• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: FOMO dan Kehidupan yang Terlihat Sempurna, Realitas atau Ilusi?

MAHASISWA BERSUARA: FOMO dan Kehidupan yang Terlihat Sempurna, Realitas atau Ilusi?

Media sosial membentuk lanskap digital yang menampilkan potongan-potongan kehidupan orang lain yang tampak ideal dan sempurna.

Dwi Jalu Abrar Dzaudan

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Dunia digital dan pengaruh media sosial tak terpisahkan di era perkembangan teknologi saat ini. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

12 Juni 2025


BandungBergerak.id – Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk cara berinteraksi, berkomunikasi, dan membentuk identitas sosial. Media sosial, sebagai produk utama era digital, telah menjadi ruang publik baru tempat individu mengekspresikan diri, membangun jejaring sosial, dan memperoleh informasi dalam waktu yang sangat cepat. Namun, di balik kemudahan akses dan keterbukaan informasi tersebut, terdapat konsekuensi psikologis dan sosial yang tak dapat diabaikan (Funan dkk., 2025). Salah satunya adalah kemunculan fenomena Fear of Missing Out (FOMO), yaitu perasaan cemas atau takut ketika seseorang merasa tertinggal dari informasi, tren, atau aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.

FOMO bukan hanya sekadar istilah populer yang digunakan di kalangan generasi muda, tetapi telah menjadi indikator dari perubahan mendasar dalam pola perilaku masyarakat modern. Fenomena ini muncul seiring meningkatnya intensitas penggunaan media sosial yang menyajikan kehidupan orang lain secara visual dan selektif (Sabila & Tawaqal, 2025).

Tren viral, tantangan daring, serta gaya hidup yang dipopulerkan oleh figur publik di dunia maya menambah kompleksitas tekanan sosial yang dirasakan oleh pengguna. Individu yang tidak ikut serta dalam arus tersebut kerap kali merasa terpinggirkan, kehilangan koneksi sosial, bahkan mengalami krisis identitas. Situasi ini diperparah oleh algoritma media sosial yang secara sistematis menyajikan konten viral dan unggahan yang banyak mendapatkan respons, sehingga pengguna terus-menerus terpapar pada informasi yang memicu rasa tertinggal (Hidayati & Nasution, 2025).

Dampak dari FOMO tidak hanya terbatas pada ranah sosial, tetapi juga merambah pada aspek psikologis dan ekonomi. Banyak orang mengambil keputusan konsumtif, menghadiri suatu acara, atau mengikuti tren tertentu bukan karena kebutuhan nyata, melainkan sebagai bentuk respons terhadap tekanan sosial digital. Lebih jauh, dorongan untuk selalu tampil dan terlibat dalam tren menimbulkan kelelahan emosional, kecemasan, bahkan penurunan harga diri. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat berujung pada gangguan kesehatan mental yang serius. FOMO merupakan konstruksi sosial yang semakin menguat seiring perkembangan media digital. Tren viral menyebar dengan cepat melalui berbagai platform, didorong oleh algoritma yang secara sistematis membentuk preferensi pengguna. Selebritas digital turut memperkuat budaya ikut-ikutan, menciptakan tekanan sosial untuk selalu terhubung dan mengikuti arus. Fenomena ini berdampak pada perilaku, pengambilan keputusan, serta kondisi mental individu, memunculkan kecemasan dan rasa tidak cukup.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Penulisan Ulang Sejarah Nasional dalam Bayang-bayang Novel 1984
MAHASISWA BERSUARA: Inovasi Sensor Hidrostatis sebagai upaya Deteksi Dini Terjadinya Banjir, Sebuah Konsep Fisika
MAHASISWA BERSUARA: Di Balik Riuh Pendidikan Jatinangor

Algoritma Media Sosial

Di tengah gempuran konten viral, otonomi manusia dalam membuat pilihan dipertanyakan. Platform digital memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ruang maya yang sehat dan etis. Pemahaman kritis terhadap dinamika budaya populer, pengendalian diri, dan literasi digital menjadi kunci agar individu tidak kehilangan jati diri dalam arus digitalisasi yang mengarahkan perilaku secara masif dan sistematis.

Fenomena Fear of Missing Out tidak lahir dari kekosongan budaya, melainkan berakar kuat pada naluri manusiawi yang menginginkan pengakuan dan penerimaan sosial. Sejak dahulu, keberadaan seseorang dalam kelompok sangat bergantung pada sejauh mana individu tersebut mampu terlibat dalam dinamika sosial yang berlangsung di sekitarnya. Kebutuhan akan validasi eksternal ini semakin menguat saat media sosial hadir sebagai ruang baru yang memungkinkan perbandingan sosial terjadi secara masif dan simultan. Media sosial membentuk lanskap digital yang menampilkan potongan-potongan kehidupan orang lain yang tampak ideal dan sempurna. Melalui unggahan yang dikurasi sedemikian rupa, individu menyaksikan kehidupan yang tampaknya dipenuhi pencapaian, kebahagiaan, serta gaya hidup mewah (Darmayanti dkk., 2023). Representasi tersebut menimbulkan persepsi keliru bahwa semua orang tengah menikmati hidup secara maksimal, sehingga siapa pun yang tidak ikut serta dianggap tertinggal. 

Namun, yang membuat tren viral bertahan bukan semata-mata karena kontennya menarik, melainkan karena dukungan sistem digital yang mengatur peredaran informasi secara selektif. Algoritma platform media sosial dirancang untuk mempromosikan konten yang mendapatkan banyak respons, baik berupa suka, komentar, maupun dibagikan ulang. Konten yang memenuhi kriteria tersebut akan terus muncul di lini masa pengguna lain, memperbesar kemungkinan ia menjadi fenomena global dalam waktu singkat (Aji dkk., 2025). Maksudnya adalah suatu tren viral di media sosial tidak terjadi karena kontennya menarik, tetapi juga karena dukungan dari sistem teknologi digital, khususnya algoritma media sosial.

Di balik tampilan lini masa yang terlihat acak dan personal, terdapat sistem algoritma yang bekerja secara presisi untuk menyajikan konten sesuai preferensi pengguna. Algoritma media sosial tidak hanya mencerminkan kebiasaan digital individu, tetapi juga membentuknya melalui penguatan konten tertentu. Ketika suatu tren mendapatkan perhatian besar, sistem akan menyorongkannya lebih luas kepada pengguna lain, tanpa mempertimbangkan relevansi konten tersebut terhadap kebutuhan aktual pengguna. Hal ini menciptakan siklus yang memperkuat arus utama tren digital. Semakin populer sebuah konten, semakin sering ia muncul di layar pengguna. Banyak dari konten yang mereka bagikan secara implisit mengandung pesan bahwa partisipasi dalam tren tertentu merupakan bentuk aktualisasi diri. Pesan semacam ini memperkuat anggapan bahwa keterlibatan dalam tren merupakan bagian dari norma sosial baru yang seolah wajib dipatuhi.

Pentingnya Literasi Digital

Dalam realitas ini, individu yang tidak mengikuti tren akan merasa tertinggal, bahkan terasing dari lingkungan sosialnya, meskipun tren tersebut tidak memiliki nilai substansial bagi kehidupannya (Namira dkk., 2024). Perasaan tertinggal menjadi sumber utama keresahan, terutama ketika individu merasa bahwa dirinya tidak mampu memenuhi standar yang ditampilkan orang lain. Akumulasi tekanan semacam ini dapat mengikis rasa percaya diri serta merusak keseimbangan mental yang semestinya dijaga (Ulfa, 2024). Pertanyaan fundamental yang muncul dalam diskursus mengenai FOMO adalah sejauh mana individu masih memiliki kendali atas keputusan hidupnya sendiri?

Ketika arus digital mendorong seseorang untuk selalu mengikuti tren, terjadi pengikisan terhadap kesadaran akan motivasi pribadi. Banyak dari keputusan yang diambil bukan berdasarkan pertimbangan nilai, kebutuhan, atau tujuan jangka panjang, melainkan karena dorongan untuk tidak terlihat berbeda dari mayoritas (Fitri dkk., 2024). Ketika pola ini terus berlangsung, manusia mulai kehilangan otonomi dalam menentukan arah hidupnya. Edukasi literasi digital, pengembangan fitur pengendalian waktu layar, serta transparansi algoritma merupakan langkah konkret yang dapat diambil untuk menciptakan ruang digital yang lebih sehat dan manusiawi (Rasanty, 2022). Kutipan ini menyampaikan dampak negatif dari sistem digital dan algoritma yang terus menerus mempengaruhi kebiasaan pengguna media sosial. Ketika orang-orang terlalu sering menonton konten yang ditentukan oleh algoritma, mereka bisa kehilangan kebebasan dalam memilih apa yang ingin dilihat atau dilakukan. Akibatnya, arah hidup mereka pun bisa dipengaruhi oleh tren-tren digital tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, penulis menyarankan beberapa solusi, yaitu: edukasi literasi digital, fitur pengendalian waktu layar, serta transparansi algoritma.

Dalam menghadapi realitas digital yang serba cepat dan sarat tekanan sosial, individu perlu membangun kesadaran kritis terhadap pengaruh media sosial terhadap pola pikir dan perilakunya. Media sosial tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi dan hiburan, tetapi juga sebagai ruang konstruksi identitas yang dapat membentuk persepsi diri serta mempengaruhi pengambilan keputusan secara tidak disadari. Oleh karena itu, penting bagi setiap orang untuk senantiasa melakukan refleksi diri atas keterlibatannya dalam berbagai tren yang muncul di ruang maya. 

Refleksi ini meliputi kemampuan untuk memilah mana informasi atau tren yang benar-benar relevan dan memberikan nilai manfaat, serta mana yang hanya bersifat artifisial dan berpotensi menimbulkan tekanan emosional. Kesadaran terhadap pengaruh eksternal harus diimbangi dengan keberanian untuk menolak arus yang tidak sesuai dengan nilai pribadi maupun kebutuhan aktual. Dalam konteks ini, pengendalian diri bukan semata-mata menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi algoritma dan tekanan budaya digital yang seringkali menihilkan keaslian identitas manusia.

Fenomena Fear of Missing Out serta tren viral merupakan bagian tak terelakkan dari kehidupan digital kontemporer. Keduanya tumbuh subur di atas fondasi teknologi yang memungkinkan penyebaran informasi secara masif dan cepat, serta diperkuat oleh algoritma dan figur publik yang mendikte arah perhatian publik. Meskipun demikian, keberadaan fenomena ini tidak berarti bahwa individu harus menyerah pada arus dan kehilangan kendali atas kehidupannya sendiri. Kesadaran kolektif mengenai dampak FOMO terhadap perilaku, konsumsi, dan kesehatan mental perlu dibangun melalui edukasi literasi digital serta pembiasaan terhadap refleksi personal.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//