MAHASISWA BERSUARA: Penulisan Ulang Sejarah Nasional dalam Bayang-bayang Novel 1984
Novel 1984 karya George Orwel menceritakan cara rezim yang berkuasa menghapus masa lalu dan merekayasa sejarah demi tafsir tunggal sejarah oleh negara.

Erza Heksa Arifin
Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Udayana Bali
4 Juni 2025
BandungBergerak.id – Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam wawancaranya dengan wartawan pada 5 Mei 2025 menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah nasional yang diinisiasi Kementerian Kebudayaan masih dalam tahap penyusunan dan diperkirakan rampung pada perayaan HUT RI yang ke-80 tahun, tepatnya pada 17 Agustus 2025. Meskipun banyak sejarawan profesional yang diklaim terlibat, tampaknya banyak pula pihak-pihak yang menolak dengan keras wacana pemerintah ini.
Salah satu yang menentang wacana penulisan ulang sejarah nasional ini adalah Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI). Dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi X DPR pada 19 Mei 2025, AKSI menyampaikan lima alasan penolakan rencana penulisan ulang sejarah nasional. Lima butir keberatannya adalah (1) Rekayasa masa lalu, (2) Alat legitimasi kekuasaan politik, (3) Ancaman Totalitarianisme historis, (4) Pengkhianatan terhadap kerakyatan, dan (5) Ancaman penggelapan sejarah.
Keberatan AKSI dan beberapa pihak lain atas penulisan ulang sejarah nasional ini bisa dimaklumi sebagai kekhawatiran yang diperlukan. Official History atau Sejarah Resmi seperti yang disebut Fadli Zon sebagai menteri dan juga penanggung jawab rencana penulisan ulang sejarah nasional ini tampaknya harus dicermati dengan kesadaran yang matang dan jauh dari kenaifan. Istilah “Sejarah Resmi” saja sudah mengandung makna dan konotasi yang menyeramkan. Coba bayangkan, rekonstruksi masa lalu yang bermuara pada historiografi (penulisan sejarah) hanya bertumpu pada satu pihak dan validitasnya diklaim oleh pihak itu sendiri. Meskipun Fadli Zon menyatakan bahwa 100 sejarawan profesional terlibat dalam proyek ambisius ini, hal ini tidak bermakna apa-apa selain daripada hilangnya “martabat” para sejarawan yang terlibat. Keterlibatan para sejarawan ini merupakan bentuk kekonyolan dan bentuk perilaku tidak etis yang mengebiri proses diskursif dalam dialektika sejarah.
Wacana pemerintah ini bisa dihubungkan ke sebuah novel fenomenal yang ditulis oleh George Orwell (Eric Arthur Blair) berjudul 1984. Novel yang menggambarkan dunia distopia yang brutal dan mengerikan ini termaktub di dalamnya unsur-unsur kontrol kebebasan berekspresi yang salah duanya adalah penghapusan masa lalu dan rekayasa sejarah oleh rezim yang berkuasa. Dalam konteks novel ini, pemerintah adalah partai yang disebut INGSOC.
Kementerian Kebenaran = Kementerian Kebudayaan?
Winston Smith yang merupakan karakter utama dari novel 1984 diceritakan bekerja di Ministry of Truth dan termasuk di dalam Records Department (Departemen Arsip). Tugasnya adalah menulis kembali sejarah yang dianggap oleh otoritas yang lebih tinggi sebagai sebuah hal yang salah atau bahkan “tidak pernah ada” dengan menulis ulang narasi artikel surat kabar tersebut setelah sebelumnya dihanguskan. Salah satunya pada Bagian 1, Bab 4 novel disebutkan ketika Winston ditugaskan untuk mengubah suatu artikel dengan surat perintah berisi: “times 3.12.83 reporting bb dayorder doubleplusungood refs unpersons rewrite fullwise upsub antefiling” –kalimat ini menggunakan tata bahasa baru dalam dunia tersebut yang disebut sebagai Newspeak. Dilanjutkan penjelasan dari perintah tersebut dalam bahasa Inggris tradisional yang berbunyi: The reporting of Big Brother's Order for the Day in The Times of December 3rd 1983 is extremely unsatisfactory and makes references to non-existent persons. Rewrite it in full and submit your draft to higher authority before filing. Jika diterjemahkan, kalimat tersebut berarti: “Pemberitaan mengenai Kilasan Peristiwa Hari Ini dari Big Brother dalam Times edisi 3 Desember 1983 sangat tidak memuaskan dan menyebut-nyebut orang-orang yang tidak ada. Tulis ulang seluruhnya dan serahkan draf kepada pejabat yang lebih senior sebelum diarsipkan.”
Di sini Winston menyadari bahwa seseorang telah di-unpersonkan atau dihilangkan eksistensinya. Seperti yang telah disebutkan, tugas Winston adalah menulis ulang (rewrite) artikel yang telah terbit beberapa tahun lalu dengan menghilangkan nama yang semula disebutkan dalam artikel. Unperson atau lenyapnya seseorang bisa diakibatkan karena terduga melakukan korupsi atau bahkan sekadar dituduh bersengongkol dengan pengkhianat atau musuh. Ministry of Truth adalah nama yang kontradiktif dengan hal-hal yang dikerjakan di dalamnya. Bukannya kebenaran, kebohongan ditimpakan terus-menerus hingga kenyataan yang objektif dianggap kabur dan bahkan tidak pernah ada. Namun, hingga suatu masa semua kebohongan akan dianggap juga sebagai kebenaran. Kebenaran yang ditentukan oleh partai dan rezim. Kebenaran yang tidak pernah benar. Mengerikan.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mengkritisi Usulan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Sekolah Gagal Memberikan Makna pada Reformasi
MAHASISWA BERSUARA: Karena Kabupaten Bekasi Tidak Sekadar Daerah Industri
Paralelisme dengan Penulisan Ulang Sejarah Nasional
Dilansir dari Tempo.co, penulisan ulang sejarah nasional ini akan ditulis secara kolektif dan berbuah 10 jilid dengan tujuan meningkatkan rasa nasionalisme dan cinta akan tanah air. Selalu saja dalih “nasionalisme” dan “cinta tanah air” digunakan untuk melindungi keputusan yang bersifat statis dan eksklusif. Hal yang hampir sama tercermin di dalam novel 1984 saat partai selalu mendoktrin warganya untuk tetap membenci musuh dan mengagungkan Big Brother sebagai model panutannya dalam sesi Two Minutes Hate (Kebencian Dua Menit) yang dilakukan setiap hari saat pukul sebelas pagi. Two Minutes Hate adalah strategi jitu partai untuk tetap mempertahankan loyalitas anggota partai untuk tetap tunduk pada kekuasaan partai dan senantiasa berpikir bahwa apa yang diminta partai darinya harus dilakukan karena itu semua demi kepentingan partai dan demi sang pemimpin yang maha hebat, Big Brother.
Meski membandingkan dua hal di atas –penulisan ulang sejarah nasional dan fanatisme terhadap Big Brother– merupakan hal yang berlebihan, ketidakhatihatian dan kecerobohan pemerintah dalam menggunakan narasi nasionalisme dan kebangsaan akan menimbulkan malapetaka yang serius.
Beralih ke “rekayasa sejarah,” pada Bagian 1, Bab 4 novel disebutkan pula tata cara rezim INGSOC menambal sejarah dan memalsukannya tanpa malu. Winston memahami cara kerja pemalsuan kebenaran sejarah ini dengan cara: Arsip asli akan dikoreksi lalu ditata dengan baik dan rapi. Setelah semuanya matang, dokumen asli akan dihanguskan dan digantikan dengan yang baru. Selain surat kabar, dokumen lain seperti buku, poster, film akan disesuaikan terus-menerus sesuai kebutuhan dan permintaan otoritas partai. Setiap saat, setiap waktu, sejarah diperbarui terus-menerus hingga begitu mustahil membuktikan bahwa sejarah pernah dipalsukan. Pada halaman 53 novel versi terbitan Norris Classics tertulis: “All history was palimpsest, scraped clean and reinscribed exactly as often as was necessary”.
Penulisan ulang sejarah nasional yang dikepalai pemerintah bisa membawa petaka yang sama. Ketika pergolakan yang seharusnya terjadi di antara tesis dan antitesis oleh para sejarawan dikolektifkan dan dijadikan satu dan memutus rantai dialektika yang sehat, hasil yang didapat adalah penulisan sejarah tunggal yang berdiri tegak seperti balok kaca. Fondasinya terlihat kokoh, namun rentan untuk hancur karena dibiarkan mati akibat terkungkungnya fakta sejarah dari argumentasi baru dan temuan baru sejarah jika penulisan ulang sejarah nasional telah rampung.
Saran Kritis
Potensi yang terlampau seram untuk dibayangkan mungkin saja akan benar-benar terjadi jika akademisi khususnya di bidang sejarah meleburkan dirinya tanpa berpikir dua kali dan tanpa tahu malu ke dalam rencana ambisius nan mencurigakan dari rezim berkuasa saat ini. Meskipun George Orwell bermaksud mengkritik habis-habisan negara dan sistem sosialis/komunis pada masa itu, novel 1984 bisa relevan di mana saja ketika kekuasaan dari penguasa menjalar tidak tahu aturan untuk mendobrak batas-batas demokrasi dan kebebasan.
Sejarah harus dipahami sebagai fragmen-fragmen yang tidak akan pernah utuh karena bukti atas dirinya bisa tersimpan di masa yang akan datang dan belum dijamah oleh siapa pun. Jika rencana penulisan ulang sejarah nasional ini terus berlanjut dan selesai, menerima kritik dan tesis yang bertentangan dari alternatif lain adalah suatu keniscayaan. Namun, jika pemerintah menolak segala macam diskusi akademik yang sehat dan tajam lalu mengukuhkan bahwa kebenaran tidak bisa diubah, maka tamatlah riwayat penulisan sejarah yang objektif dan kritis. Tamatlah pula negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi ini.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara