari 2024 bahwa pemicu dari angin puting beliung ini karena adanya alih fungsi lahan dan pemanasan global. Eddy dengan tegas mengatakan bahwa telah “terjadi perubahan tata guna lahan yang semula hutan jati, kini berubah menjadi hutan beton”.

Bencana akibat rusaknya alam di Jatinangor juga sering terjadi jauh-jauh hari sebelum angin puting beliung tersebut. Pada tahun 2021 dan 2022, beberapa desa di Jatinangor diterjang oleh banjir bandang akibat pembangunan Tol Cisumdawu yang dibangun membentang melintasi kawasan hijau yang berada di dataran tinggi Jatinangor. Di awal tahun 2021 atau tepatnya Sabtu, 9 Januari 2021,  terjadi longsor di Desa Cisempur akibat dari adanya proyek pembangunan perumahan di kawasan tersebut.

Proyek Urbanisasi Jatinangor

Berbagai bencana alam yang melanda Jatinangor akhir-akhir ini menandakan adanya krisis lingkungan yang sangat nyata. Pembangunan tidak pernah berorientasi pada lingkungan, bahkan cenderung hanya mengutamakan akumulasi kapital ekonomi belaka. Semua beranjak dari penetapan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan sebagaimana dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang nomor 15 tahun 2021, bahkan jika ditelusuri lebih jauh telah terjadi dari puluhan tahun yang lalu ketika Jatinangor ditetapkan sebagai Kawasan Pendidikan Tinggi.

Adanya urbanisasi, yaitu perubahan yang sangat signifikan dari kawasan Jatinangor yang semula daerah pedesaan menjadi kawasan perkotaan, membuat pembangunan begitu pesat terjadi. Namun, semua pembangunan yang terjadi di Jatinangor hanyalah upaya untuk meningkatkan surplus produksi demi keuntungan yang lebih banyak.

Hal ini dapat dilihat dari berbagai pembangunan di Jatinangor itu sendiri. Alih-alih membangun kota yang berorientasi pada kelestarian lingkungan, justru berbagai pembangunan di Jatinangor malah merusak lingkungan, sebagaimana proyek Tol Cisumdawu dan berbagai proyek perumahan yang ada di lereng Gunung Geulis. Untuk kasus yang terakhir adalah ironi, karena Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang nomor 4 tahun 2018 menetapkan Gunung Geulis sebagai kawasan hutan lindung yang berfungsi sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air sehingga dapat mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah. 

Tidak hanya perumahan, eksploitasi kekayaan yang merusak gunung geulis juga dilakukan melalui aktivitas penambangan. Pada Kamis, 19 September 2019, warga yang terkena dampak dari aktivitas tambang tersebut yang tergabung bersama dalam Gabungan Komunitas Peduli Lingkungan Gunung Geulis melakukan demonstrasi di kantor DPRD Jawa Barat untuk mendesak agar segera menertibkan kegiatan penambangan tanah yang dilakukan oleh perusahaan swasta.

Urbanisasi yang terjadi di Jatinangor pada akhirnya menjadi fenomena kelas, sebagaimana dikatakan oleh David Harvey (2004) dalam tulisannya yang berjudul "The Right To The City" bahwa urbanisasi bergantung pada mobilisasi atas surplus produksi, surplus tersebut diekstraksi dari suatu tempat dan dari seseorang, namun kontrol atas penggunaan dari surplus tersebut biasanya diputuskan segelintir orang. Pada akhirnya terjalin hubungan yang erat antara perkembangan kapitalisme dan urbanisasi. Kapitalis harus menghasilkan surplus produksi untuk menghasilkan nilai lebih; hal itu pada gilirannya harus diinvestasikan kembali untuk menghasilkan lebih banyak nilai lebih.

Reinvestasi adalah sebuah keharusan, karena sebagaimana disampaikan oleh Murray Bookchin (1982) dalam “The Ecology of Freedom”  sistem ekonomi pasar kapitalisme selalu menuntut untuk terus tumbuh, namun hal inilah yang sebenarnya menjadi akar dari permasalahan ekologi kita saat ini. Jatinangor dengan urbanisasinya sekarang selalu ada dalam cengkeraman sistem kapitalisme yang mendominasinya, sehingga pembangunan yang terjadi mengakibatkan banyak permasalahan ekologi.

Baca Juga:SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mengatasi Tengkes sebelum Berkeluarga, Membangun Generasi Sehat dari Akar
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ancaman Kerusakan Keanekaragaman Hayati dan Krisis Iklim Akibat Proyek Food Estate di Indonesia
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Mahasiswa dari Keluarga Kelas Menengah ke Bawah di Persimpangan Mimpi dan Derita

Ironi Urbanisasi Jatinangor

Urbanisasi Jatinangor juga melahirkan banyak permasalahan ekologi yang sangat nyata berdampak bagi warga, di antaranya adalah permasalahan air dan kualitas udara. Nur Aini Rasyid (2023) dalam tulisannya “MAHASISWA BERSUARA: Ada Apa dengan Jatinangor Sekarang?” yang dipublikasikan oleh BandungBergerak.id, mengungkapkan bahwa kualitas udara di Jatinangor tidak sehat bagi kelompok sensitif berdasarkan data realtime dari IQAir dan AccuWeather.

Begitu pun dengan masalah ketersediaan air bersih yang sudah tercemar ringan membuat warga asli yang tidak memiliki mesin jet pump sendiri, terpaksa mesti membayar untuk menggunakan Sarana Air Bersih (SAB). Selain itu warga juga mendapat pilihan lain untuk mendapat air bersih dengan membayar kepada pemilik kos-kosan untuk mengambil air bersih dari mesin penyedot air milik kos-kosan tersebut.

Hal ini sungguh ironi karena menurut pengakuan Nana Rukmana salah satu warga asli Jatinangor ketika diwawancarai oleh penulis, mengungkapkan bahwa di tahun 1990 warga masih memiliki sumur yang bersih dengan air yang berlimpah. Nana mengungkapkan, “Sumur itu bisa disiuk ku siwur, ku gayung.

Salah satu penyebab dari permasalahan air dan kualitas udara ini adalah akibat terdegradasinya Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jatinangor. Andy Wibawa Nurrohman (2016)  dalam skripsinya yang berjudul "Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Jumlah Penduduk Di Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang" mengatakan bahwa luas RTH Jatinangor pada tahun 2015 hanya memiliki 146,5 ha yaitu sekitar 5,6% dari kebutuhan RTH publik pada tahun 2015 yang seharusnya 20% atau sekitar 227,3 ha.

Sayangnya angka tersebut hari ini justru tidak bertambah dan bahkan dapat dikatakan malah berkurang setiap harinya, hal ini karena maraknya pembangunan yang memakan ruang terbuka hijau sebagaimana dapat dilihat di sekitar dataran tinggi Jatinangor ataupun di sawah dan perkebunan yang telah dialih fungsikan untuk pembangunan perumahan, apartemen, dan pembangunan lainnya.

Nining warga Desa Hegarmanah Kecamatan Jatinangor ketika diwawancarai oleh Detiknews pada Sabtu, 23 September 2021, mengungkapkan keresahannya tentang penetapan Jatinangor sebagai kawasan perkotaan akan berkurangnya ruang terbuka hijau, "Ya nanti mungkin kan jadi banyak pembangunan, otomatis lahan-lahan juga jadi banyak berkurang karena maraknya pembangunan.”

Jika melihat berbagai kasus yang terjadi di Jatinangor ini, alam selalu menjadi korban dari keserakahan pembangunan kota. Namun ini tentu berdasar pada bagaimana warga tidak memiliki akses atau hak terhadap surplus produksi yang nantinya digunakan untuk membangun kota, dan warga justru harus menerima bahwa hanya segelintir elite di pemerintahan saja yang memiliki kontrol atas penggunaan dari surplus tersebut. Warga tidak diberi kesempatan untuk membangun kota seperti apa yang mereka inginkan, warga telah tercerabut dari haknya atas kota.

Murray Bookchin (1982) tepat ketika mengatakan, "Dominasi manusia terhadap alam berangkat dari dominasi yang sangat nyata dari manusia terhadap sesama manusia." Kerusakan alam Jatinangor pada akhirnya akan terus berlangsung ketika akar permasalahannya terus tetap ada, warga yang tereksklusi dari kotanya sendiri, dan kekayaan alamnya hanya dilihat sebagai komoditas yang menyegarkan untuk dieksploitasi.

Mempertimbangkan tawaran dari David Harvey akan sangat relevan untuk kasus ini, menyatukan perjuangan dengan mengadopsi hak atas kota sebagai cita-cita politik bersama untuk mewujudkan kontrol demoktratis yang lebih besar atas produksi dan pemanfaatan dari surplus. Menyatukan perjuangan tidak hanya tentang warga Jatinangor, tapi juga tentang berbagai warga kota lainnya yang sama-sama telah tercerabut dari hak atas kotanya.

*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//