• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Menyingkap Ilusi Kedaulatan Rakyat dengan Merawat Gerakan Akar Rumput

MAHASISWA BERSUARA: Menyingkap Ilusi Kedaulatan Rakyat dengan Merawat Gerakan Akar Rumput

Merawat gerakan akar rumput adalah bagian dari merawat demokrasi. Matinya gerakan akar rumput adalah awal matinya demokrasi.

Abdullah Azzam Al Mujahid

Mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah di Universitas Negeri Semarang

Orang-orang muda, mahasiswa, dan warga berbaur merayakan suara-suara kritis dalam Festival Bandung Menggugat di Dago Elos, Sabtu, 12 April 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

15 April 2025


BandungBergerak.id – Kedaulatan rakyat sudah berada di dalam titik nadir. RUU TNI yang disahkan oleh DPR beberapa waktu lalu berubah menjadi pukulan telak bagi harapan kita. Kita harus belajar dari pengalaman perlawanan di masa lalu, ketika kita terjebak dalam lingkaran setan masalah yang tak berkesudahan. Satu masalah selesai, masalah lain muncul. Kita terombang-ambing, kehilangan fokus, dan akhirnya dipaksa meninggalkan masalah-masalah besar lainnya.

Saya sudah muak diombang-ambingkan permasalahan yang melingkupi seluruh persoalan hidup masyarakat Indonesia. Sudah waktunya kita berkaca pada setiap perlawanan yang telah kita lakukan dahulu, kemarin, dan sekarang. Saya rasa, tidak ada salahnya kalau kita mulai mengambil langkah lebih dahulu untuk melawan, bukan hanya sekadar bereaksi atas persoalan yang muncul. Menurut saya, itulah sikap revolusioner. Meminjam perkataan Samir Amin dalam wawancaranya yang dikutip dari Globalisasi dan Alternatifnya, “Kita harus bergerak dari sikap bertahan ke strategi positif, yakni strategi yang ofensif(menyerang), dan membalikkan relasi kuasa. Paksa musuh –sistem kuasa saat ini– untuk merespons kita alih-alih kita yang merespons mereka. Rebut inisiatif itu sejauh mungkin dari mereka.”

Kita harus melihat perkataan Samir Amin itu sebagai suatu tantangan yang mesti kita terima dan sanggupi bersama-sama. Kita sudah tidak punya waktu lagi untuk mengelak dari permasalahan lama ke permasalahan baru, padahal kita sendiri tahu, tidak ada satu pun permasalahan yang berujung pada kata selesai. Sudah waktunya kita mengubah strategi, dari pola defensif (bereaksi atas permasalahan yang datang) menuju pola ofensif (membangun front perlawanan di setiap sektor [sosial, budaya, dan politik]); dengan membangun kembali dan merawat gerakan akar rumput.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Indonesia dalam Bayang-bayang Ekspansi Kapitalis
MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Diskusi di Warung Kopi Lebih Kritis Dibanding Diskusi dalam Seminar-seminar Kampus?
MAHASISWA BERSUARA: Penyalahgunaan Kekuasaan dan Realitas Praktik Korupsi Di Indonesia

Sekilas Mengenai Gerakan Akar Rumput

Gerakan akar rumput atau dalam istilah Inggris cukup populer disebut grassroots movement merupakan gerakan yang diinisiasi dan dijalankan oleh masyarakat dengan cara berkolektif;    gerakan ini dijalankan secara total dan langsung oleh masyarakat lokal. Secara umum, gerakan akar rumput merupakan gerakan yang melingkupi aspek sosial dan politik dalam bermasyarakat dan ditandai dengan keikutsertaan sukarela masyarakat.

Gerakan akar rumput tidak hanya berfokus dalam usaha menyerang titik vital kekuasaan penindas (demonstrasi misalnya), tetapi lebih luas; yakni gerakan yang mampu membangun hegemoni tandingan (pengaruh baru yang menentang pengaruh penguasa penindas) melalui kegiatan kolektif masyarakat. Misalnya, pengadaan lapak baca gratis, pasar gratis, dan beberapa kegiatan semacamnya yang menunjukkan bahwa masyarakat mampu hidup mandiri dan berdikari tanpa bergantung pada negara.

Saya sendiri pernah mengikuti salah satu kegiatan kolektif (pasar gratis) di kota Tegal beberapa tahun yang lalu –kegiatan itu diinisiasi langsung oleh anak-anak muda setempat. Bayangkan, kota yang mungkin bisa dikatakan minim budaya literasi justru punya kekuatan kolektif meskipun berskala kecil. Tentunya hal ini menandakan bahwa gerakan akar rumput tidak hanya tumbuh di lingkungan yang bermekaran literatur progresif, tetapi dapat tumbuh dan mekar di mana-mana, tidak peduli tempat dan tidak peduli pendidikan. Pokoknya ia mampu bermekaran secara berdikari dan merdeka.

Memupuk Harapan dengan Mengorganisir Diri

Gerakan akar rumput ditandai dengan adanya keikutsertaan bersifat sukarela dari masyarakat. Oleh karena itu, maka sebelum munculnya keikutsertaan pastilah ada sebuah konsensus (kesepakatan) yang terjalin dan tumbuh melalui proses pengorganisasian individu. Mengorganisir diri bukan berarti wajib ikut organisasi masyarakat (lokal) demi keberlangsungan strategi perlawanan ataupun sekadar keren-kerenan. Mengorganisir diri artinya masing-masing individu dalam suatu kelompok masyarakat harus mampu memahami dirinya sendiri, misalnya, membekali diri dengan belajar hak-hak dasar dan hak-hak politik masing-masing.

Setelah masing-masing individu dibekali pengetahuan yang matang, lalu untuk memenuhi apa yang mereka butuh kan sebagai manusia merdeka adalah dengan berkonsensus(bersepakat). Konsensus bukanlah kompromi, tetapi kesepakatan secara sukarela yang kelak akan mendorong terbentuknya keikutsertaan sukarela. Melalui konsensus (kesepakatan),  keberagaman ide dan gagasan mesti menyatu dalam kepentingan bersama, bukan segelintir, ditandai dengan tetap menjamin kebebasan masing-masing individu dan hak-hak yang mereka miliki.

Dengan begitu, kekuatan kolektif dapat terbentuk secara langsung tanpa adanya paksaan ataupun dominasi dari pihak mana pun. Jika umumnya bergantung pada negara digambarkan sebagai bentuk kewajaran, maka artinya dalam kewajaran itu ada sebuah dominasi (Sifa memaksa) yang mengikat. Hal itu jelas berbeda dan bertentangan dengan kegiatan kolektif, sebab ia lahir dari rahim masyarakat yang bersekutu lalu bergerak bersama menuju harapan-harapan mereka tanpa diperintah atau diatur oleh pemerintah.

Mengapa Gerakan Akar Rumput Harus Tetap Ada?

Meskipun narasi mengenai gerakan akar rumput selalu membicarakan kepentingan bersama melalui kegiatan kolektif, pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada kalimat, “tanpa bergantung pada negara” menjadi sesuatu yang normal muncul di tengah lingkungan sosial dan budaya yang sudah lama terbentuk oleh doktrin-doktrin nasionalisme dan patriotisme. Pertanyaan-pertanyaan yang ramai dibicarakan adalah, “Kalian saja masih hidup di bawah kekuasaan negara, kok masih sok bicara hidup tanpa bergantung pada negara,” dan pertanyaan dangkal lain sebagainya.

Pertanyaan seperti itu tidak sepenuhnya salah. Akan tetapi, yang mesti dipetik dan dipahami dari sebuah gerakan akar rumput bukanlah sekadar hidup tanpa bergantung pada negara, melainkan hidup secara berdikari (berdiri di kaki sendiri) dan merdeka atas dasar keunikan masing-masing masyarakat. Kekuasaan yang terpusat  kurang memahami bagaimana masyarakat yang beragam dapat hidup dan berkembang. Keunikan yang dimiliki sebuah bangsa yang kaya akan suku, ras, bahasa, budaya, dan agama di satu sisi merupakan sebuah anugerah terindah, tetapi di sisi lain justru menjadi sebuah tantangan yang sulit dihadapi.

Singkatnya, keunikan yang dimiliki suatu masyarakat yang beragam di bawah kekuasaan  terpusat akan selalu menghadirkan pemaksaan dan penindasan ketika mereka mesti diseragamkan atas nama nasionalisme dan kehidupan berbangsa. Dengan demikian, akibat yang terjadi adalah perpecahan atau konflik antar ras, suku, dan agama. Guna mencegah hal itu, gerakan akar rumput muncul dan menjadi jalan alternatif sekaligus penting untuk menjembatani perbedaan melalui kegiatan kolektif.

Melalui gerakan akar rumput, masyarakat yang beragam itu mampu mengorganisir mereka masing-masing dengan dasar keunikan-keunikan mereka; mengatur kehidupan mereka sendiri-sendiri sesuai kebutuhan yang mereka miliki. Negara dengan kekuasaan terpusat, selamanya tidak akan pernah memahami keberagaman yang ada, apalagi masih membawa slogan nasionalisme dan patriotisme. Hanya masyarakat yang unik itu sendirilah yang mampu memahami diri mereka sendiri. Dan pada titik itulah gerakan akar rumput sangat diperlukan.

Menyingkap Ilusi Kedaulatan Rakyat

Di tengah kuatnya iklim demokrasi Indonesia, kedaulatan Rakyat justru semakin terpinggirkan. Demokrasi yang seharusnya menjadi fondasi kuat guna menopang kedaulatan rakyat malah menjadi kaki tangan segelintir elite untuk menginjak-injak rakyat. Kenyataannya, demokrasi di Indonesia itu tidak seperti apa yang sering digaungkan para pejabat-pejabat kecil maupun menteri-menteri di istana negara; demokrasi yang hidup; demokrasi yang baik-baik saja, berjalan sempurna, dan segala macam omong kosong sampah lainnya.

Kedaulatan rakyat yang ada sekarang ini tidak lebih merupakan bentuk ilusi yang dibuat oleh negara agar penindasan-penindasan halus tidak terungkap. Kedaulatan rakyat yang dimengerti oleh kita sekarang ini tidak lebih dari sekadar bentuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Tidak lebih dan tidak kurang hanya seperti itu. Tanpa gerakan akar rumput, kedaulatan rakyat justru hanya menjadi alat para penindas untuk melanggengkan kekuasaannya melalui politik praktis, hubungan gelap dengan wakil rakyat, dan mempertahankan kemiskinan.

Oleh sebab itu, tidak dapat dimungkiri, kondisi dalam ruang demokrasi palsu itu menciptakan ilusi menyedihkan dalam pikiran masyarakat yang tak mampu mengorganisir dirinya masing-masing. Masyarakat yang hidup dalam ilusi, akan selalu mengharapkan adanya pahlawan (dibaca: kaum reformis) yang kelak menolong mereka dari kesusahan. Masyarakat yang hidup dalam ilusi akan rentan dikendalikan dan dikadali oleh kelas penguasa secara sistematis melalui slogan kedaulatan rakyat, misalnya, berharap politikus yang terpilih dalam pemilu mampu mengubah keadaan.

Hal semacam itu sungguh menyedihkan. Dalam ruang demokrasi palsu, rakyat seperti dipandang sebagai batu pijakan para penguasa untuk bertakhta. Melihat hal itu, saya teringat dengan kalimat pembuka dalam buku berjudul Ratu Adil, Ramalan Jaya Baya, dan Sejarah Perlawanan Wong Cilik yang ditulis oleh Romo Sindhunata yang berbunyi, “Wong Cilik adalah subjek yang bisu. Namun dalam kebisuannya, ia menyimpan beribu kata dan harapan”. Artinya, wong cilik mampu bersuara, namun suaranya itu lenyap di ruangan demokrasi palsu yang kedap suara; tidak didengar.

Maka sekali lagi, kedaulatan rakyat hanya menjadi ilusi jika gerakan akar rumput tidak dirawat dengan baik. Merawat gerakan akar rumput adalah bagian dari merawat demokrasi. Matinya gerakan akar rumput adalah awal matinya demokrasi. Maka perlulah kita untuk tetap merawat gerakan akar rumput yang lahir dari rahim masyarakat, bukan lahir dari kepentingan segelintir individu. Mari merawat gerakan akar rumput!

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//