PKL, Stigma, dan Ruang Kota
Pedagang kaki lima (PKL) selalu distigma sebagai penyebab kemacetan dan pengganggu keindahan kota. Tersingkir dalam perencanaan tata ruang kota.
Jejen Jaelani
Dosen di Institut Teknologi Sumatera, penulis buku Semiotika Kota: Pertarungan Ideologis di Ruang Urban
1 Agustus 2023
BandungBergerak.id - Pedagang kaki lima (PKL) merupakan sebuah fenomena yang umum dan biasa kita temukan di dalam kehidupan sehari-hari, baik di kota besar, di kota kecil, maupun di perdesaan. PKL menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan urban.
Keberadaan PKL sesungguhnya dapat dibaca sebagai wajah kehidupan masyarakat pada umumnya. Sektor ekonomi informal ini merupakan salah satu penggerak perekonomian yang penting di Indonesia. Lebih jauh, ketidakmampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja dan peluang kerja bagi warga mendorong orang-orang untuk berusaha secara mandiri untuk membiayai hidupnya. Akan tetapi, seringkali PKL mendapatkan stigma negatif dan diperlakukan secara buruk di dalam ruang-ruang kota oleh pemerintah.
Jika kita menengok pada sejarah, keberadaan PKL sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Henri Lefebvre di dalam The Urban Revolution, misalnya, menggambarkan pergeseran beberapa jenis kota mulai dari kota politik, kota perdagangan, kota industri, hingga urban yang berlangsung selama berabad-abad.
Kota politik dihuni terutama oleh para pendeta, pejuang, pangeran, bangsawan, pemimpin militer, administrator, dan penulis. Karena menjadi pusat berbagai macam kegiatan, keberadaan kota politik merupakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya aktivitas pertukaran dan perdagangan. Di sana perdagangan bisa berkembang. Pada awalnya, aktivitas perdagangan ini terbatas pada individu yang mencurigakan, "orang-orang asing", dan mereka yang berangkat dari desa-desa. Akan tetapi seiring waktu, mereka menjadi terintegrasi secara fungsional ke dalam kehidupan kota.
Pada awalnya, tempat-tempat terjadinya pertukaran dan perdagangan ini dikecualikan dari kota politik, di antaranya karavan, pekan raya, dan pinggiran kota. Tempat-tempat ini selalu disimpan di bagian kota yang khusus, umumnya di pinggiran kota atau luar benteng. Namun seiring perkembangannya, upaya untuk melarang kehadiran barang dagangan di agora, ruang kosong, dan pertemuan politik, tidak berhasil.
Hal ini membuat pasar menjadi terpusatkan. Keberadaannya menggantikan tempat berkumpul (agora, forum). Di lingkungan pasar ini, kemudian terjadi perubahan arsitektur yang menerjemahkan konsepsi kota yang baru. Lefebvre menjelaskan bahwa di sekitar abad keempat belas di Eropa, keberadaan kota-kota pasar dan pinggiran kota semakin penting. Kota pasar dan suburban mula-mula terpinggirkan dari kota politik, kemudian berkembang dan membuat pengaruh, serta memaksa kekuasan-kekuasaan politik berkompromi. Urban menjadi titik pertemuan dari perdagangan.
PKL di berbagai kota di Indonesia sudah menjadi realitas keseharian dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan urban. Akan tetapi, di sepanjang keberadaannya pula, PKL selalu dipinggirkan dan dianggap sebagai bagian dari masalah perkotaan. Resmi Setia M. (2009) di dalam catatannya, misalnya, menyebutkan bahwa sejak tahun 1970-an, pemerintah Kota Bandung tak henti-hentinya melancarkan operasi penertiban. Kondisi ini terus berlangsung dari waktu ke waktu bahkan sampai hari ini.
Baca Juga: Mendengarkan Cerita PKL Jalan Ganesha setelah Ultimatum Relokasi Tiba
PKL ISBI Bandung Berharap tidak Ada Penggusuran Lagi
Jerit PKL di atas Mati Surinya Teras Cihampelas
Stigma
Pada berbagai macam kesempatan, kita seringkali menemukan kalimat semacam “PKL meresahkan sehingga harus direlokasi”, “Keberadaan PKL menyebabkan kemacetan lalu lintas”, “PKL merusak dan mengganggu estetika kota”, “Keberadaan PKL membuat kota semrawut”, “PKL tidak bisa diatur”, dan berbagai stigma lainnya. Keberadaan kalimat-kalimat dengan stigma tersebut sering kita temukan di dalam wacana-wacana di dalam pemerintahan, pemberitaan di media massa, obrolan sehari-hari, dan wacana di media sosial.
Erving Goffman di dalam Stigma (1986) menjelaskan bahwa orang-orang Yunani, yang mendefinisikan stigma untuk menjelaskan sesuatu yang tidak biasa dan buruk tentang status moral seseorang. Tanda-tanda dipotong atau dibakar ke dalam tubuh untuk menunjukkan bahwa yang membawanya adalah budak, kriminal, atau pengkhianat—seseorang yang tercela, terkotori secara ritual, harus dijauhi, khususnya di dalam ruang-ruang publik. Stigma menempatkan orang di dalam situasi yang didiskualifikasi dari penerimaan sosial yang utuh. Stigma membuat orang-orang berhadapan dan dihadapkan dengan citra yang dipantulkan orang lain kepada mereka.
Di dalam realitas urban, stigma menjadi sesuatu yang melekat dengan keberadaan PKL. Keberadaan PKL di berbagai daerah selalu distigma sebagai masalah dibandingkan sebagai potensi ekonomi dan kehidupan yang kompleks. Oleh sebab itu, penanganan PKL dari waktu ke waktu tidak mengalami banyak kemajuan. Penggusuran dan pengusiran selalu menjadi “solusi” instan yang dilakukan dari waktu ke waktu. Dibandingkan menyelesaikan masalah, cara ini justru menimbulkan berbagai masalah yang lain.
Jika dikaitkan dengan teori Pierre Bourdieu, stigma ini erat kaitannya dengan kekerasan simbolik. Menurut Bourdieu di dalam “Social Space and Symbolic Power” (1989) penyebutan resmi, yaitu, tindakan di mana seseorang diberi gelar, kualifikasi yang diakui secara sosial, adalah salah satu ekspresi paling khas dari monopoli atas kekerasan simbolik yang sah yang dimiliki oleh negara atau perwakilannya. Di dalam pandangan Bourdieu, kekuasaan bersirkulasi melalui relasi sosial dan memproduksi sebuah pengondisian dan legitimasi dari praktik dan cara berpikir tertentu sebagai sesuatu yang diterima dan rutin secara sosial. Kekerasan simbolik ini kemudian menjadi lahan subur bagi terjadinya berbagai kekerasan yang lain.
Melalui stigma-stigma ini, terjadi pengskemaan dan pengkategorian PKL di dalam realitas sosial yang ada. Skema-skema dan kategori-kategori yang diarahkan kepada PKL membentuk hal-hal yang terjadi di dalam praktik keseharian. Di dalam komposisi ruang perkotaan, PKL pada akhirnya tidak pernah ditempatkan di dalam perencanaan, desain, dan pembangunan kota. Karena stigma yang menempel kepada PKL ini, pendekatan ruang terhadap PKL selalu bersifat patologis: ruang-ruang yang diisi PKL harus disembuhkan, harus dibersihkan, harus “ditata” sehingga menjadi bagian kota yang sehat dan estetik.
Jika di dalam gambaran yang diberikan Lefebvre di dalam analisisnya, keberadaan pedagang yang merangsek ke agora, ruang kosong, pertemuan politik, dan pusat kota mengubah konsepsi arsitektur tentang kota yang baru, keberadaan PKL di kota-kota di Indonesia tidak banyak mengubah konsepsi ruang-ruang yang ada. Di dalam perencanaan tata ruang, keberadaan PKL selalu luput dari sentuhan. Di dalam praktik ruang, kota-kota mengeksklusi keberadaan PKL sebagai bagian dari realitas urban mereka.
Pada akhirnya PKL mencari ruang-ruang strategis bagi tempat mereka berusaha. Lokasi-lokasi yang ramai aktivitas menjadi pilihan: pinggiran pasar, area pusat-pusat perbelanjaan, sarana pendidikan, sarana tempat ibadah, kawasan pusat olah raga, jalan akses ke permukiman warga, dan sebagainya. Sebagai sarana untuk bertahan dari berbagai macam gangguan, umumnya para PKL ini membentuk paguyuban atau forum komunikasi. Inilah wadah sekaligus saluran untuk menentukan nasib dan keberadaan mereka di ruang-ruang kota.
Akan tetapi, pada akhirnya karena keberadaan para pedagang kaki lima (PKL) ini memang tidak direncanakan di dalam tata ruang kota, mereka akan selalu menjadi objek dari penertiban satuan polisi pamong praja (Satpol PP) dan aparat keamanan. Tidak jarang terjadi tindakan represif di dalam upaya untuk “menata” PKL ini. Di dalam banyak kasus, PKL ini sering menjadi objek pemerasan, baik di dalam keseharian atau ketika terjadi penggusuran. Demikianlah stigma selalu menempatkan PKL pada posisi yang sulit, baik di dalam pandangan mengenai keberadaannya maupun posisinya di dalam ruang kota.