• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Wajah Tersembunyi Fast Fashion yang Mengeksploitasi Bumi dan Buruh Perempuan

MAHASISWA BERSUARA: Wajah Tersembunyi Fast Fashion yang Mengeksploitasi Bumi dan Buruh Perempuan

Industri fast fashion memasarkan citra progresif dan feminis, namun bergantung pada kerja perempuan yang tidak diberdayakan.

Meryl Novliana Arief

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang

Warga melakukan fashion show di atas zebra cross. Disambut sorak-sorai. Kesulitan hidup sesaat sirna. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

28 April 2025


BandungBergerak.id – Bukan hal yang asing lagi jika dalam e-commerce terdapat ribuan, bahkan jutaan produk fashion dengan harga murah. Produk-produk tersebut diproduksi secara masif, sehingga tak heran jika barang-barang berharga miring itu selalu laku keras di pasaran. Nah, apakah kamu termasuk salah satu konsumen yang tergiur dengan harga murah tersebut? Sudahkah kamu yakin dengan kualitasnya?

Perkembangan e-commerce yang kian pesat membuat konsumen semakin tergiur untuk membelanjakan uangnya secara online daripada pergi ke toko offline. Mereka bisa membeli apa saja, termasuk produk fashion. Platform seperti Shopee, Tokopedia,TikTok Shop, dan sebagainya selalu dibanjiri produk fashion dengan harga yang relatif murah serta mengikuti tren terbaru. Namun, produk-produk yang dijual di platform tersebut biasanya memiliki bahan berkualitas rendah dan jangka waktu pakai yang pendek, sehingga cepat berakhir di tempat sampah. Hal ini tentu berkontribusi pada peningkatan limbah tekstil yang semakin mengkhawatirkan. Sudah saatnya masyarakat beralih ke produk fashion yang berkelanjutan, karena pola konsumsi yang memprioritaskan harga murah membawa dampak jangka panjang bagi bumi dan pekerja yang terlibat dalam produksinya.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Refleksi Represifitas Aparat dalam Aksi Tolak RUU TNI
MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Pemerintah Hari ini Mengabaikan Kita dan Kritik Menjadi Satu-satunya Jalan?
MAHASISWA BERSUARA: Optimalisasi Industri Manufaktur untuk Pengurangan Pengangguran di Timor-Leste

Polyester yang Membahayakan Bumi dan Tubuh

Fashion merupakan salah satu cara kita mengekspresikan diri dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada salahnya jika kita berusaha tampil dengan pakaian yang modis dan trendi. Namun, sudahkah kamu memperhatikan bahan-bahan dari koleksi pakaianmu? Apakah barang tersebut bisa dipakai dalam jangka waktu yang lama dan ramah lingkungan? Tentunya kita harus lebih bijak terkait fashion. Penting untuk menghindari bahan yang berbahaya bagi lingkungan dan tubuh kita.

Bahan yang menjadi andalan industri fast fashion tidak lain adalah polyester. Polyester merupakan salah satu bahan tekstil sintetis yang paling banyak digunakan di dunia karena biayanya yang murah, proses produksinya yang efisien, serta daya tahannya yang tinggi. Namun, di balik keunggulan tersebut, tersembunyi berbagai dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan yang kerap kali diabaikan. Saat dicuci, pakaian berbahan polyester dapat melepaskan ribuan serat mikroplastik ke saluran air, yang akhirnya mencemari sungai, laut, dan ekosistem air lainnya. Selain itu, polyester juga memiliki sifat tidak menyerap keringat, sehingga dapat menyebabkan rasa tidak nyaman, mempercepat pertumbuhan bakteri, dan menimbulkan bau badan yang tidak sedap.

Oleh karena itu, akan lebih baik apabila kita mulai beralih ke pakaian berbahan ramah lingkungan seperti katun organik, linen, rayon, viscose, tencel, dan sejenisnya, yang lebih bersahabat bagi tubuh maupun bumi. Memakai pakaian dengan bahan ramah lingkungan dapat membuktikan bahwa kita tidak hanya peduli pada diri sendiri, tetapi juga pada kelestarian lingkungan.

Tangis Buruh Perempuan Industri Fast Fashion

Tidak hanya jahat untuk lingkungan, industri fast fashion juga jahat untuk para buruh, terutama buruh perempuan. Menurut laporan Clean Clothes Campaign (2022), lebih dari 80% tenaga kerja di industri garmen global adalah perempuan, sebagian besar bekerja di negara-negara berkembang seperti Bangladesh, Kamboja, dan Vietnam. Mereka menerima upah rata-rata jauh di bawah standar hidup layak—misalnya di Bangladesh, buruh garmen rata-rata hanya menerima sekitar 95 dolar AS per bulan, sementara standar kebutuhan hidup minimum mencapai lebih dari 200 dolar AS. Lebih dari itu, laporan Human Rights Watch (2020) mengungkap bahwa banyak buruh perempuan menghadapi pelecehan verbal, ancaman, dan tekanan produksi yang ekstrem, namun mereka tidak memiliki mekanisme pengaduan yang aman karena takut kehilangan pekerjaan. Ironisnya, banyak produk yang mereka jahit membawa pesan “empowerment” atau “support women”, padahal pembuatnya justru tidak mendapatkan hak-hak dasar sebagai pekerja dan perempuan. Di sinilah letak ironisnya industri fast fashion: ia memasarkan citra progresif dan feminis, namun bergantung pada kerja perempuan yang tidak diberdayakan. Realitas ini menunjukkan bahwa keadilan gender tidak cukup diperjuangkan lewat kampanye iklan, tetapi harus diwujudkan lewat praktik bisnis yang etis dan berpihak pada buruh. Konsumen memiliki peran penting dalam mendorong perubahan. Dengan bersikap lebih kritis terhadap merek yang mereka dukung, konsumen dapat membantu mengakhiri siklus eksploitasi yang selama ini disamarkan oleh harga murah dan tren cepat.

Akhiri Fast Fashion dengan Aksi Nyata

Salah satu cara paling efektif untuk mengurangi dampak buruk fast fashion adalah dengan mengubah pola konsumsi masyarakat secara menyeluruh. Banyak orang tergoda membeli pakaian murah karena tren yang terus berganti, padahal kebiasaan ini menyumbang limbah tekstil dalam jumlah besar dan mendorong praktik eksploitasi, terutama terhadap buruh perempuan di negara berkembang. Untuk itu, konsumen perlu mulai berpikir lebih kritis dan bertanggung jawab. Dengan thrifting atau membeli pakaian bekas yang masih bagus, menyewa, mix and match pakaian lama, atau memilih merek lokal yang etis adalah langkah kecil yang punya dampak besar terhadap lingkungan dan sosial.

Produsen juga tidak bisa lepas tangan. Mereka harus transparan –dari mana bahan baku berasal, bagaimana kondisi kerja buruh, dan apa dampak lingkungannya. Tanpa tekanan dari konsumen dan regulasi yang tegas dari pemerintah, industri ini tidak akan berubah. Pemerintah harus membuat aturan yang menjamin upah layak, perlindungan hak pekerja, serta memberikan dukungan bagi merek yang ramah lingkungan.

Selain itu, edukasi sangat penting agar masyarakat sadar bahwa pilihan belanja mereka punya konsekuensi. Semakin banyak orang sadar, semakin besar kemungkinan perubahan positif terjadi. Dengan membangun kesadaran bersama, kita bisa menciptakan industri fashion yang tidak hanya stylish, tapi juga etis, adil, dan berkelanjutan untuk semua.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//