• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Kastrat

MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Kastrat

Eksistensi Kajian Strategis (Kastrat) organisasi mahasiswa menciptakan kubik-kubik sosial, seolah-olah pergerakan hanya milik mahasiswa dan kaum terpelajar saja.

Gregorius Ken Mahisa Iswara

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Demonstrasi mahasiswa di Jakarta menolak RUU TNI, Kamis, 20 Maret 2025. (Foto: Abdullah Dienullah/BandungBergerak)

30 April 2025


BandungBergerak.id – Tidak terasa dua tahun berkecimpung di organisasi mahasiswa (ormawa) berlalu dengan cepat. Siang hari awal Februari kemarin, lega rasanya, resmi menanggalkan jabatan sebagai staf Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Harus diakui bahwa selama kurang lebih 10 bulan berkarya, saya mendapatkan ilmu yang lebih luas dari sebelumnya dan memiliki kesempatan untuk mengasah kemampuan menulis yang sebelumnya sudah saya miliki. Menjadi bagian dari Departemen Kajian Strategis (Kastrat) memungkinkan saya melihat lanskap sosial-politik yang terjadi tak hanya di tingkat nasional, tetapi juga yang dialami dan dilihat di akar rumput. Rasa terima kasih perlu saya haturkan, tetapi di saat yang bersamaan, selama dua tahun ini, saya melihat peran Kastrat sebagai departemen atau kementerian yang mengkaji sebuah isu strategis dalam rangka memotori pergerakan mahasiswa secara komprehensif serta think-tank ormawa justru tidak bisa mewujudkan cita-cita yang diinginkan. Kerap hanya menjadi formalitas ormawa tanpa menawarkan output yang konkret. Ada sebuah masalah laten yang timbul pada pergerakan mahasiswa: eksistensi Kastrat itu sendiri.

Kehadiran Departemen Kastrat yang menjamur di berbagai ormawa adalah sesuatu yang lazim, atau malah bisa dikatakan sebuah keniscayaan. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, yaitu karena sifat pergerakan Indonesia yang berbasis pemuda atau pelajar sejak dahulu. Sastramidjaja (2016) melihat, baik dalam propaganda negara maupun narasi pembangkangan, sosok pemuda besar muncul sebagai pelopor dalam perjuangan nasional. Konsekuensinya, mahasiswa sebagai bagian dari kaum terpelajar melahirkan pandangan bahwa mereka harus mengangkat isu-isu nasional atau daerah secara akademis serta mendalam dengan menuangkan ilmu yang telah dipelajari selama studinya. Dengan tugasnya dalam menyikapi isu-isu publik, mereka melakukan pencerdasan sekaligus mengembangkan kemampuan berpikir kritis bagi masyarakat melalui roda intelektual. Menurut Freire (2016), pendidik yang benar-benar humanis dan revolusioner sejati, objek tindakannya adalah realitas yang akan ditransformasikan oleh mereka bersama dengan orang lain. Maka lahirlah produk-produk seperti kajian yang membahas isu tertentu secara mendalam (investigatif), propaganda, serta variasi program kerja yang tujuannya tidak jauh berbeda dengan sifat Kastrat yang dibayangkan: mendidik.

Kita bisa sepakat bahwa tujuan dan fungsi Kastrat memiliki tujuan yang mulia dalam mencerdaskan masyarakat. Memang sudah seharusnya kaum terpelajar bergerak bersama masyarakat secara kolektif. Namun, bagaimana Kastrat kerap menjalankan perannya justru di situ masalahnya; eksklusif, formalitas semata, dan tidak konstan. Sifat-sifat ini kerap ditemui di tengah mereka yang seharusnya “terpelajar” atau berbeda dengan masyarakat awam, tetapi malah menegasikan fungsi mendidik atau mencerdaskan yang digadang-gadang. Tanpa disadari, mereka justru tidak bersikap “adil sejak dalam pikiran” sebagaimana Pram tulis dalam Bumi Manusia dari balik jeruji besi. Entah memang tidak disadari (walau saya yakin yang berpikiran seperti ini tidak hanya saya) atau malas memberikan perhatian pada masalah yang ada di depan mata, kedepannya, hilangnya nilai pergerakan mahasiswa tidak menjadi angan-angan saja, tetapi sebuah keniscayaan. Bagi saya, mandeknya gerakan mahasiswa selama ini salah satunya justru disebabkan oleh departemen yang seharusnya memotori pergerakan tersebut akibat sifatnya yang eksklusif.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Bagaimana Pemerintah Hari ini Mengabaikan Kita dan Kritik Menjadi Satu-satunya Jalan?
MAHASISWA BERSUARA: Optimalisasi Industri Manufaktur untuk Pengurangan Pengangguran di Timor-Leste
MAHASISWA BERSUARA: Wajah Tersembunyi Fast Fashion yang Mengeksploitasi Bumi dan Buruh Perempuan

Pergerakan Intelektual

Pergerakan intelektual yang dilakukan mahasiswa dapat dilihat dalam bentuk kajian komprehensif. Tujuannya, agar sesama mahasiswa dan non-mahasiswa memahami isu yang hendak diangkat secara mendalam dimensi masalahnya. Tentu tidak ada yang salah berjuang secara intelektual. Lagi pula, negara ini dimerdekakan salah satunya oleh perjuangan orang-orang intelektual macam Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Soetan Sjahrir, dan masih banyak lainnya. Namun, menurut saya terjadi salah kaprah terhadap pemaknaan intelektual bagi mahasiswa. Dalam hal pergerakan, mereka harus bisa menerjemahkan permasalahan atau isu yang terjadi di masyarakat kepada publik dengan mudah dicerna. Masalahnya, hal ini tidak terjadi dengan keberadaan Kastrat. Inilah dosa Kastrat bagi masyarakat. Di dalam kajian, satu paragraf akan mereka masukkan 3-4 argumen mereka sendiri kemudian dilengkapi dengan kutipan pemikir atau peneliti terdahulu yang memiliki pemikiran yang sama untuk memperkuat argumentasi. Paragraf itu akan berlipat ganda menjadi berlembar-lembar halaman serta ribuan kata dan jadilah kajian komprehensif hasil penelitian kaum intelektual. Namun, sungguh naif atau bodoh bagi mereka yang berharap agar publik dapat memahami isu yang hendak mereka bangun kesadarannya dengan cara demikian.

Jika kita lihat secara realistis, tidak semua orang mau meluangkan waktu untuk melihat kajian yang berlembar-lembar kendati seberapa bagus atau penting isu yang dibahas. Hanya sedikit yang mau dan memang memiliki minat di isu yang diangkat (segmented). Akibatnya, kajian hanya dibaca oleh orang-orang yang ‘itu-itu lagi’ dan melebarkan jurang ilmu pengetahuan; yang pintar menjadi semakin pintar, yang tidak pintar tidak beranjak ke mana-mana. Pun, ketika kajian tersebut selesai, kemudian berakhir mendekam di arsip saja. Tidak banyak yang kemudian memberikan dampak nyata (ada beberapa kejadian di mana kajian diberikan kepada pemangku kebijakan sebagai referensi, selebihnya jarang). Hanya sebagai trofi bagi BEM atau Hima untuk menumbuhkan rasa bangga seperti “lihat ormawa kami yang sudah mempublikasi kajian yang panjang nan keren ini” tanpa langkah berikutnya.

Masih terkait kajian dan beririsan dengan permasalahan di atas, masalah berikutnya adalah penggunaan bahasa dalam kepenulisan. Walau terlihat sepele, bahasa memainkan peran di berbagai aspek hidup manusia. Misalnya, bahasa adalah alasan mengapa penganut Kristen Protestan bisa tumbuh sangat banyak dan nasionalisme bisa muncul di Eropa sebagaimana yang Benedict Anderson (2001) tulis dalam Imagined Communities. Begitu pula bahasa berperan dalam mencerdaskan masyarakat melalui pergerakan. Masalahnya, kebiasaan yang terjadi adalah penggunaan bahasa yang rumit membuat pembaca tidak memahami pesan yang hendak disampaikan; saya menyebutnya sebagai “kebelet akademis.”

Bagi saya, tugas utama dari seorang terpelajar adalah untuk bisa melakukan transfer ilmu yang jelas kepada sesamanya. Katakanlah konsep komunisme milik Karl Marx yang kita bisa sepakati tidak semudah membaca komik “Tintin” untuk memahaminya. Jika seorang terpelajar mampu menjelaskan konsep tersebut kepada anak berumur 10 tahun dan bisa dipahami, maka bisa dikatakan bahwa ia melaksanakan tugasnya dengan baik. Mungkin terdengar mustahil, toh sesama terpelajar sekalipun belum tentu bisa memahami sepenuhnya. Namun, di situlah seninya; penggunaan bahasa memainkan perannya agar pesannya dapat dimengerti. Itulah yang semestinya terjadi di konteks kajian Kastrat. Namun nyatanya, banyak dari mereka (walau tidak semua) menggunakan susunan bahasa yang rumit untuk –kita bisa berasumsi– terlihat seperti orang intelek atau untuk tulisannya terlihat panjang saja. Misalnya (ini adalah pengamatan saya sendiri), penggunaan kata “mensimplifikasi” alih-alih “menyederhanakan” terdengar lebih seperti orang dengan segudang pengetahuan atau keren di kepalanya sehingga kata tersebut dimasukkan ke dalam kajian. Bisa jadi memang tidak terpikirkan saja, tetapi tetap saja itu tidak bisa menjadi alasan.

Beralih dari permasalahan kajian, ketidakrelevanan eksistensi Kastrat juga diperkuat dengan adanya Departemen Propaganda dan Aksi (Proaksi). Proaksi, seperti namanya, adalah departemen dengan spesialisasi menyuarakan dan mengadvokasikan masyarakat terkait isu sosial-politik dengan membangun eskalasi pergerakan dan opini publik terhadap suatu dinamika nasional, lokal, dan bahkan di lingkup kampus. Ada banyak cara yang digunakan, tetapi yang paling umum digunakan adalah melalui penggunggahan konten di Instagram terkait suatu isu atau penyebaran poster propaganda yang menurut saya jauh lebih baik dibanding membuat kajian puluhan halaman seperti Kastrat. Mengapa demikian? Konten yang diunggah melalui Instagram biasanya lebih singkat dengan bahasa yang mudah dimengerti. Hal ini terjadi dikarenakan keterbatasan tempat untuk menempatkan kata-kata sehingga mahasiswa mesti beradaptasi dengan membuat kata-kata yang singkat tanpa mengurangi nilai yang ingin disampaikan. Tentu Proaksi tidak otomatis lebih baik dari Kastrat; dari segi pergerakan, keduanya memiliki kekurangannya tersendiri. Namun, dibanding membaca kajian puluhan lembar, rasanya masyarakat akan lebih condong membaca sesuatu yang lebih singkat (mengingat masyarakat kita belum memiliki tingkat literasi yang tinggi). Membangun eskalasi pergerakan seharusnya tidak memerlukan pemahaman mendalam bak dosen, tetapi menyadari dan mengetahui letak permasalahannya sudah lebih dari cukup.

Saya percaya bahwa peran seorang terpelajar bukanlah terdengar atau terlihat seperti orang terpelajar, tetapi menjadi orang yang terpelajar itu sendiri. Pergerakan mahasiswa saya rasa bukanlah lelucon, kita sudah melihat bagaimana hasilnya di Indonesia dan belahan dunia lainnya. Namun, jika mahasiswa ingin menciptakan pergerakan yang lebih baik dan bermakna bagi semua, maka mereka harus mengakui atau melihat permasalahan yang terjadi di internalnya. Pergerakan berbasis mahasiswa sebenarnya bukan hal yang buruk, tetapi jika ia tidak bisa merangkul sesama kaum tertindas, maka sebaiknya merefleksikan kembali terlebih dahulu. Eksistensi Kastrat adalah kesalahan yang perlu dievaluasi karena ia menciptakan kubik-kubik sosial, seolah-olah pergerakan hanya milik mahasiswa dan kaum terpelajar saja. Mungkin bagi beberapa orang ini adalah masalah minor, tetapi konsekuensi laten yang ditimbulkan sama berbahayanya seperti manusia yang menimbun emosi.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//