MAHASISWA BERSUARA: Di Balik Riuh Pendidikan Jatinangor
Jatinangor dengan seribu permasalahannya menjadi kosakata bagi setiap warganya, baik pendatang atau pun lokal. Sudah sepatutnya menjaganya bersama-sama.

Zhaafir Kautsar Yuristiawan
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
12 Juni 2025
BandungBergerak.id – Sudah hampir dua tahun lamanya aku mengenyam pendidikan di Jatinangor. Namun, sejak aku menapakkan kaki di daerah ini, aku tidak pernah menulis apa pun tentang wilayah ini. Bukan tidak berkesan, namun aku selalu berpikir bahwa yang spesial dari wilayah ini bukanlah tempatnya, namun canda dan tawa dari orang-orang yang aku kenal di wilayah ini.
Baru-baru ini, aku menyaksikan bagaimana wilayah ini telah mengubahku. Dari bocah lulusan SMA ingusan yang keras kepala, sampai diriku yang sekarang, mahasiswa semester empat yang mencoba menemukan jati diri dan arti hidup, mahasiswa dengan kemelut beban akademik dan organisasinya. Di sini, di Jatinangor, egoku dibuat lembek, hatiku dibuat besar, pundakku dibuat kuat, dan daguku dibuat tegak. Dengan magis, wilayah ini telah mengubahku. Aku kira Bandung saja yang akan melakukan itu, ternyata tempat ini mengubahku juga, menyaksikan diriku berproses dan bermetamorfosis.
Seperti apa yang ditulis oleh Her Suganda (2007), Jatinangor dahulunya adalah kebun teh dan karet, yang pada masa kolonial dimiliki dan dikelola oleh Baron Baud. Kita dapat mengenangnya di utara Jatinangor, daerah Kiarapayung. Di sana, terdapat menara loji dan juga makam Baron Baud beserta putrinya, Mimosa. Hingga ambisi rektor Universitas Padjadjaran saat itu, Prof. Hindersah yang ingin membangun kawasan pendidikan terbesar di Jawa Barat, karena terinspirasi dari kota akademis Tsukuba di Jepang. Ambisi ini terealisasi pada tahun 1983, Di mana Universitas Padjadjaran secara resmi memindahkan kampus sarjananya ke Jatinangor. Lalu, disusul oleh beberapa kampus lainnya seperti ITB, Ikopin, dan juga IPDN.
Namun, di balik catatan historisnya, Jatinangor merebak menjadi perkebunan penuh ketidakpedulian. Di mana, ketidakpedulian ini mengakar dan menjalar ke mana-mana, perlahan membunuh wilayah kecil ini. Hal ini membuatku memandang Jatinangor dengan berbeda, dengan sinis dan penuh keraguan. Aspal yang buruk, membuat ratusan orang terjatuh di sekitaran Jalan Kolonel Ahmad Syam. Pejalan kaki pun terhantam dan terseret begitu saja oleh kendaraan besar karena jalur pedestrian yang sangat tidak ramah. Asap-asap masuk begitu saja ke setiap paru-paru, karena jalur utama perlintasan truk-truk besar ini tidak diberi jalur alternatif. Air menggenang di aspal membasahi para pejalan kaki dan pengguna jalan di sekitaran Hegarmanah, karena resapan air yang menjadi mitos. Motor-motor menghilang begitu saja karena keamanan yang buruk. Dan yang paling bangsat: anak-anak Jatinangor, direnggut waktu bermainnya untuk berjualan keju aroma dan pisang coklat, mereka dipaksa mengais rezeki, melepaskan kenur layangan dari tangannya, dan juga bola plastik dari kakinya. Sementara di sisi lain, seorang ayah memohon minyak goreng dan mi instannya dibeli, karena ia tidak mempunyai sepeser uang untuk anaknya bersekolah. Ironi, wilayah pendidikan, namun warga lokal tidak mempunyai kesempatan untuk mengenyam pendidikan, bahkan di tingkat sekolah dasar.
Ketidakpedulian ini terus menular dan semakin parah. Para pendatang yang menamakan diri mereka mahasiswa, telah menjadi entitas yang acuh tak acuh. Mereka tidak peduli dengan realitas yang terjadi di sekitar mereka, mereka berkendara dengan seenak jidat, membuang sampahnya di jalanan, dan menabrak warga sekitar yang sedang mencari nafkah. Mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi di lingkungannya, bahkan apa yang terjadi di sekitar kosnya. Mereka hanya peduli dengan kesenangan yang fana, minuman keras, dan gemerlap lampu pesta di atas penindasan. Mereka membentuk organisasi, dan mereka labeli sebagai organisasi yang akan berdampak. Namun, alih-alih berdampak, organisasi tersebut malah menjadi ajang pertarungan politik elite-elite kampus, mereka hanya peduli ketika ada jabatan yang melekat di dada mereka, bukan kebaikan yang melekat pada hati mereka.
Pada akhirnya, Jatinangor telah menjadi perkebunan kembali, yaitu perkebunan ketidakpedulian. Ketidakpedulian itu ditanam, dirawat, dan dituai oleh bersama. Hingga wilayah kecil ini perlahan-lahan mati.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Ketika Sekolah Gagal Memberikan Makna pada Reformasi
MAHASISWA BERSUARA: Penulisan Ulang Sejarah Nasional dalam Bayang-bayang Novel 1984
MAHASISWA BERSUARA: Inovasi Sensor Hidrostatis sebagai upaya Deteksi Dini Terjadinya Banjir, Sebuah Konsep Fisika
Harapan untuk Berbenah?
Dari semua carut marut ini, pertanyaan yang sangat fundamental terlintas di kepalaku. Apakah masih ada harapan untuk berbenah? Bagiku, hal ini hanya dapat dijawab jika kita melihat lorong-lorong sempit dalam kekacauan. Karena Jatinangor tidak dibangun atas beton dan tembok besar pendidikan, Jatinangor tidak dibangun atas besarnya gedung-gedung Unpad, ITB, Ikopin, dan IPDN. Jatinangor tidak dibangun oleh Jatos, Awani, Wangsa, dan Kerta. Apalagi Skyland, Pinewood, Easton, atau Taman Melati. Namun, Jatinangor dibangun oleh mereka-mereka yang tertindas dan direnggut haknya, oleh kaki-kaki kecil yang berharap masih ada tempat dan waktu bagi mereka untuk bermain sepak bola dan layangan, oleh perut-perut lapar yang berbunyi di saat jam makan pagi, siang dan malam, oleh harap menjadi terdidik yang hilang di kawasan pendidikan itu sendiri, oleh tangan-tangan kasar yang dipakai untuk menanam, oleh keringat yang bertetesan karena susahnya mencari nafkah.
Di sisi lain, dalam lorong-lorong sempit, di sudut-sudut Jatinangor, terdapat asa yang muncul dari kekacauan, kehangatan yang muncul dari palingan muka, senyuman yang muncul dari carut marut, dan kekayaan yang menunggu untuk dipahami dan dicintai.
Phoenix Rising From the Ashes, katanya.
Hamparan sawah dan peninggalan era kolonial belanda masih melekat, menjadi panorama yang begitu indah, menjadi kekayaan yang tidak pernah dilirik oleh orang bahkan pemerintah. Hamparan ini dapat kita lihat di sekitar utara Jatinangor, di Desa Cilayung, Cileles, dan juga Kiarapayung. Di daerah selatan pun seakan tak mau kalah cantik, Desa Jatiroke dan Sukawening tidak hanya menyimpan hamparan sawahnya, namun ada Gunung Bukit Jarian dan Gunung Geulis yang menjulang tinggi. Persis seperti namanya, Geulis yang berarti Cantik. Di puncaknya, kita dapat melihat seluruh Jatinangor, menjadikan kita kerdil dengan segala ambisinya. Di sisi historisnya, kita dapat melihat Jembatan Cincin yang berdiri begitu kokoh, yang dulu dijadikan perlintasan kereta dari Rancaekek ke Tanjungsari oleh pemerintah kolonial. Jembatan Cincin ini dapat kita lihat di Desa Hegarmanah, Jalan Cikuda. Juga, menara loji yang menjadi ikon dari Jatinangor terdapat di daerah Kiarapayung. Menara ini digunakan oleh Baron Baud dalam menandakan dimulainya kerja dan berakhirnya kerja, di perkebunan teh dan karetnya.
Selain itu, terdapat kebudayaan domba adu dan reak. Di mana, domba tidak hanya diurus dan diberi makan, ia diberi ketangguhan, dirawat seakan-akan keluarga sendiri. Ketangkasannya diuji, bukan untuk melihat siapa yang lemah, namun untuk menemukan arti dari keberanian. Di sisi lain, reak dilakukan atas perayaan hal besar yang terjadi–biasanya karena ada khitanan ataupun perayaan lainnya. Sang punya hajat diarak keliling desa, diberi musik gamelan, tarian, dan hiasan yang sangat menangkap pandangan.
Di pinggir jalan yang sudah keruh oleh asap-asap kendaraan, dan debu-debu ketidakpedulian, terdapat dunia yang tersimpan dalam ruangan kecil, dalam rak-rak yang sudah penuh menampung pengetahuan. Tempat seperti ini bernama Perpustakaan Batu Api. Perpustakaan ini terletak di Jalan Raya Jatinangor, atau, di Jalan Pramoedya Ananta Toer. Di sini, kita dapat berbincang dengan Pak Anton dan Bu Arum –pemilik perpustakaan ini– tentang apa pun. Di perpustakaan ini pula kita dapat belajar terkait banyak hal, tentang sastra, tentang sejarah kota kelahiran, tentang filsafat, tentang sepakbola, dan yang paling penting, tentang kehidupan.
Di balik carut marutnya Jatinangor, ada sebuah keindahan yang dapat kita lihat, ada sebuah kehangatan yang dapat kita rasakan, ada kekayaan negeri yang tersembunyi, dan ada harapan yang dapat kita kejar, secara sungguh-sungguh. Dengan kata lain, asa itu masih ada.
Jatinangor kaya akan nilai historisnya, kaya akan sumber daya alamnya, dan kaya akan fungsinya. Jatinangor bukan hanya wilayah belaka, ia melekat menjadi kosakata bagi setiap warganya baik pendatang atau pun lokal. Dengan seribu permasalahannya, Jatinangor adalah wilayah kita, sudah sepatutnya ini menjadi tanggung jawab bersama, dalam menjaganya agar tetap hidup.
Untukku yang baru dua tahun di Jatinangor, ia sudah berulang kali menamparku, berulang kali pula ia sudah membantuku berdiri. Sudah saatnya aku, kamu, dan kita dapat menyelamatkan Jatinangor yang tersungkur dalam perkebunan ketidakpedulian. Untuk adik-adik kita, dan untuk masa depan yang lebih baik.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara