MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Pemerintah Hari ini Mengabaikan Kita dan Kritik Menjadi Satu-satunya Jalan?
Substansi dari demokrasi adalah sebuah penguatan daya tawar rakyat untuk hidup sejahtera melalui pertentangan dengan kekuasaan.

Eka Farras Kurnia Firmansyah
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
22 April 2025
BandungBergerak.id – Pada saat saya menulis ini, Indonesia sebagai sebuah negara sedang berada pada kondisi yang membingungkan. Melihat dinamika sosial dan politik yang terjadi setelah presiden baru menduduki kursi kepemimpinannya, “gonjang-ganjing” di tataran sipil seakan tidak berhenti terjadi. Terhitung telah terjadi belasan kali demonstrasi yang telah digelar oleh masyarakat sipil di berbagai daerah dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia. Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan dengan tegas bahwa pemerintah harus merespons kritik dari warganya secara serius, sebab rakyat tidak pernah main-main dalam bersuara.
Jika kita mengawali pembicaraan ini menggunakan kaca mata ilmu pemerintahan, protes publik yang terus menerus terjadi dapat dibayangkan sebagai sebuah pemancar bagi “sinyal peringatan” yang ditujukan untuk pemerintah. Protes publik ini merupakan sikap ketidakpuasan pada pemerintah dengan didorong oleh faktor-faktor struktural (ekonomi, sosial dan politik) yang kemudian membuat publik secara sukarela ikut serta dalam protes. Jika terus menerus terjadi, hal ini akan berujung pada krisis legitimasi terhadap pemerintahan yang akan berdampak pada stabilitas nasional (Useem & Useem, 1979). Singkatnya, protes publik dapat diartikan bentuk ekspresi bahwa rakyat tidak puas dan perlahan-lahan menarik kepercayaan pada pemerintahnya.
Secara teori, ketidakpercyaan publik pada pemerintah (public disturst) bisa dianggap sebagai suatu hal yang baik dalam sistem demokrasi. Ketidakpercayaan ini dapat menjadi “mesin koreksi” untuk memastikan demokrasi tetap hidup, namun yang menjadi persoalan adalah tetap perlu ada pembenahan yang dilakukan pemerintah sebagai respon dari ketidakpuasan publik ini. Bertsou (2019) menuliskan satu argumen menarik, ia berpendapat bahwa ketidakpercayaan publik ini tidak bisa terus menerus diabaikan:
Governments can hardly govern effectively when large parts of the citizenry distrust them, further contributing to poor conduct and perceptions of political untrustworthiness, which in turn result in citizens themselves limiting their reliance and vulnerability by cutting ties with political agents and processes. (Pemerintah sulit menjalankan pemerintahan secara efektif ketika sebagian besar warga negara tidak mempercayai mereka, yang semakin berkontribusi pada perilaku buruk dan persepsi ketidakpercayaan terhadap politik. Hal ini, pada gilirannya, menyebabkan warga negara membatasi ketergantungan dan keterlibatan mereka dengan memutus hubungan dengan agen dan proses politik.)
Melalui argumennya, ia menyiratkan bahwa pengabaian ini akan menjadi bom waktu bagi sistem demokrasi yang menekankan seluas-luasnya partisipasi publik (Bailey & Braybrooke, 2003).
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Penyalahgunaan Kekuasaan dan Realitas Praktik Korupsi Di Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Menyingkap Ilusi Kedaulatan Rakyat dengan Merawat Gerakan Akar Rumput
MAHASISWA BERSUARA: Refleksi Represifitas Aparat dalam Aksi Tolak RUU TNI
Cara Pemerintah Merespons Kritik
Pertanyaannya, bagaimana kemudian pemerintah Indonesia merespons berbagai protes yang dilayangkan oleh masyarakat? Sebelum itu, sejak akhir tahun 2024, jagat sosial media diramaikan dengan sebuah kampanye dengan tagar #KaburAjaDulu. Tagar ini merupakan ekspresi dari berbagai permasalahan kebijakan yang terjadi di Indonesia pasca pemerintahan Prabowo Subianto mulai berjalan. Beberapa permasalahan yang menjadi pantikan munculnya tagar ini merupakan masalah yang sifatnya multisektoral dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan rakyat secara luas. Misalnya, kelangkaan gas elpiji 3 kilogram yang sempat memicu kemarahan, ditambah terdapat korban jiwa yang jatuh akibat permasalahan ini, kemudian polemik seputar efisiensi anggaran yang digulirkan pemerintah dan berpotensi mengganggu stabilitas dan akses pendidikan hingga persoalan pagar laut yang menjadi masalah serius bagi nelayan dan masyarakat di Banten.
Namun, pemerintah – termasuk sang presiden itu sendiri– seakan menganggap “enteng” masalah demi masalah yang terjadi, bahkan tidak jarang mereka menanggapi ini semua dengan guyonan yang menyepelekan. Pada perayaan ulang tahun Partai Gerindra Februari silam, ketua umum sekaligus presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mengucapkan kata “Ndasmu” ketika membahas kritik terhadap program strategis dan keberlangsungan pemerintahannya sekarang (BBC News Indonesia, 2025). Respons yang bersifat “menganggap enteng masalah” berikutnya keluar dari mulut Ketua Dewan Ekonomi Nasional sekaligus mantan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjatian. Dalam acara The Economic Insight Februari 2025, Luhut memberikan respons terhadap demonstrasi dengan tajuk “Indonesia Gelap” dengan menyebut “Kalau ada yang bilang Indonesia gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia” (Tempo, 2025). Selain itu, banyak sekali pejabat pemerintahan yang mewajarkan demonstrasi-demonstrasi yang digelar oleh rakyat sebagai “kebebasan ekspresi dan aspirasi” tanpa tindak lanjut lebih (Tirto.id, 2025). Secara umum, pejabat pemerintah selalu bersikap dan menarasikan diksi-diksi nasionalis untuk menunjukkan bahwa negara saat ini sedang dan masih baik-baik saja, Mensesneg yang berbicara mewakili Presiden menyampaikan bahwa dibutuhkan kerja sama untuk membangun bangsa dan mewajarkan perbedaan-perbedaan pendapat yang ada (Metro TV News, 2025).
Mengapa Kita Tidak Bisa Membiarkan itu?
Melihat dan mendengar respons para pejabat ini mengingatkan saya sebuah istilah dalam ilmu psikologi yang disebut sebagai toxic positivity. Menurut Quintero & Long (Kojongian & Wibowo, 2022) toxic positivity merupakan keadaan psikologis seseorang yang hanya berfokus pada hal-hal positif dan mengabaikan faktor-faktor yang dapat memicu emosi negatif –termasuk emosi negatif itu sendiri. Sebuah artikel berjudul The Blind Side Of Leadership: Toxic Positivity In Workplace Culture yang ditulis oleh Tracy Lawrence pada Forbes (2025) menyebut bahwa ketika sebuah pemimpin dalam organisasi atau institusi memprioritaskan suasana hati (good mood) yang baik alih-alih bentuk komunikasi yang jujur, mereka akan kehilangan kemampuan untuk mengatasi masalah yang muncul, mengidentifikasi pergeseran pasar (market shifts) dan memanfaatkan kekuatan penuh timnya.
Bayangkan jika hal ini terjadi dalam skala yang jauh lebih besar: Negara. Satu hal yang pasti, negara akan menjadi gagap dalam menanggapi umpan balik yang mendera mereka atas kebijakan yang dianggap merugikan rakyat secara luas. Sayangnya, hal terebutlah yang sepertinya sedang terjadi di Indonesia dewasa ini; kita acap kali diceramahi atas sebuah keadaan imajiner yang seakan-akan baik dan penuh keuntungan walau realitas yang dialami sehari-hari jauh berbeda dari apa yang dinarasikan. Hal ini juga tidak bisa terlepas dengan teori diskursus yang disabdakan Foucault. Ia menyampaikan bahwa produksi realitas melalui bahasa dan narasi merupakan produk kekuasaan yang digunakan untuk membentuk realitas (Miller, 1990). Di titik ini saya ingin menyampaikan: kritisme dan skeptisime tidak bisa kita lepas jika ingin secara tuntas mengupas manuver yang dilakukan pemerintah, sebab produk kebijakan dan aturan yang diciptakan akan mempengaruhi kita lebih jauh sebagai rakyat.
Apa Yang Bisa Kita Lakukan?
Satu hal paling sederhana yang bisa kita lakukan untuk bersuara dan mengoreksi pemerintah dimulai dari dalam pikiran. Kita bisa memulai dengan tiga pertanyaan sederhana: (1) Mengapa pemerintah berbuat/memutuskan demikian? (2) Apa untungnya bagi saya? Dan (3) Jika saya diuntungkan, sejauh mana hal itu menguntungkan yang lain?
Sebagai contoh, jika pemerintah memutuskan untuk memotong anggaran terhadap pendidikan, timbulkan pertanyaan: Apakah pemerintah melakukan ini sebab memiliki prioritas lain dibanding pendidikan? Apakah mungkin pemerintah ingin mengalokasikan dananya kepada bidang seperti kesehatan, pembangunan atau pertahanan? Jika iya, mengapa kemudian pendidikan dianggap lebih rendah prioritasnya dibanding bidang-bidang lain? Bukankah semua orang berhak atas pendidikan layak dengan akses yang merata? Atau mungkinkah pemerintah memiliki agenda lain di luar pendidikan, kesehatan, pembangunan dan pertahanan yang harus terlaksana dengan menggunakan dana pendidikan tersebut?
Selanjutnya, kerucutkan pertanyaan itu menjadi lebih personal, apakah saya dapat diuntungkan dari pemotongan anggaran tersebut? Bukankah saat anggaran pendidikan dipangkas dan saya tetap harus bersekolah, sehingga harus ada solusi lain yang harus dilakukan? Siapa yang kemudian akan menanggung beban yang harus dikeluarkan untuk pendidikan ini? Apakah negara melimpahkannya kepada lembaga swasta? Atau negara justru melimpahkan beban ini kepada saya sebagai rakyat, yang berarti ada kenaikan beban pendidikan yang harus dipikul? Apakah saya harus berhenti berpendidikan? Apa yang akan terjadi jika saya tidak berpendidikan? Apa yang terjadi jika ada banyak orang seperti saya yang tidak berpendidikan? Apakah saya harus bekerja lebih keras untuk menanggung beban pendidikan ini? Apakah saya yang tidak berpendidikan mampu mendapat pekerjaan layak untuk menanggung beban pendidikan saya? Apakah sebenarnya kebijakan ini menguntungkan saya dan orang lain secara lebih luas? Apakah keadaan baik yang dibicarakan dan diusahakan pemerintah memang benar adanya?
Kembali Menghidupkan Kritik
Terry Eagleton dalam The Function of Criticism (1984) menyampaikan bahwa kritik harus terus diserukan untuk mengintervensi struktur kekuasaan, budaya dan ideologi secara aktif untuk mendorong perjuangan untuk mencapai keadilan sosial melalui perubahan sosial. Yonky Karman dalam artikel Kompas (2022) menyebutkan bahwa dalam sebuah alam demokrasi, kritik adalah sebuah manifestasi dari kedaulatan rakyat. Pemerintah sebagai pihak yang diberikan mandat oleh rakyat tidak bisa tidak luput dari kritik. Sebab substansi dari demokrasi adalah sebuah penguatan daya tawar rakyat untuk hidup sejahtera melalui pertentangan dengan kekuasaan yang jika tidak terus menerus dikritik dan dikoreksi sangat berpotensi besar untuk menindas.
Berkaca pada kondisi pemerintahan hari ini, sebagai rakyat –kita tidak bisa membiarkan budaya kritik sebagai sesuatu yang tabu. Obrolan mengenai kondisi negara hari-hari ini harus mulai dibiasakan untuk dibawa pada perkumpulan-perkumpulan kecil di masyarakat. Mulailah membicarakan kondisi negara di warung-warung kopi, di meja makan keluarga, di lingkungan kerja, bicarakan kondisi negara dengan kanan dan kiri kita. Sebab nasib masa depan kita dipertaruhkan jika pemerintah –termasuk kita– terus menerus abai terhadap kesejahteraan masyarakat.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara, serta tulisan-tulisan menarik lainnya tentang politik