MAHASISWA BERSUARA: Kerusakan Ekologis Ulah Perusahaan Tambang, Masyarakat yang Terdampak
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari aktivitas pertambangan juga belum mendapatkan solusi konkret dari pemerintah untuk keadilan ekologis.

Muhammad Dzacky
Mahasiswa Sarjana Teknik sipil Universitas Tadulako
2 Mei 2025
BandungBergerak.id – Perusahaan besar pemegang izin kontrak karya dengan Izin Usaha Produksi Khusus (IUPK) dan perusahaan tambang kelas menengah menjadi salah satu masalah krusial ketika IUPK diterbitkan tanpa adanya pertimbangan terhadap dampak lingkungan dan warga, khususnya di Kota Palu dan Donggala. Selain itu, aktivitas tersebut hanya menguntungkan pihak perusahaan, sementara warga harus menanggung risiko. Dua tahun terakhir, kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menimpa warga Kecamatan Ulujadi akibat dari aktivitas galian C.
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Anuntodea Tipo, Kecamatan Ulujadi, mencatat ada 2.377 penderita ISPA sepanjang tahun 2023. Penderita ISPA berasal dari Kelurahan Buluri, Watusampu, dan Tipo. Berdasarkan data dari hasil advokasi Walhi Sulteng tahun 2024, di wilayah lain, khususnya di Poboya, PT. CPM yang melakukan teknik blasting (peledakan) sejak awal tahun 2023 untuk mengoperasikan tambang bawah tanah (underground mining) berpotensi mempercepat pergerakan sesar yang dapat memicu terjadinya gempa bumi berkekuatan besar.
Mengoperasikan tambang bawah tanah juga dapat menyebabkan kualitas air tanah menurun, serta pencemaran dan sedimentasi berlebih pada sungai, jika melewati ambang batas. Ditambah lagi, mereka berencana untuk mengalihkan Daerah Aliran Sungai (DAS) Pondo, Poboya, di mana aktivitas ini berpotensi mengganggu ekosistem air dari hulu ke hilir, serta mempengaruhi jumlah pasokan air untuk petani sawah.
Berdasarkan data dari Walhi Sulteng pada tahun 2021, terdapat 1.150 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tersebar di 13 kabupaten/kota. Pasca bencana yang terjadi di Kota Palu, Sigi, dan Donggala pada tanggal 28 September 2018, seharusnya menjadi acuan bagi pemerintah untuk mempertimbangkan segala izin usaha dan aktivitas pertambangan. Sebab, melihat kondisi Sulawesi Tengah yang dilewati jalur sesar aktif Palu-Koro, wilayah ini sangat rentan terhadap gempa bumi.
Rilis pemerintah terkait pembagian wilayah Peta Zona Ruang Rawan Bencana Palu dan sekitarnya melalui Kementerian Bappenas, Kementerian ATR/BPN, Kementerian ESDM, BMKG, dan PUPR pada tahun 2018 membaginya menjadi empat bagian, yakni: zona terlarang, zona terbatas, zona bersyarat, dan zona penambang. Dalam pembagian zona tersebut, wilayah tambang yang diduduki oleh PT. CPM di Kelurahan Poboya berada di zona bersyarat (zona 2), sementara Galian C di Donggala berada dalam kategori zona rawan bencana (zona 4). Hal ini tentu menimbulkan implikasi. Apabila perusahaan tersebut terus beroperasi, dapat menimbulkan bencana alam dan keberlanjutan ekologis akan semakin terancam.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Wajah Tersembunyi Fast Fashion yang Mengeksploitasi Bumi dan Buruh Perempuan
MAHASISWA BERSUARA: Menggugat Kastrat
MAHASISWA BERSUARA: Mengapa Membangun Tembok Pemisah Kampus?
Hubungan Manusia, Alam, dan Lingkungannya
Pada tahun 1960-an, seorang ahli biologi dan penulis Amerika bernama Rachel Carson meneliti suatu kasus. Dalam bukunya yang berjudul Silent Spring, pada musim semi ia tidak lagi mendengar kicauan burung. Saat itu, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penggunaan DDT secara sembarangan merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi hilangnya kicauan (mati) burung-burung tersebut. Burung-burung mati karena mengonsumsi buah-buahan yang mengandung pestisida.
Jika berpikir secara abstrak, logika ekologi dapat bekerja. Jika burung-burung tersebut dapat memprotes karena kehidupannya diintervensi oleh bahan-bahan kimia, artinya burung-burung itu dapat mengatakan bahwa mereka telah dibunuh oleh konsumen buah impor. Hal ini menggambarkan bahwa kehidupan selain manusia juga berperan penting dalam menjaga ekosistem.
Makna dari kehidupan manusia adalah ketergantungan. Begitu pun ekosistem bekerja. Jika di antaranya terganggu, maka terjadi ketidakseimbangan. Perhatian manusia terhadap ruang lingkup ekologi sangat minim. Segala cara dipikirkan untuk melanggengkan praktik yang tidak pro-lingkungan demi keuntungan yang berdalih pertumbuhan ekonomi.
Sekarang, lingkungan menjadi hal yang tidak begitu penting untuk dipikirkan, khususnya dalam pemberian izin terhadap industri ekstraktif yang ingin beroperasi di suatu wilayah. Salah satu hal yang harus dikorbankan untuk menjalankan operasi tambang adalah hutan. Berdasarkan data dari Auriga Nusantara, status deforestasi Indonesia pada tahun 2024 teridentifikasi sebesar 261.575 hektare, meningkat 4.191 hektare dari tahun sebelumnya yang tercatat 257.384 hektare.
Hutan merupakan fasilitas kita dalam memerangi emisi, juga menjadi penyumbang oksigen di dunia. Filsuf hukum bernama Christopher Stone menganggap bahwa pohon menjadi salah satu objek penting untuk masa depan ekologi. Ia juga mengatakan bahwa pohon harus diberikan hak hukum, sebagaimana tertuang dalam bukunya yang berjudul Should Trees Have Standing? Namun, kita berada dalam sistem hukum antroposentris, yaitu suatu pandangan yang memusatkan segala sistem alam semesta pada manusia. Alam hanya sebatas kebutuhan pendukung bagi kepentingan manusia.
Walaupun pohon bukan subjek hukum, dalam masyarakat adat pohon memiliki makna tersendiri. Banyak tradisi adat yang menganggap bahwa pohon merupakan bagian dari kehidupan spiritual. Secara tidak langsung, hal ini adalah bentuk konservasi lingkungan yang harus mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk merawat keberlanjutan ekologi.
Dalam kehidupan di bumi, entitas bukan hanya berpusat pada antropologi. Ekologi juga perlu kita tetapkan sebagai satu entitas tersendiri karena memiliki nilai intrinsik. Satu hukum alam, yakni tenaga eksogen dan endogen, dapat disimpulkan bahwa alam merupakan hierarki tertinggi dari segalanya. Ia (alam) memiliki hukum tersendiri. Seiring terjadinya siklus alam, secara perlahan ia akan mengalami kehancuran dengan sendirinya. Alam juga memiliki kuasa lebih, tidak bergantung pada manusia. Namun sebaliknya, manusialah yang bergantung pada alam.
Mewariskan Kerusakan Ekologi untuk Masa Depan
Indonesia merupakan negara paling strategis dan diuntungkan dari segi letak geografis, kondisi geologis, serta sumber daya alamnya yang sangat besar dibanding negara-negara Barat. Namun, sejauh ini, strategi pemerintah dalam mengelola kekayaan alam kita secara efektif dan efisien belum terlihat. Nyatanya, justru menimbulkan kerusakan ekologi yang cukup serius. Bagaimana Indonesia bisa maju jika dari pengelolaan sumber daya alamnya saja masih sangat jauh dari kata “maju”?
Sumber daya alam kini menjadi sarang investasi bagi para oligarki. Setiap pemangku kebijakan selalu memikirkan pertumbuhan ekonomi dari aktivitas pertambangan sebagai alat pertahanan pertama untuk keberlanjutan hidup. Sehingga, kebijakan yang diterbitkan tidak berdasarkan pada partisipasi publik dan kondisi objektif yang menempatkan sektor ekonomi dan politik memiliki kedudukan yang sama dengan aspek perlindungan lingkungan hidup dan ekologis.
Misalnya, kajian ilmiah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang menjadi salah satu persyaratan administratif untuk industri ekstraktif, hanya digunakan sebagai formalitas. Saat ini, dunia sedang dihadapkan pada krisis lingkungan. Di Indonesia, pondasi ekonomi masih berlandaskan pada industri ekstraktif. Inilah yang menjadi problem utama atas krisis lingkungan hidup yang sedang terjadi.
Kita sadar bahwa kapasitas bangsa Indonesia dalam menanggapi krisis lingkungan masih sangat minim. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari aktivitas pertambangan juga belum mendapatkan solusi konkret dari pemerintah untuk keadilan ekologis. Apa yang akan terjadi pada masa depan, ketika aktivitas yang tidak berpihak pada ruang lingkup ekologi terus dilanggengkan?
Tahun 2045 mendatang, kita akan merayakan 100 tahun kemerdekaan Indonesia dengan tajuk “Indonesia Emas.” Namun, melihat kondisi saat ini, pemerintah dan pemodal seakan tidak mempersiapkan diri untuk menyambut perayaan itu. Masih sangat jauh, jauh dari kata “emas.” Bagaimana kehidupan generasi yang akan melanjutkan bangsa ini? Sementara kita terus mewariskan kerusakan untuk mereka. Hal ini merupakan dosa turunan dari pemimpin-pemimpin sebelumnya.
Berkaca pada konsep ekologi antargenerasi, setiap generasi memiliki hak untuk menempati lingkungan yang layak huni. Artinya, generasi saat ini memiliki tanggung jawab besar dalam menjamin kesejahteraan generasi yang akan datang.
Urgensi Evaluasi Menuju Kesetaraan Ekologis
Persoalan lingkungan hidup menjadi suatu keprihatinan bersama. Pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan peninjauan kembali terhadap konsesi yang dikantongi perusahaan yang masih terus beroperasi hingga saat ini. Jika beroperasi melebihi ambang batas yang ditentukan dalam AMDAL, harus segera dievaluasi.
Perusahaan tambang yang hanya berfokus pada peningkatan komoditas dan memaksimalkan keuntungan tanpa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di lingkar tambang menjadi tantangan pemerintah dalam pengambilan sikap untuk mewujudkan kesetaraan ekologis.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara