MAHASISWA BERSUARA: Ada Apa dengan Jatinangor Sekarang?
Banyak hal yang perlu dibenahi di Jatinangor Kabupaten Sumedang. Terutama terkait dengan pengelolaan tata ruang dengan beroirentasi pada penambahan kawasan hijau.
Nur Aini Rasyid
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
21 Desember 2023
BandungBergerak.id – Jatinangor merupakan sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Sumedang. Dahulu, Jatinangor merupakan kawasan hijau yang penuh dengan lahan perkebunan teh dan karet. Namun, sebagai daerah sub-urban Bandung Raya, Jatinangor telah mengalami pertumbuhan yang pesat menjadi kawasan metropolitan. Bahkan, sejak tahun 1987 pun Jatinangor telah ditetapkan sebagai kawasan pendidikan oleh gubernur Jawa Barat pada masa itu.
Jika dibandingkan kawasan Jatinangor yang dulu dan sekarang, tentu dapat terlihat banyak sekali perbedaan yang telah terjadi. Jatinangor pada tahun 1960an merupakan kawasan hijau perkebunan teh dan karet. Kawasan pemukiman masih sangat minim, beberapa di antaranya terletak tersembunyi di dalam kawasan perkebunan. Infrastruktur seperti jalan beraspal dan mesin pompa air pun masih sangat minim. Masyarakat terbiasa untuk melakukan segala hal secara tradisional, termasuk dengan membangun sumur gali. Kualitas udara serta air di Jatinangor masih sangat sejuk dan bersih pada masa itu.
Memasuki tahun 1980an dimulai pembangunan berbagai institusi pendidikan. Hal ini menyebabkan kemajuan pesat dalam pembangunan infrastruktur dan ekonomi di Jatinangor. Bahkan, beberapa investor dari berbagai daerah dan industri pun mulai tertarik untuk berinvestasi atau menjalankan proyek pembangunan di Jatinangor.
Sektor Lingkungan Terdampak Akibat Pembangunan
Namun nyatanya, pembangunan di Jatinangor ini juga mempunyai berbagai dampak negatif, terutama pada sektor lingkungan. Tentunya kawasan hijau di Jatinangor mengalami penurunan yang sangat drastis akibat pembabatan lahan perkebunan untuk pembangunan. Bisa dilihat secara garis besar kawasan hijau sudah tergantikan dengan gedung-gedung apartemen, pusat perbelanjaan, pertokoan, serta gedung-gedung pendidikan.
Dengan adanya berbagai institusi pendidikan di Jatinangor pun, kawasan pemukiman mulai padat akan pendatang dan bangunan kos-kosan. Kawasan padat penduduk yang tidak memikirkan reboisasi ini pada akhirnya menyebabkan berkurangnya daerah resapan air di Jatinangor. Contohnya adalah daerah Ciseke Besar yang kalau ditelusuri perkampungannya sangat padat akan kos-kosan dan rumah penduduk serta minim daerah resapan air.
Pembangunan yang terus dilakukan tanpa memperhatikan saluran drainase pun mengakibatkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang sering melanda Jatinangor, terutama ketika musim hujan datang. Beberapa wilayah Jatinangor yang pernah menghadapi banjir antara lain adalah Desa Cikeruh, Desa Sayang, Desa Cibeusi. Sampai saat ini pun masih belum ada upaya maksimal dari pemerintah untuk mengatasi minimnya daerah resapan air di Jatinangor.
Baca Juga: Lebih Baik Mengakses Tol Cileunyi daripada Tol Jatinangor
PKL, Stigma, dan Ruang Kota
Rendahnya Kualitas Ruang Publik Kota Bandung Berpengaruh Buruk pada Kesehatan Masyarakat
Kualitas Air dan Udara Menurun
Ramainya Jatinangor pada akhirnya juga menjadi salah satu faktor yang menurunkan kualitas udara dan air bagi masyarakat asli setempat. Berdasarkan data dari IQAir dan AccuWeather, sebuah situs yang menampilkan pengukuran kualitas udara secara real-time, disebutkan bahwa kualitas udara di Jatinangor tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Dalam laman AccuWeather dijelaskan lebih lanjut bahwa kualitas udara secara umum dapat diterima sebagian besar orang. Namun, kelompok yang sensitif mungkin mengalami gejala ringan hingga sedang dari keterpaparan jangka panjang.
Kemudian, mengenai kualitas air bersih dilansir dari laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai pengukuran status mutu air secara real time, kawasan jatinangor berada pada angka 5 yang mengartikan status mutu air tercemar ringan. Bahkan, di beberapa daerah pun ada air yang memiliki bau tanah atau besi kaporit dan menjadi hal yang wajar apabila air sedikit keruh di musim penghujan.
Lebih lanjut, permasalahan mengenai ketersediaan air bersih di wilayah Jatinangor ini juga perlu diperhatikan, terutama kemarin wilayah Indonesia sempat mengalami kemarau panjang. Banyaknya mahasiswa yang hadir di Jatinangor menyebabkan permintaan akan air bersih juga terus meningkat.
Pemerintah Jawa Barat menargetkan pada tahun 2019 ketersediaan air bersih mencapai 70% namun pada kenyataannya cakupan pelayanan air bersih Kecamatan Jatinangor hanya mencapai 15,57% (Herdiyani dan Agustina, 2020).
Terlebih di beberapa wilayah Jatinangor aliran air PDAM masih belum maksimal distribusinya. Hal ini menyebabkan masyarakat asli kelas menengah ke bawah yang belum mampu membuat mesin pemompa air (jet pump) sendiri, terpaksa mengeluarkan biaya lebih untuk menggunakan Sarana Air Bersih (SAB). Selain itu masyarakat asli juga bisa membayar kepada pemilik kos-kosan untuk mengambil air bersih dari mesin penyedot air milik kosan tersebut.
Masyarakat Asli yang Termarjinalkan di Daerahnya Sendiri
Melihat pemaparan di atas bagaimana pembangunan Jatinangor menimbulkan beberapa dampak negatif pada sektor lingkungan, tentunya yang paling terdampak adalah masyarakat asli Jatinangor itu sendiri. Meskipun pembangunan di Jatinangor menyebabkan kemajuan ekonomi yang pesat pada wilayah tersebut, namun nyatanya masyarakat asli cukup terpinggirkan.
Rata-rata penduduk asli Jatinangor yang bermukim di wilayah padat penduduk hanya menjadi buruh kasar semata, seperti penjaga kos, tukang ojek, maupun pengurus laundry. Penghasilan dari pekerjaan ini pun sebenarnya cukup sulit untuk menanggulangi dampak lingkungan yang telah terjadi di kawasan Jatinangor.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, minimnya daerah resapan air di Jatinangor dapat menyebabkan banjir. Di beberapa wilayah, banjir ini bahkan bisa menyebabkan kerusakan di rumah warga setempat dan pada akhirnya warga setempat mengalami banyak kerugian materil.
Melansir dari Kantor Berita Antara, pada tahun 2020 banjir bandang menerjang 5 area Jatinangor akibat meluapnya Sungai Citarik dan Cikeruh. Sebanyak 240 unit rumah warga pun mengalami kerusakan berat dan ringan (Arbi, 2020).
Selain banjir, ketersediaan air bersih baik berupa kualitas maupun aksesibilitasnya menjadi hal yang cukup sulit juga untuk diatasi oleh masyarakat asli setempat, terutama warga yang berpenghasilan rendah. Jika dahulu, warga dapat menggali sumur untuk mendapatkan air bersih secara gratis, namun sekarang masyarakat sudah harus menggunakan jet pump pribadi untuk mendapatkan air bersih yang lancar.
Sayangnya, tidak semua masyarakat mampu untuk memasang jet pump karena biaya pemasangan yang mahal. Oleh sebab itu, masyarakat sekitar cenderung menggunakan SAB atau membayar kepada kos-kosan untuk ikut aliran air. Tentunya, ini adalah hal yang miris di mana warga sulit untuk mendapatkan air di tanahnya sendiri.
Referensi Alternatif Solusi
Banyak hal yang perlu dibenahi dari Jatinangor apabila berkaitan dengan lingkungan. Selain menggencarkan pembangunan infrastruktur, pemerintah ataupun pemilik proyek juga harus memperhatikan pentingnya reboisasi dan daerah resapan air di sekitar daerah yang dibangun. Untuk itu saya merekomendasikan untuk memaksimalkan resapan buatan sebagai alternatif untuk menjaga keseimbangan air tanah dan mengatasi problema air.
Dengan adanya resapan air tanah dapat tetap menjaga kedalaman mula air tanah yang relatif stabil, paling tidak dapat mengurangi tingkat kekritisan cadangan air tanah sekaligus mengurangi resiko banjir. Dalam hal ini pemerintah juga perlu banyak mengkaji dan mengevaluasi pentingnya pembangunan resapan air buatan, baik berupa sumur resapan, penggenangan wilayah ledok, pembuatan waduk, bahkan penyuntikan air ke dalam akuifer tertekan atau air tanah dalam (Purwantara, 2013).
Selain itu, pemerintah juga perlu memaksimalkan program-program lingkungan yang sudah terlaksana atau masih dalam perencanaan, terutama terkait dengan pengelolaan tata ruang di Jatinangor. Dengan demikian, jika pengelolaan tata ruang yang berorientasi pada kawasan hijau sudah baik, otomatis permasalahan daerah resapan air, kualitas udara dan air, serta ketersediaan air bersih dapat berangsur membaik.