MAHASISWA BERSUARA: Post-Truth dan Runtuhnya Rasionalitas Manusia, Ketika Algoritma Mengatur Kebenaran
Kebenaran hari ini bukan lagi tentang apa yang sungguh-sungguh terjadi, melainkan tentang apa yang disajikan kepada kita melalui algoritma.

Aqil Madani
Mahasiswa Perbandingan Madzhab dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung
15 Juni 2025
BandungBergerak.id – Pernahkah kita bertanya, apakah semua yang kita baca benar adanya? Apakah kita benar-benar memilih apa yang kita yakini, atau hanya menjadi budak algoritma? Ketika setiap klik disulap menjadi data, di manakah letak kebenaran yang sesungguhnya?
Di era digital saat ini, informasi mengalir tanpa henti melalui berbagai platform. Namun ironisnya, justru di tengah kelimpahan data itu, kebenaran menjadi semakin kabur. Kita hidup dalam zaman ketika fakta dan fiksi tidak lagi dibedakan oleh rasionalitas, tetapi oleh seberapa banyak interaksi yang dihasilkan. Indonesia menjadi ladang subur bagi era post-truth, ketika kepercayaan publik lebih dipengaruhi oleh apa yang “trending” dibandingkan dengan apa yang benar.
Menurut Data Indonesia dari Databoks (2025), terdapat sekitar 143 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, mencakup 50,2% dari total populasi nasional. Namun, di balik angka tersebut, muncul pertanyaan besar: apakah masyarakat semakin bijak, atau justru semakin mudah dimanipulasi?
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Inovasi Sensor Hidrostatis sebagai upaya Deteksi Dini Terjadinya Banjir, Sebuah Konsep Fisika
MAHASISWA BERSUARA: Di Balik Riuh Pendidikan Jatinangor
MAHASISWA BERSUARA: FOMO dan Kehidupan yang Terlihat Sempurna, Realitas atau Ilusi?
Realitas yang Diproduksi, Algoritma sebagai Arsitek Kebenaran
Kebenaran hari ini bukan lagi tentang apa yang sungguh-sungguh terjadi, melainkan tentang apa yang disajikan kepada kita melalui algoritma. Dalam dunia digital, algoritma bekerja sebagai penyaring utama, menentukan informasi apa yang layak tampil di layar kita.
Yang muncul bukan lagi cerminan realitas objektif, tetapi versi realitas yang paling laku jual. Inilah inti dari zaman post-truth: fakta direduksi menjadi clickbait, dan opini diperlakukan sebagai fakta bila mampu memancing keterlibatan pengguna. Rasionalitas –yang seharusnya menjadi alat pembeda antara fakta dan opini– dikaburkan demi angka statistik.
Filsuf teknologi Gilbert Simondon menawarkan pemahaman penting dalam situasi ini. Ia berpendapat bahwa individu bukanlah entitas tetap, melainkan hasil dari proses yang disebut individuasi, yakni pembentukan diri melalui relasi sosial dan teknologi.
Namun, dalam konteks digital saat ini, proses individuasi menjadi terotomatisasi. Feed yang dikurasi, trending topic yang ditentukan, dan filter bubble yang membatasi perspektif menjadikan manusia bukan lagi subjek yang berpikir, melainkan produk yang diproses dan disesuaikan dengan logika platform digital.
Simondon mengingatkan kita bahwa ketika relasi antara manusia dan teknologi menjadi terlalu deterministik, maka kebebasan berpikir individu pun ikut terancam.
Indonesia bangga sebagai pasar digital terbesar di Asia Tenggara. Namun, apakah kebanggaan ini diiringi oleh kesiapan intelektual yang memadai?
Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) 2024 mencatat bahwa skor literasi digital Indonesia hanya 43,34 dari 100 (Kompas.id). Ini menunjukkan bahwa meskipun akses terhadap teknologi tinggi, masyarakat belum sepenuhnya fasih menggunakan teknologi digital secara kritis dan produktif.
Sebagai perbandingan, Inggris memiliki sekitar 56,2 juta pengguna media sosial, dengan rata-rata penggunaan harian selama 1 jam 49 menit (We Are Social). Namun, masyarakat di sana lebih siap secara literasi digital, ditunjukkan dengan berbagai program pendidikan dan kampanye kesadaran digital yang masif.
Di Indonesia, kemudahan akses justru membuka ruang lebar bagi disinformasi. Hoaks politik, teori konspirasi, hingga selebritas digital lebih dipercaya ketimbang data resmi. Rasionalitas tergeser oleh sensasionalitas.
Kesadaran Kritis, Jalan Keluar dari Kegelapan Post-Truth
Apakah kita akan terus menjadi korban algoritma, atau berani merebut kembali rasionalitas?
Simondon menyatakan bahwa individuasi adalah proses yang tidak pernah selesai. Maka, harapan tetap ada: kita tetap bisa menjadi individu yang merdeka secara berpikir, selama masih ada kesediaan untuk mempertanyakan, memverifikasi, dan berpikir kritis.
Era post-truth seharusnya menjadi panggilan bagi kita semua untuk membangkitkan kembali rasionalitas yang terpinggirkan. Agar kita tidak sekadar menjadi angka dalam laporan engagement, tetapi manusia yang mampu berpikir, memilih, dan menentukan arah hidup secara sadar.
Di tengah derasnya arus informasi dan dominasi algoritma, rasionalitas bukan sekadar sebuah kemampuan, melainkan tanggung jawab moral. Kita tidak bisa berharap pada platform atau teknologi untuk menyaring kebenaran. Tugas itu ada pada kita –pada kesadaran kritis yang terus diasah.
Maka, mari bertanya lagi: apakah kita benar-benar percaya karena paham, atau hanya karena algoritma memilihkan untuk kita?
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara