• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Refleksi Represifitas Aparat dalam Aksi Tolak RUU TNI

MAHASISWA BERSUARA: Refleksi Represifitas Aparat dalam Aksi Tolak RUU TNI

Tindakan represif aparat berseragam pada massa aksi penolakan RUU TNI mencederai demokrasi. Seharusnya rakyat diberikan ruang dan tidak direpresi.

Muhammad Dzacky

Mahasiswa Sarjana Teknik sipil Universitas Tadulako

Peserta aksi Tolak UU TNI di Bandung, Jumat, 21 Maret 2025. Masyarakat sipil menuntut pencabutan UU TNI yang baru disahan DPR dan pemerintah. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

16 April 2025


BandungBergerak.id – Aksi demonstrasi dengan tajuk #TolakRUUTNI terjadi selama sepekan kemarin. Aksi ini diinisiasi oleh masyarakat sipil, mahasiswa, hingga aktivis. RUU TNI menuai kontroversi yang sangat luas di kalangan sipil. Hal ini dikarenakan RUU TNI ini telah melanggar beberapa peraturan perundang-undangan sejak awal pembahasan, tidak adanya transparansi dan partisipasi publik, melakukan rapat di luar jam operasional, serta rapat panja yang bukan dilaksanakan di gedung DPR RI. Selain itu, draft RUU TNI tidak dapat ditemukan di website DPR RI, sehingga menimbulkan spekulasi adanya penyimpangan terkait RUU TNI yang dirancang secara ugal-ugalan.

Setelah peralihan masa dari Orde Baru ke Reformasi, kemajuan demokrasi masih belum terlihat jelas. Hal ini dikarenakan masa reformasi 1998 belum menunjukkan pemutusan hubungan dengan rezim otoritarian yang terjadi sebelumnya. Melihat dinamika politik saat ini, sangat banyak penyimpangan yang terjadi. Demokrasi saat ini seakan sedang digiring ke tepi jurang.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Diskusi di Warung Kopi Lebih Kritis Dibanding Diskusi dalam Seminar-seminar Kampus?
MAHASISWA BERSUARA: Penyalahgunaan Kekuasaan dan Realitas Praktik Korupsi Di Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Menyingkap Ilusi Kedaulatan Rakyat dengan Merawat Gerakan Akar Rumput

Kedaulatan Rakyat Dimatikan oleh Kekuasaan

Dalam moral timur, dignity/self-respect melekat pada manusia dan tidak dapat dipisahkan. Dignity juga merupakan fasilitas yang diberikan secara penuh oleh Tuhan. Hukum hak asasi manusia menyebutkan bahwa dignity yang tertanam pada setiap individu tidak dapat diganggu gugat. Dignity adalah hak yang dimiliki sejak lahir dan melekat seumur hidup. Namun, realitanya berbanding terbalik, secara praktik teori ini seakan diabaikan, dan diporak-porandakan oleh kekuasaan. Konsep kebebasan berekspresi, berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Secara normatif, tidak dapat dibatasi oleh siapapun, dan dijamin oleh konstitusi. yang diatur dalam pasal 28E ayat 3 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Sayangnya, konstitusi saat ini belum memenuhi hak paten yang telah diberikan pada setiap individu.

Jika melihat situasi sepekan kemarin, gerakan rakyat dalam aksi penolakan RUU TNI terhalang oleh represifitas aparat. Tindakan ini adalah bentuk inkonstitusional sekaligus mencederai tubuh demokrasi. Seharusnya rakyat diberikan ruang dan tidak direpresi. Dari insiden tersebut, rezim juga tidak memberikan pembelaan atas apa yang mereka jaminkan kepada rakyat. Buktinya, dari aksi penolakan RUU TNI ini kita bisa melihat para elite dan pemangku kebijakan seolah-olah menutup mata dan mungkin menganggap bahwa aksi ini hanyalah permainan bagi mereka.

Represifitas Aparat

Aksi penolakan RUU TNI menghadapi banyak hambatan. Di antaranya, tindakan represif oleh pihak berseragam kepada massa aksi Penolakan RUU TNI. Aparat yang mengamankan jalannya aksi seharusnya memegang teguh prinsip HAM, seperti yang sudah diatur dalam PERKAPOLRI Nomor 8 tahun 2009 pasal 42 ayat 1. Tetapi, aparat malah memperlihatkan sifat brutalitasnya dalam menangani para demonstran. Bukannya melindungi, aparat malah bertindak tidak sebagaimana mestinya.

Sasaran tindakan represif aparat tidak hanya tertuju kepada para demonstran. Bahkan, jurnalis dan paramedis juga mengalami tindakan yang sama. Padahal jurnalis dan paramedis juga dilindungi dalam konstitusi, seperti kemerdekaan pers yang sudah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999, bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat. Dan Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2014 pasal 57 huruf a, tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik, berhak “memperoleh perlindungan hukum sepanjang menjalankan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional.” Pada ranah internasional, perlindungan terhadap tenaga medis diatur dalam Konvensi Jenewa. Pasal ketiga, menyatakan bahwa “orang yang tidak terlibat dalam pertikaian (termasuk tenaga medis) harus dilindungi dan tidak boleh diserang.”

Situasi ini seakan menggambarkan bahwa proses demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia kembali dibuat pincang oleh aparat. Artinya, kejadian tersebut didasari oleh kurangnya pemahaman aparat terhadap penegakan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. Atau mungkin prinsip-prinsip tersebut tidak terdapat dalam kurikulum pendidikan aparat.

Sebelumnya, stigma terhadap aparat sudah buruk. Pada aksi ini, bukannya memperlihatkan profesionalismenya sebagai aparat, justru semakin diperburuk lagi dengan tindakannya. Pertanyaannya: lalu fungsi aparat apa? Apakah hanya menjadi alat represif bagi elite untuk mengintimidasi rakyat? Atau bagaimana? Dan sejauh ini, aparat tampaknya kebal hukum. Padahal Indonesia merupakan negara yang meratifikasi hukum internasional dan pasal-pasal perlindungan, namun hanya digunakan sebagai formalitas.

Berangkat dari masa Orde Baru, rakyat sangat terancam dengan tragedi-tragedi yang terjadi pada saat itu, seperti: penculikan paksa terhadap aktivis sepanjang tahun 1997-1998; pembungkaman suara rakyat; penembakan misterius (Petrus); hingga aksi teror kepala manusia yang dikirim ke kantor media Suara Indonesia pada tahun 1984. Peristiwa tersebut memberikan catatan kelam Indonesia pada saat itu dalam memaknai nilai-nilai demokrasi.

Refleksi

Melihat situasi saat ini, kita teringatkan kembali oleh seorang filsuf prancis bernama Albert Camus dengan bukunya yang berjudul Resistance, Rebellion, Of Death. dalam bukunya, Albert Camus menjelaskan bahwa “Kebebasan itu bukan hadiah dari pemimpin atau negara, melainkan hak untuk diperjuangkan setiap hari, baik secara sendiri maupun bersama-sama.”

Kita tidak ingin kembali ke masa itu. Oleh karena itu, rakyat terus menerus menuntut. Ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera mendengarkan tuntutan rakyat, atau rakyat yang marah akan melawan pemerintah. Teruslah berjuang, jika hari ini belum membuahkan hasil, bersiaplah dengan aksi pembangkangan yang lebih besar.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//