• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Mengkritisi Usulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

MAHASISWA BERSUARA: Mengkritisi Usulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional berpotensi melukai para penyintas serta mencederai prinsip-prinsip keadilan historis.

Rahul Diva Laksana Putra

Mahasiswa pecinta kopi yang sedang berkuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang

Ilustrasi. Negara demokrasi mesti mendengar asporasi rakyat. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

19 Mei 2025


BandungBergerak.id – Beberapa waktu terakhir, ruang publik kembali riuh oleh kabar yang mengundang perdebatan tajam: usulan Kementerian Sosial Republik Indonesia bersama Tim peneliti dan pengkaji Gelar Pusat (TP2G) tentang nama-nama calon pahlawan nasional. Dari sepuluh nama yang diusulkan, satu nama menyedot perhatian lebih dari yang lain: Soeharto, Presiden RI ke-2 yang memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade, dari 1967 hingga 1998. Di satu sisi, Soeharto dipuja sebagai “Bapak Pembangunan”. Di sisi lain, ia juga dikenang sebagai sosok otoriter yang banyak terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang belum terselesaikan hingga kini.

Kontroversi ini menjadi cermin dari bagaimana bangsa ini belum selesai dengan masa lalunya. Penulisan sejarah Indonesia, terutama pada era Orde Baru, sangat dipengaruhi oleh narasi resmi negara yang mengglorifikasi stabilitas dan pembangunan ekonomi, namun mengubur kekerasan, ketakutan, dan luka-luka yang dirasakan oleh para korban kebijakan otoriter.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Kerusakan Ekologis Ulah Perusahaan Tambang, Masyarakat yang Terdampak
MAHASISWA BERSUARA: Suara Rakyat di Era Digital, Peran Media Sosial Membentuk Populisme Modern
MAHASISWA BERSUARA: Kebijakan Kepala Daerah Harus Transparan

Definisi Pahlawan Nasional dan Soeharto dalam Perspektif Sejarah

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada warga negara Indonesia yang semasa hidupnya telah melakukan tindakan kepahlawanan luar biasa bagi kemajuan bangsa dan negara. Tindakan kepahlawanan yang dimaksud mencakup keberanian melawan penjajahan atau kontribusi besar terhadap pembangunan nasional.

Soeharto, tanpa ragu, memiliki peran signifikan dalam membentuk wajah Indonesia modern. Ia mengawali program pembangunan nasional yang ambisius lewat konsep trilogi pembangunan 1978-1983 –stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan hasil pembangunan. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mengalami era industrialisasi awal, ekspansi infrastruktur secara besar-besaran, dan yang paling dikenang adalah keberhasilan swasembada pangan pada pertengahan 1980-an. Melalui program Bimas dan Inmas serta dukungan pada teknologi pertanian (termasuk penggunaan varietas unggul seperti padi IR), Soeharto mendorong peningkatan produksi beras nasional hingga mampu mengurangi ketergantungan pada impor.

Ia juga mendirikan berbagai lembaga penting seperti Badan Urusan Logistik (Bulog), serta menata kembali sistem pendidikan dengan memperluas akses melalui Inpres Sekolah Dasar. Di bidang kesehatan, program Posyandu dan Keluarga Berencana (KB) menjadi pilar pembangunan manusia yang cukup efektif kala itu. Bahkan, program transmigrasi digalakkan sebagai bagian dari pemerataan penduduk dan pengentasan kemiskinan, meski banyak dikritik karena aspek sosial dan ekologisnya.

Namun, semua prestasi itu tidak datang tanpa biaya sosial dan politik yang sangat besar. Rezim Orde Baru menggunakan pendekatan militeristik dan otoriter untuk menjaga stabilitas politik. Kebebasan sipil dibungkam, pers dikontrol ketat melalui sistem surat izin penerbitan pers (SIUPP), dan organisasi kemasyarakatan dijinakkan atau dibubarkan jika dianggap membahayakan kekuasaan. Pelanggaran HAM berat menjadi ciri khas kelam dari kekuasaan Soeharto: mulai dari tragedi 1965-66 yang menewaskan ratusan ribu hingga jutaan orang yang dituduh komunis, Petrus, penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi pada 1997-1998, serta tragedi Tanjung Priok, Trisakti, dan Semanggi yang mengorbankan banyak jiwa.

Pelanggaran HAM dan Impunitas di Era Soeharto

Salah satu alasan utama penolakan terhadap pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto terletak pada rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga kini belum pernah dipertanggungjawabkan secara hukum. Tragedi 1965-1966 menewaskan ratusan ribu hingga lebih dari satu juta orang yang dituduh terkait Partai Komunis Indonesia (PKI). Banyak dari mereka ditahan tanpa proses pengadilan, mengalami penyiksaan, atau diasingkan ke kamp kerja paksa seperti Pulau Buru. Kekerasan sistemik ini menjadi fondasi kekuasaan Orde Baru yang bertahan selama lebih dari tiga dekade.

Sepanjang masa pemerintahannya, Soeharto memimpin dengan pendekatan represif yang menargetkan siapa pun yang dianggap mengganggu stabilitas. Aktivis mahasiswa, buruh, jurnalis, dan masyarakat sipil kerap menjadi sasaran intimidasi, penangkapan sewenang-wenang, hingga penghilangan paksa. Menjelang reformasi 1997–1998, sejumlah aktivis pro-demokrasi diculik, sebagian tidak pernah kembali, dan kasus-kasusnya hingga kini belum diselesaikan secara transparan.

Salah satu kasus yang mencerminkan kekerasan struktural negara adalah pembunuhan Marsinah, buruh perempuan yang ditemukan tewas setelah memperjuangkan hak-haknya di Surabaya. Laporan pendahuluan dari YLBHI (1994) serta investigasi lanjutan yang dipublikasikan oleh Tempo (2020) menunjukkan bagaimana aparat negara diduga terlibat dan berusaha menutup-nutupi kasus tersebut dari proses hukum yang adil.

Penolakan terhadap gelar kehormatan ini juga disuarakan secara kolektif oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) pada 10 April 2025. Kelompok ini, yang terdiri dari keluarga korban, organisasi masyarakat sipil, dan individu pendukung keadilan, menyerahkan surat terbuka kepada Kementerian Sosial untuk menolak pengusulan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional. Mereka menekankan bahwa selama tiga dekade kekuasaan, Soeharto bukan hanya melakukan pelanggaran HAM berat, tetapi juga mempraktikkan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam skala sistemik.

Penolakan ini tidak berdiri di ruang kosong. Setelah reformasi 1998, negara melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat pernah secara resmi mengakui adanya warisan pelanggaran HAM dan praktik KKN melalui TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, serta TAP MPR No. IV/MPR/1999 yang menempatkan agenda penegakan HAM sebagai bagian dari arah pembangunan nasional. Artinya, negara pernah mengafirmasi bahwa rezim Orde Baru meninggalkan jejak kelam yang tidak boleh diabaikan begitu saja.

Memori Kolektif, Rekonsiliasi, dan Masalah Pemberian Gelar

Memberikan gelar pahlawan nasional kepada tokoh seperti Soeharto berarti menyepakati bahwa jasa-jasanya lebih besar dari luka-lukanya. Namun, dalam konteks sejarah politik Indonesia, pemberian gelar ini bukan sekadar pengakuan individu, melainkan penegasan narasi kolektif bangsa. Dengan menyematkan gelar pahlawan kepada Soeharto, negara seperti sedang menutup mata terhadap kesengsaraan ribuan korban dan keluarganya, serta menciptakan preseden bahwa pelanggaran HAM bisa dikompensasi dengan pembangunan ekonomi.

Secara normatif, memang tidak ada yang melarang secara eksplisit pemberian gelar pahlawan kepada mantan kepala negara. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menyebutkan bahwa gelar Pahlawan Nasional dapat diberikan kepada seseorang yang dianggap berjasa besar bagi bangsa dan negara. Jika mengacu hanya pada aspek yuridis-formal dan pembangunan, maka Soeharto memenuhi sebagian kriteria tersebut. Namun, undang-undang ini tidak serta-merta dapat dijadikan alat pemutihan sejarah. Hukum normatif tak boleh berdiri sendiri tanpa memperhatikan etika sejarah dan tanggung jawab moral terhadap keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sementara negara-negara lain, seperti Jerman dengan holocaust-nya atau Afrika Selatan dengan apartheid-nya, menempuh proses rekonsiliasi nasional yang mendalam, Indonesia justru terus menunda penuntasan sejarah. Pengakuan, permintaan maaf resmi, serta pengadilan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat adalah langkah-langkah yang seharusnya didahulukan sebelum memberikan pengakuan kehormatan seperti gelar pahlawan.

Soeharto, sebagai tokoh sejarah, adalah figur kompleks. Ia membangun, tapi juga menindas. Ia menciptakan stabilitas, tapi menumbuhkan ketakutan. Ia memperkuat negara, tapi melemahkan warga negara. Maka, pengusulan namanya sebagai pahlawan nasional seharusnya tidak diputuskan tanpa pertimbangan kritis dan reflektif.

Dalam konteks pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum mendapatkan penyelesaian yang adil, pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional berpotensi melukai para penyintas serta mencederai prinsip-prinsip keadilan historis. Keadilan tidak semata-mata menyangkut aspek hukum, tetapi juga menyangkut bagaimana bangsa ini merawat ingatan kolektifnya. Jika negara memilih untuk mengakui jasa seorang tokoh yang belum pernah mempertanggungjawabkan masa lalu kelamnya, maka kita tengah membangun masa depan di atas fondasi kebenaran yang dikubur. Oleh karena itu, sudah sepatutnya negara menangguhkan pemberian gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto, setidaknya sampai negara secara resmi mengakui dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi selama masa pemerintahannya.

Memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada tokoh dengan catatan pelanggaran HAM berat dan penyalahgunaan kekuasaan seperti Soeharto bukanlah langkah netral. Di saat para penyintas dan keluarga korban masih menanti keadilan, dan ketika luka sejarah belum disembuhkan oleh pengakuan serta pertanggungjawaban, pemberian gelar ini justru berisiko menjadi bentuk pengingkaran terhadap penderitaan kolektif dan legitimasi kekerasan negara di masa lalu

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//