• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Penyalahgunaan Kekuasaan dan Realitas Praktik Korupsi Di Indonesia

MAHASISWA BERSUARA: Penyalahgunaan Kekuasaan dan Realitas Praktik Korupsi Di Indonesia

Kekuasaan bukanlah peluang untuk melakukan korupsi, melainkan menghantarkan masyarakat menuju kesejahteraan.

Emilianus Julio

Mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero Nusa Tenggara Timur (NTT)

Ilustrasi. Kekuasaan cenderung korup jika tidak diawasi. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

8 April 2025


BandungBergerak.id – Wacana tentang kekuasaan dalam lingkar negara Indonesia, telah menjadi topik utama untuk dikonsumsi oleh masyarakat yang kritis dan ideal. Pasalnya, seorang penguasa (sovereign) cenderung menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan menyampingkan kepentingan masyarakat. Secara sosial, kekuasaan tidak hanya berbicara pada suatu bidang saja, melainkan terdapat banyak bidang, seperti bidang politik, ekonomi, pendidikan, lingkungan, dan sebagainya. Kekuasaan menjadi salah satu tolak ukur seseorang atau sekelompok orang, untuk menguasai dan mempengaruhi orang lain. Bahkan sang penguasa merupakan aktor yang memiliki otoritas tertinggi yang bisa menyebabkan lembaga atau institusi menjadi kuat. Lebih lanjut, seorang yang dipercayakan sebagai penguasa mesti tahu bagaimana cara untuk memajukan sebuah organisasi atau lembaga agar terus berjalan baik. Oleh karena itu, sang penguasa (sovereign) harus memiliki pengetahuan yang luas, agar bisa mengatasi berbagai problem dalam suatu organisasi atau lembaga. Dengan pengetahuan seorang penguasa bisa menjaga dan mempertahankan hak - hak akan kekuasaannya.

Lebih lanjut, kekuasaan dapat mengalami krisis ketika strategi dalam kekuasaan salah digunakan oleh sang penguasa. Strategi berkaitan erat dengan proses atau cara penguasa untuk menjalankan berbagai struktur yang ada dalam suatu organisasi atau institusi tertentu. Untuk konteks dewasa ini, strategi kekuasaan sering kali mengalami krisis. Krisis besar saat ini ditandai dengan penyelewengan kekuasaan oleh para penguasa. Para penguasa sering kali jatuh dalam kebebasan politik dan kurang memperhatikan posisinya. Padahal masyarakat selalu menginginkan seorang penguasa yang baik, bijaksana dan penuh rasa kemanusiaan (Dr. Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimmpinan, 2016; Hal.194). Dalam dinamika politik, seorang penguasa dapat diibaratkan sebuah bom yang dapat meledak dan menghancurkan berbagai benda yang ada di sekitarnya.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Negara harus Belajar dari Masyarakat Adat?
MAHASISWA BERSUARA: Indonesia dalam Bayang-bayang Ekspansi Kapitalis
MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Diskusi di Warung Kopi Lebih Kritis Dibanding Diskusi dalam Seminar-seminar Kampus?

Penyalahgunaan Kekuasaan di Indonesia

Konteks negara Indonesia, penyelewengan kekuasaan oleh para penguasa dinilai banyak merugikan dan meresahkan terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat, seperti pada bidang sosial ekonomi, politik, pendidikan, dan lingkungan. Ironisnya, kerugian yang terjadi pada bidang-bidang ini kurang bahkan tidak ditanggap serius oleh masyarakat Indonesia, secara khusus masyarakat primitif. Hal ini tentu disebabkan karena adanya keterbatasan masyarakat dalam menilai dan menganalisis sang penguasa yang ideal dan bijak. Dalam bidang sosial ekonomi, masyarakat cenderung mengalami kerugian yang besar, akibat praktik-praktik penguasa yang tidak bermoral, contohnya praktik penggelapan uang negara (korupsi). Adapun kerugian lain seperti pada bidang politik, di mana anomali dalam politik sering kali ditunjukkan oleh para penguasa, seperti membangun politik dinasti, dan cenderung memanipulasi masyarakat dengan program yang bisa berdampak buruk bagi masyarakat sendiri.

Zaman Romawi kuno, mendasari legitimasi pada prinsip salus populi suprema leks esto. Artinya bahwa kekuasaan dan kesejahteraan tertinggi ada di tangan rakyat (Giorgio Agamben, State of Exception, 2005; Hal.14). Kekuasaan idealnya sebuah ruang publik, yang bisa menciptakan kekuatan terhadap masyarakat atau individu untuk berbicara, bertindak, serta mengambil keputusan secara bebas dalam suatu organisasi atau lembaga (Yosef Keladu Koten, Etika Keduniawian: Karakter Etis Pemikiran Politik Hannah Arendt, 2018; Hal. 25). Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi negara Indonesia dewasa ini. Dewasa ini, kekuasaan yang dipercayakan kepada para pemimpin, sering kali salah digunakan. Para pemimpin tampaknya kurang memperhatikan esensi dari kekuasaan tersebut. Hal ini disebabkan oleh kurangnya efisien dari seorang pemimpin dalam membangun strategi kekuasaan. Lebih lanjut, kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin tampaknya kurang memaknai norma hukum yang berlaku dalam negara. Sehingga dapat menyebabkan maraknya praktik korupsi dalam suatu tatanan negara.

Istilah korupsi bukan lagi hal yang asing dalam suatu tatanan negara. Korupsi dimengerti sebagai salah satu tindakan seseorang atau sekelompok orang, dalam menyalahgunakan kekuasaan. Penyelewengan ini ditandai dengan kecenderungan untuk melawan hukum dan merugikan negara. Topik mengenai korupsi sudah sejak lama diperbincangkan dalam ranah politik. Titik sentral tindakan korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan demi memenuhi kebutuhan pribadi. Penyalahgunaan kekuasaan selalu bermula dari indikasi bahwa seseorang yang memiliki jabatan atau kedudukan tertentu memiliki iming-iming untuk mempunyai kekayaan material yang banyak. Dengan berambisi mempunyai harta yang banyak, seorang pribadi berani menyimpang dari aturan jabatannya  dan secara sengaja melakukan korupsi.

Korupsi pada umumnya terjadi dalam lingkup profesi. Setiap profesi sebenarnya memiliki aturan atau norma yang berfungsi untuk mengatur setiap anggota yang mempunyai wewenang. Akan tetapi banyak di antaranya melanggar aturan ataupun norma yang berlaku sehingga berusaha untuk melakukan korupsi. Oleh karena itu kematangan moral dan etika wajib ada dalam setiap pribadi yang mempunyai jabatan tertentu. Hal ini dilakukan supaya ia dapat bertindak sesuai norma dan aturan dalam profesi yang dijalankannya. Dari perspektif etika profesi, korupsi merupakan tindakan kejahatan yang harus diberantas. Suatu negara yang ingin mencapai kemajuan dalam segala bidang, terlebih dahulu harus memberantas korupsi agar sistematika pembangunan berjalan sesuai anggaran. Dalam hal ini, kode etik hadir sebagai penekan dasar yang berpegang teguh pada pelayanan, agar segala rangkaian anggaran perencanaan pembangunan tepat sasaran. Hal ini bertujuan untuk mengatur segala bidang dalam pemerintahan (Reza Watimen, Filsafat Anti Korupsi, 2012; Hal. 20-24).

Realitas Umum Praktik Korupsi di Indonesia

Setiap negara di dunia tidak pernah bebas dari tindakan korupsi. Untuk konteks Indonesia, korupsi sudah ke sekian kalinya terjadi dalam ranah pemerintahan. Hal ini terbukti dari banyaknya oknum yang dijerat karena kasus korupsi. Baik oknum dari pejabat pusat, legislatif, yudikatif, eksekutif maupun swasta. Tindakan korupsi di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran terbesar bagi masyarakat Indonesia. Bahkan menurut survei IPSOS pada September 2024, Indonesia menjadi negara pertama yang pada umumnya masyarakat merasa khawatir akan tindakan korupsi. Lebih lanjut, tanggal 27 Maret 2024 lalu, Indonesia digegerkan dengan masalah korupsi yang dilakukan Harvey Moeis. Kejaksaan agung menetapkan Harvey Moeis sebagai tersangka tindak pidana korupsi yang merugikan negara dengan total korupsi Rp 271 triliun. Harvey Moeis sebagai salah satu tersangka melakukan tindak pidana korupsi dalam tata niaga  timah dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP). Selain kasus Harvey Moeis, baru-baru ini masyarakat Indonesia juga dihebohkan dengan kasus korupsi Pertamina. Kasus ini dikabarkan telah menyebabkan kerugian besar bagi negara Indonesia, sebab jumlah uang yang digelapkan sekitar 193,7 Triliun. Dari kasus ini, kejaksaan menahan tujuh pihak yang menjadi tersangka yang diduga penggelapan dana dari tata kelola minyak mentah. Hal demikian sungguh mencengangkan publik masyarkat dan publik organisasi, lantas uang yang dikorupsi bernilai begitu besar.

Korupsi di Indonesia sudah menjadi penyakit sistematik yang sudah dianggap biasa dan pihak KPK (komisi pemberantasan korupsi) tidak ada harapan untuk memberantasnya. Berbagai cara sebagai jalan afirmatif agar korupsi tidak terulang kembali rupanya tidak membuahkan hasil. Ada tiga cara yang dilakukan KPK untuk memberantas korupsi yakni, penindakan, pencegahan dan pendidikan. Ketiga hal tersebut sebagai acuan dasar agar memberantas korupsi yang marak terjadi di Indonesia. Strategi pertama Penindakan dilakukan dengan menyeret tersangka korupsi ke meja publik dan menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang menguatkan. Strategi kedua yaitu pencegahan, mencakup perbaikan dalam sistem sehingga meminimalisasi tindak pidana korupsi. Strategi ketiga melalui pendidikan, hal ini dilakukan dengan kampanye dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang tindak pidana korupsi, bahwa hal tersebut sangat berdampak buruk terhadap masyarakat sendiri dan harus diberantas bersama.  Akan tetapi cara yang diberikan oleh KPK tidak membawa perubahan dan dampak apa-apa. Korupsi tetap saja ada dan tetap terbelenggu dalam roda pemerintahan (Mocthar Lubis, Korupsi, 1985; Hal. 57).

Dalam filsafat klasik, korupsi dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan kemurnian dan moral. Seperti yang disinggung pada pengertian di atas bahwa korupsi merupakan tindakan yang melanggar tatanan nilai moral. Korupsi seturut nilai moral merupakan suatu tindakan kejahatan. Selain sebagai pelanggaran moral, tindakan korupsi ini juga merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Dalam tindakan korupsi secara jelas terkandung kecurangan yang dilakukan karena menyalahgunakan kekuasaan ataupun jabatan. Korupsi dan kekuasaan sering berhubungan, karena korupsi sering terjadi dalam kekuasaan (Herry Priyono, Korupsi, 2018; Hal. 12). Kecenderungan orang adalah dengan menyalahgunakan kekuasaan yang mengarah ke dalam tindakan korupsi.  Lebih lanjut, posisi jabatan pun sangat rentan dalam tindakan korupsi. Padahal dalam tatanan negara, kekuasaan bukanlah peluang untuk melakukan korupsi melainkan menghantar masyarakat menuju kesejahteraan.

Dalam masyarakat yang tidak mencela dan tidak menganggap bahwa tindakan korupsi adalah sesuatu yang mestinya diharamkan dan harus dituntun secara hukum, maka pastilah korupsi akan selalu merajalela. Korupsi memang dapat dimasukkan kategori kekuasaan tanpa aturan hukum, karena selalu menjadikan kekuasaan sebagai posisi untuk mencapai suatu tujuan yang bersifat privat. Tetapi tidak semua kekuasaan tanpa aturan hukum dapat dinamakan korupsi. Kekuasaan tanpa aturan hukum, yaitu ketidakadilan, karena dapat menjurus ke tindakan korupsi. Oleh karena itu, jika korupsi memang merajalela dengan dibuktikan atau hanya dianggap sebagai hal yang biasa, maka amat mengherankan karena akibatnya bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat menurun.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//