SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Dilema Antara Bisnis, Ekologi, dan Masa Depan Punclut
Diperlukan langkah tegas dari pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis dan ekologi melalui penegakan peraturan dan penerapan sanksi di Punclut.
Keisya Diva K
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
3 Januari 2025
BandungBergerak.id - Suatu sore, saya dan teman-teman sedang duduk di sebuah kafe di kawasan Punclut yang dekat dengan kampus tempat kami kuliah, menikmati pemandangan Kota Bandung yang memesona dari ketinggian. Udara sejuk membuat tempat ini terasa seperti pelarian sempurna dari hiruk pikuk perkotaan. Namun, saat melihat deretan kafe dan tempat wisata yang terus bermunculan di sekitarnya, kami mulai bertanya-tanya: bagaimana nasib lahan yang dulu hijau dan subur? Siapa yang sebenarnya dirugikan oleh alih fungsi lahan yang masif ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa kami pada refleksi lebih dalam tentang apa yang terjadi di Punclut, salah satu ruang hijau yang mulai terancam keberadaannya.
Seharusnya, fungsi utama dari Punclut adalah sebagai kawasan konservasi air sesuai dengan SK Gubernur No. 181/1992 dan Perda Provinsi No. 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengendalian Kawasan Bandung Utara. Namun, berbagai pihak seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat (Jabar) mengkhawatirkan kondisi Punclut yang dalam 10 tahun terakhir karena alih fungsi lahan di KBU justru meningkat dan telah mencapai sekitar 200 hektare atau 10-20 hektare per tahunnya (Ripaldi, 2023). Hal ini tentunya menimbulkan anomali antara peraturan daerah dan implementasinya yang tidak sinkron.
Dengan perspektif ekonomi politik sumber daya, esai ini mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat di balik peristiwa ini, kepentingan di balik tindakan mereka, serta bagaimana dampaknya terhadap lingkungan dan sosial masyarakat.
Aktor dalam Alih Fungsi Lahan Punclut
Berdasarkan hasil wawancara, terdapat empat aktor yang telah diidentifikasi, yaitu pemerintah, para pelaku usaha, organisasi lingkungan, dan masyarakat setempat.
Pertama, pemerintah [penebalan kata oleh penulis] Provinsi Jabar dan Kota Bandung memegang peran utama dalam mengawasi alih fungsi lahan di kawasan Punclut melalui kebijakan hingga perizinan untuk mencegah kerusakan lingkungan. Beberapa di antaranya adalah Perda No. 2 Tahun 2016, yang mengatur rekomendasi dan izin pemanfaatan ruang di KBU serta wajib disetujui oleh gubernur serta bupati atau wali kota. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung turut berperan dalam menilai dokumen seperti AMDAL dan UKL-UPL sebelum menerbitkan izin lingkungan hingga desain perencanaan perumahan untuk dicek perbandingan Koefisien Dasar Hijau (KDH) dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB).
Namun, berdasarkan wawancara bersama salah satu informan dari DLHK Bandung, tantangan masih sering dihadapi dalam pengelolaan kawasan Punclut. “Blind spot masih sering ditemukan, misalnya belum adanya kontrol dan pengawasan untuk memastikan perbandingan KDH dan KDB. Alasannya adalah kurangnya dana untuk pengawasan dan masih banyak kepentingan bisnis. Semakin berkembangnya UMKM akibat Omnibus Law membuat daerah hijau banyak dipakai untuk usaha sehingga sulit terkontrol. Kebijakan mengenai pengelolaan lingkungan dari developer ke penghuni (pemilik rumah) juga belum selesai padahal penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan” (DLHK Bandung, 5 Juni 2024).
Kedua, pelaku usaha turut memainkan peran penting dalam alih fungsi lahan, terutama PT DAM Utama Sakti Prima sebagai salah satu perusahaan properti yang mengembangkan Punclut. Walaupun tidak dapat diwawancarai secara langsung, informasi dari warga sekitar mengungkapkan bahwa perusahaan ini mempunyai kepemilikan lahan luas di Kawasan Bandung Utara. Telah banyak jurnal hingga berita yang menyebutkan kekuatan PT DAM dalam mendapatkan izin pembangunan. Dimulai dari pembatalan peraturan mengenai pelarangan izin pembangunan di KBU pada tahun 1982 oleh Menteri Agraria/Kepala BPN di tahun 1997. Sertifikat Hak Guna Bangunan No. 10/HGB/BPN/2004 untuk PT DAM diterbitkan yang menyebabkan pembatalan sertifikat hak milik warga Punclut atas tanah seluas 84,21 hektare (Sulaeman dkk., 2023).
Tidak hanya itu, pada tahun 2014, mereka berusaha untuk mengambil lahan dengan cara-cara yang kurang etis dengan alat berat. Warga setempat telah berusaha melapor ke beberapa lembaga, seperti DPRD Kota Bandung hingga Gubernur Jabar dari tahun 2012. Sayangnya, tidak ada tanggapan lebih lanjut dari pihak-pihak tersebut (Anggiono, 2024).
Wawancara juga dilakukan ke beberapa pebisnis lokal mengenai keberadaan PT DAM yang ternyata dinilai “positif”. Mereka mengatakan bahwa PT DAM membantu membuat pipa untuk mengaliri air bersih ke warung-warung hingga rumah warga serta mengurus relokasi lahan bisnis warga ke tempat yang lebih strategis. Tentu saja, perilaku “baik” ini dapat dilihat sebagai strategi perusahaan untuk memperoleh dukungan warga dan memperkuat legitimasinya di sana.
Ketiga, organisasi lingkungan yang berperan aktif adalah Walhi Jabar. “Kami mulai menangani kasus alih fungsi lahan di Punclut karena banyak senior di Walhi yang bilang kondisi kawasan Punclut sangat genting, jadi Walhi berusaha dengan pendekatan holistik dan melakukan advokasi untuk mengatasi masalah-masalah di sana,” kata Meiki Paendong, mantan direktur eksekutif Walhi Jabar saat diwawancara 16 Mei 2024. Meiki turut menyampaikan kritik Walhi terhadap surat rekomendasi yang masih dikeluarkan oleh pemerintah sehingga saat tidak selaras dengan Perda.
Walhi juga membantu Abah Atang, petani sekaligus pegiat lingkungan setempat yang sempat berkonflik mengenai status lahan dan dikriminalisasi oleh perusahaan swasta karena dianggap mencemarkan nama baik. Desakan untuk membuat moratorium izin kepada pemerintah juga dilakukan oleh Walhi, yaitu izin-izin untuk pembangunan dihentikan secara permanen. Walaupun adanya persetujuan dan kesepakatan, implementasinya sangat kurang efektif.
Terakhir, warga lokal yang tinggal di kawasan Punclut memiliki pandangan yang berbeda-beda terkait masifnya pembangunan pemukiman di daerah tersebut sehingga menciptakan dua kelompok, yaitu kelompok pro dan kontra. Kelompok pro melihat perusahaan swasta sangat membantu mereka dalam pembangunan area perumahan hingga perbaikan jalan karena mendatangkan banyak pengunjung dari luar Punclut. Hal ini tentu akan membantu masyarakat dari aspek ekonomi.
“Kalau ada bencana kayak longsor, PT DAM suka kasih bantuan. Pemerintah kadang responsnya cukup lama.”
“Banyak warga di sini kerja di PT DAM juga. Jadi, lapangan pekerjaan jadi terbuka luas untuk warga kita.”
Itulah beberapa perkataan warga mengenai beroperasinya perusahaan swasta yang sangat membantu mereka, tanpa menyadari lebih lanjut kondisi ruang hijau yang semakin berkurang akibat pembangunan yang dilakukan.
Sebaliknya, kelompok kontra melihat pembangunan yang semakin masif ini dapat mengancam sumber air serta lingkungan. Salah satu warga lain yang turut menjadi informan kunci adalah Abah Atang yang sangat peduli terhadap keberlanjutan lingkungan. Keterlibatan beliau telah dimulai dari tahun 2012, di mana PT DAM yang berencana membongkar jalan dibatalkan akibat adanya penolakan serta demonstrasi dari warga setempat. Namun, pada tahun 2018, PT DAM kembali ingin membongkar lahan di sekitar tanah milik warga yang berujung pada proses hukum di pengadilan. Satu tahun kemudian, Mahkamah Agung (MA) memutuskan kemenangan bagi PT DAM, meskipun perusahaan tidak memilki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang sah.
Pada tahun 2023, rencana eksekusi lahan oleh perusahaan kembali memicu gelombang penolakan dari warga setempat, yang menyuarakan protes dengan memasang spanduk untuk menolak tindakan tersebut. Hingga kini, ancaman eksekusi terus membayangi yang membuat posisi beliau dan warga masih belum sepenuhnya aman. Walaupun begitu, Abah Atang terus mempertahankan hak atas tanah warga dan berperan sebagai aktivis lingkungan yang menginisiasi berbagai program reboisasi hingga pengelolaan lahan.
Baca Juga: SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Kritik terhadap UU Cipta Kerja dengan Pisau Analisis Ruang Publik Jurgen Habermas
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Jatinangor di Tengah Krisis Ekologi dan Gempuran Urbanisasi
SAYEMBARA ESAI MAHASISWA BERSUARA: Ketika Negara tak Acuh pada Nasib Gen Z
Dampak Alih Fungsi Lahan
Adanya konflik-konflik yang terjadi tidak hanya mencerminkan perbedaan kepentingan antar aktor, tetapi juga menggambarkan bagaimana alih fungsi lahan dapat membawa dampak serius terhadap lingkungan dan sosial masyarakat.
Sebagai dampak lingkungan, peralihan lahan memunculkan berbagai masalah yang mengancam keseimbangan ekosistem. Pertama, ketersediaan air bersih terkikis akibat perubahan tata guna lahan yang mengganggu daerah resapan air. Salah satu warga yang diwawancarai mengatakan bahwa ketersediaan air konsumsi dan air untuk keperluan perkebunan menjadi susah karena kurangnya sumber mata air. Kedua, risiko bencana alam seperti banjir dan longsor meningkat karena hilangnya vegetasi yang berfungsi sebagai pelindung alami. Ketiga, peralihan lahan kerap diiringi penumpukan sampah dari aktivitas pembangunan atau perubahan penggunaan lahan.
Dari sisi estetika, Punclut sebagai destinasi wisata dengan pemandangan indah dapat terdegradasi akibat sampah yang berserakan. Berdasarkan wawancara pula dengan pelaku usaha lokal, pengelolaan sampah di Punclut sebagian besar terbatas pada pembuangan ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS), sementara sisanya dapat dijual ke perusahaan daur ulang terdekat.
Dampak sosial yang muncul memiliki sisi positif dan negatif. Positifnya adalah warga mengaku bahwa mereka mendapatkan kemudahan untuk melakukan mobilisasi dengan adanya pembangunan infrastruktur, seperti jalan. Selain itu, terjadi diversifikasi pekerjaan sehingga masyarakat mempunyai banyak pilihan untuk menentukan pekerjaan mereka. Namun, sebagian warga juga menilai alih fungsi lahan dapat menghilangkan mata pencaharian. Misalnya, petani menjadi pengangguran akibat lahan yang sebelumnya digunakan untuk bertani atau berkebun berubah fungsi dan adanya batasan umur dalam mencari kerja lain. Selain itu, perubahan tata ruang juga memengaruhi pola interaksi masyarakat yang terpecah menjadi kelompok “pro” dan “kontra” yang menyebabkan sebagian masyarakat masih bersitegang satu sama lain. Sebagian interaksi juga digantikan oleh hubungan yang lebih individualistis atau berbasis kepentingan ekonomi.
Berdasarkan penjelasan tersebut, perspektif ekonomi politik sumber daya menekankan minimnya peran pemerintah dapat menciptakan maldistribusi kekuasaan. Dalam kasus ini, aktor yang mempunyai pengaruh lebih besar adalah mereka yang berkepentingan dalam aspek ekonomi, seperti pelaku bisnis atau perusahaan. Sebaliknya, aktor yang berfokus pada keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam, seperti Walhi Jabar dan pegiat lingkungan setempat layaknya Abah Atang cenderung memiliki pengaruh yang lebih lemah.
Oleh karena itu, diperlukan langkah tegas dari pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan bisnis dan ekologi melalui penegakan peraturan dan penerapan sanksi yang telah diatur dalam kebijakan daerah. Selain itu, keberhasilan upaya ini juga membutuhkan partisipasi aktif dari organisasi lingkungan hingga masyarakat lainnya. Dengan demikian, kawasan Punclut dapat tetap berfungsi sebagai ruang hijau yang mendukung keseimbangan ekosistem di Kota Bandung.
*Data penelitian dalam tulisan ini diperoleh dari hasil riset program pendanaan PKM-RSH dengan tim Keisya Diva Kurniawan, Baptista Ezra Varani Nabit, Charissa Zaviera, dan Dirk Jotizto Delovedi dengan Yulia Indrawati Sari selaku dosen pembimbing.
*Kawan-kawan yang baik, silakan mengunjungi esai-esai Mahasiswa Bersuara Mahasiswa Bersuara atau Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara