• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Inovasi Sensor Hidrostatis sebagai upaya Deteksi Dini Terjadinya Banjir, Sebuah Konsep Fisika

MAHASISWA BERSUARA: Inovasi Sensor Hidrostatis sebagai upaya Deteksi Dini Terjadinya Banjir, Sebuah Konsep Fisika

Pendeteksi dini banjir menggunakan konsep hidrostatis bekerja dengan mengukur tekanan air sungai secara langsung. Lebih andal karena tidak terpengaruh cuaca ekstrem.

Angelica Keisha

Mahasiswa Program Studi Fisika Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Warga berjalan menembus banjir Sungai Citarum di Kampung Leuwibandung, Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, 16 Maret 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

6 Juni 2025


BandungBergerak.id – Banjir merupakan suatu peristiwa bencana alam yang ditunjukkan dengan meluapnya air hingga ke daratan dalam jumlah besar yang biasanya terjadi ketika musim hujan. Beberapa kota besar di Indonesia, seperti DKI Jakarta, Bogor, Bandung, Solo, dan Pandeglang masih rentan terhadap banjir. Menurut data GoodStats, tahun 2021 menjadi puncak kejadian banjir yaitu sebanyak 1.794. Hal ini menyebabkan 337 korban meninggal dunia, 67 orang hilang, dan lebih dari 2.000 orang mengalami luka-luka. Tahun 2022 hingga 2024 terjadi penurunan jumlah kejadian banjir, yaitu 1.531 pada tahun 2022, dan 1.255 pada 2023. VOA Indonesia menyatakan bahwa pada tahun 2024 terdapat 1.088 jumlah bencana banjir di Indonesia. Total korban yang hilang dan meninggal yaitu sebanyak 248. Bencana banjir dapat terjadi karena curah hujan tinggi, debit air sungai yang melebihi kapasitas saluran pembuangan yang tersedia, dan sistem drainase yang buruk menyebabkan air tidak dapat mengalir dengan baik. Penyebab lain terjadinya banjir di daerah pesisir, seperit di Jakarta Utara disebabkan oleh permukaan tanah yang semakin menurun yang mempengaruhi peningkatan banjir pasang air laut dan adanya banjir kiriman dari hulu sungai, seperti Sungai Ciliwung di kawasan Bogor yang mengalir ke hilir atau Jakarta.

Dengan maraknya permasalahan ini, deteksi dini terjadinya banjir sangat diperlukan di beberapa kawasan Indonesia, terutama di kota-kota  rawan banjir. Namun, alat pendeteksi dini banjir saat ini masih kurang efektif, seperti Disaster Warning System (DWS), dan Automatic Weather Station (AWS). Hal ini disebabkan oleh alat-alat tersebut tidak dapat mendeteksi ketinggian air pada sungai karena hanya berbasis pada curah hujan, kelembaban, dan suhu. Selain itu, tidak sedikit AWS hanya dipasang di area umum, seperti sekolah, kantor, dan rumah sakit, tetapi tidak dipasang di pinggir sungai, sehingga data yang diperoleh tidak secara langsung memberi informasi potensi terjadinya banjir akibat luapan air di sungai.

Data yang dihasilkan dari AWS dan DWS sering kali tidak terkoneksi dengan masyarakat dalam waktu yang sebenarnya, sehingga menyebabkan keterlambatan penyampaian informasi peringatan dini. Hal ini didukung dengan diterapkannya sistem pendeteksi dini terjadinya banjir di Kota Gorontalo pada tahun 2024 oleh BNBP melalui Direktorat peringatan Dini. Keputusan ini dilatarbelakangi oleh hasil wawancara dengan tim BPBD Kota Gorontalo bahwa upaya pengurangan risiko banjir masih mengalami hambatan karena kurangnya media untuk menyalurkan informasi peringatan dini banjir. Dalam penyaluran informasi, tim BPBD harus mendatangi lokasi peringatan dini banjir secara langsung. Hal ini menyebabkan banyak waktu yang terbuang, sehingga proses evakuasi masyarakat sekitar menjadi tertunda. Di sisi lain, alat Automatic Water Level Recorder (AWLR) yang merupakan pendeteksi dini lain untuk mengukur tingginya air pada danau dan aliran sungai masih memiliki kekurangan karena menggunakan pelampung. 

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mengkritisi Usulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
MAHASISWA BERSUARA: Karena Kabupaten Bekasi Tidak Sekadar Daerah Industri
MAHASISWA BERSUARA: Penulisan Ulang Sejarah Nasional dalam Bayang-bayang Novel 1984

Solusi Pendeteksi Dini Banjir Berbasis Konsep Fisika

Penggunaan pelampung untuk mengukur ketinggian muka air dapat membuat pelampung tersangkut oleh kisi-kisi besi atau sampah yang menyebabkan pembacaan hidrograf menjadi tidak akurat. Pernyataan tersebut didukung oleh data dari Sentec tahun 2022 yang menyatakan bahwa float level switches dan float malfunction yang disebabkan oleh kotoran pada air dapat menyebabkan pembacaan menjadi tidak akurat. Selain itu, gelombang air dapat membuat pelampung bergerak secara terus-menerus, sehingga dapat menyebabkan fluktuatif atau ketidakstabilan data. Dengan kurangnya efektivitas alat pendeteksi dini saat ini, diperlukannya inovasi dalam bidang sains dan teknologi untuk mengurangi dampak kerugian pada barang berharga di rumah. Salah satu inovasi yang dapat diterapkan dalam masyarakat adalah sensor tekanan berdasarkan konsep hidrostatis dalam fisika untuk mengetahui kenaikan tinggi air pada sungai dalam waktu sebenarnya dan akurat.

Konsep tekanan hidrostatis merupakan tekanan yang dihasilkan oleh zat cair akibat gaya berat pada cairan tersebut terdapat suatu luas bidang tekan pada kedalaman tertentu. Besar tekanan yang dihasilkan pada zat cair bergantung pada kedalaman dan jenis fluida, sesuai dengan rumus P=ρgh. Rumus ini merupakan pengembangan dari prinsip gravitasi dan fisika fluida, serta berhubungan dengan hukum yang ditemukan oleh Blaise Pascal, yaitu Hukum Pascal mengenai tekanan dalam suatu fluida. Berdasarkan rumus tersebut, P adalah tekanan dengan satuan Pa, ρ adalah massa jenis fluida dalam satuan kg/m³, g adalah gaya gravitasi 9.8 m/s², dan h adalah kedalaman fluida dalam satuan meter. Fluida yang digunakan dalam kasus ini adalah air sungai. Dengan mengetahui kedalaman air sungai, dapat diketahui tekanan tersebut dengan menggunakan massa jenis air 1000kg/m³ dan gaya gravitasi 9.8 m/s². Konsep hidrostatis di atas menunjukkan bahwa semakin dalam kedalaman air sungai, maka tekanan yang dihasilkan pada dasar sungai akan semakin besar.

Mekanisme dan Potensi Sensor Tekanan

Kinerja sensor hidrostatis tergolong sederhana, tetapi tingkat efektivitasnya tinggi. Kedalaman maksimal sungai akan diukur terlebih dahulu untuk menentukan batas maksimum yang dapat ditoleransi oleh sensor. Contohnya, kedalaman Sungai Kapuas menurut Popmama yaitu mencapai 27 meter. Besar tekanan hidrostatis Sungai Kapuas dapat dihitung menggunakan persamaan P=ρgh. Sensor tekanan akan diletakkan pada dasar sungai untuk mengukur tekanan air secara langsung. Jika tekanan yang terukur pada sensor melebihi batas yang sudah ditentukan, sistem akan secara otomatis mengirimkan peringatan pada gawai warga sekitar. Selain adanya peringatan melalui gawai, sistem ini juga dilengkapi dengan alarm manual berupa sirine yang dipasang di sekitar sungai dan rumah warga. Hal ini bertujuan sebagai keterlibatan menyeluruh, agar warga yang tidak memiliki gawai tetap mendapatkan peringatan dini. Dengan adanya peringatan berbasis teknologi dan manual, penyebaran informasi menjadi lebih merata dan efektif, serta diharapkan seluruh warga sekitar dapat melakukan evakuasi sebelum banjir melanda. 

Penggunaan sensor tekanan di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar sebagai pendeteksi dini banjir. Hal ini disebabkan oleh sungai di daerah padat penduduk tergolong banyak, sistem pemantauan sungai yang memanfaatkan konsep tekanan yang masih sedikit, dan mendukung penyebaran sistem peringatan dini secara merata dan melibatkan warga lokal. Sungai Ciliwung merupakan sungai yang membelah Jakarta di pesisir barat laut Jawa, sehingga daerah sekitar sungai tersebut rawan banjir akibat kiriman air dari Bogor. Selain itu, PRCF Indonesia menyatakan bahwa daerah di sekitar Sungai Kapuas yang terletak di Kalimantan Barat juga menjadi daerah rawan banjir akibat curah hujan yang tinggi pada saat musim hujan, serta wilayah di bagian hilir Sungai Kapuas yang relatif datar, sehingga pergerakan aliran air dari hulu ke hilir menjadi lambat. Hal ini menyebabkan air membutuhkan waktu yang lama untuk mengalir ke dataran yang lebih rendah ketika debit air pada sungai tersebut meningkat. Daerah padat penduduk tersebut memiliki potensi besar untuk dipasang sensor tekanan karena daerah tersebut masih rawan banjir akibat sistem drainase yang buruk.

Tantangan dan Harapan Sensor Tekanan di Indonesia

Sistem pemantauan sungai saat ini yang masih banyak digunakan yaitu berbasis pelampung, cuaca, dan suhu, sehingga alat-alat tersebut akan kurang akurat untuk digunakan ketika kondisi cuaca sedang ekstrem. Terlebih lagi, sistem yang banyak digunakan saat ini, seperti AWS dan DWS tidak dapat mengukur ketinggian muka air pada waktu yang sebenarnya. Penggunaan sensor tekanan menjadi salah satu solusi terbaik dalam pendeteksi dini banjir karena data yang didapatkan tidak akan bergantung pada gelombang air sungai, sehingga data lebih akurat dan stabil. Selain itu, ketinggian air dapat diketahui warga sekitar sesuai dengan waktu yang sebenarnya karena respons sensor terhadap kenaikan air yang cepat. Sensor ini juga mendukung penyebaran sistem peringatan dini secara merata, termasuk daerah terpencil yang biasanya sedikit bisa dijangkau oleh sistem pengawasan pusat dan melibatkan warga lokal secara langsung. Dengan adanya sensor ini, informasi kenaikan debit air sungai dapat dengan cepat diterima oleh warga sekitar tersebut tanpa harus menunggu data dari pihak pusat.

Dalam mengaplikasikan sensor pendeteksi dini banjir ke dunia nyata tentu memiliki beberapa tantangan. Contohnya, sensor AWS yang diresmikan pada tahun 2004 oleh BMKG. Sensor ini masih memiliki kekurangan untuk mendeteksi ketinggian air sungai karena bergantung pada curah hujan, suhu, dan kelembaban. Demikian pula, pengaplikasian sensor tekanan memiliki tantangan dalam ketahanan alat dan pemeliharaannya. Sensor ini akan dipasang di dasar sungai, sehingga alat ini harus tetap berada di dasar sungai pada saat cuaca sedang ekstrem. Jika perancangan alat ini tidak baik, kemungkinan alat mengalami kerusakan atau data yang tidak akurat menjadi besar. Selain itu, alat ini harus dikalibrasi secara berkala untuk memastikan bahwa data yang didapat akurat, sehingga tidak menyebabkan berbunyinya alarm palsu atau deteksi debit air yang terlambat. Tantangan lainnya adalah biaya pemasangan yang relatif mahal untuk produksi massal, pemasangan alat, dan penghubung antara sensor dengan sistem peringatan. Terlebih lagi, tidak semua warga sekitar mengetahui cara kerja sensor tekanan ini atau pentingnya untuk diberi sistem peringatan dini pada sungai. Rendahnya partisipasi aktif masyarakat dalam inovasi alat ini dapat menyebabkan menurunnya efektivitas sensor. 

Inovasi sensor tekanan menggunakan konsep hidrostatis memiliki peluang yang besar sebagai pendeteksi dini banjir di Indonesia, terutama di daerah yang rawan banjir. Alat ini dapat mengukur tekanan pada air sungai secara langsung tanpa terganggu oleh cuaca ekstrem. Dengan perkembangan teknologi, sensor tekanan ini dapat menghasilkan data dan peringatan yang akan diumumkan lewat gawai dan alarm manual berupa sirine di daerah sekitar rumah warga atau sungai. Ke depannya, diharapkan masyarakat Indonesia dapat turut berpartisipasi aktif dalam proses pengaplikasian sensor ini dengan menerima edukasi alat sensor yang diberikan, sehingga warga yang tidak atau memiliki gawai dapat menerima peringatan secara cepat dan melakukan evakuasi dini. Selain itu, alat sensor harus terus diperhatikan pemeliharaannya agar tetap dapat bekerja secara efektif dalam jangka panjang. Dengan demikian, kerugian akan kerusakan atau kehilangan barang berharga dan korban akibat banjir dapat berkurang, sehingga masyarakat lebih merasa aman dan kesejahteraan hidup meningkat.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//