• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Regulasi Impor Longgar, Industri Pakaian Lokal Kian Terjepit oleh Produk Asing Murah

MAHASISWA BERSUARA: Regulasi Impor Longgar, Industri Pakaian Lokal Kian Terjepit oleh Produk Asing Murah

Pasar pakaian Indonesia kini dibanjiri oleh produk asing murah yang menyerbu hampir semua lini distribusi, dari pasar tradisional hingga platform digital.

Justyn Tjahjadi

Mahasiswa Program Studi Administrasi Bisnis Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Pekerja mengoperasikan mesin tenun tua buatan tahun 1950 di Ibun, Kabupaten Bandung, 10 Juli 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

20 Juni 2025


BandungBergerak.id – Sejak pakaian murah dari luar negeri membanjiri pasar, pelanggan mulai berkurang. Tak hanya kalah harga, baju-baju lokal itu pun sering kali dianggap kalah kualitas. Padahal, di balik tiap jahitan, ada tenaga kerja lokal yang menggantungkan hidupnya. Ini bukan sekadar soal persaingan dagang, tapi tentang keadilan dalam bermain di lapangan yang setara.

Pasar pakaian Indonesia kini dibanjiri oleh produk asing murah yang menyerbu hampir semua lini distribusi, dari pasar tradisional hingga platform digital. Tekanan ini tidak main-main: pelaku industri lokal harus bertarung di tengah situasi yang timpang, di mana produk impor bisa dijual dengan harga lebih rendah daripada biaya produksi dalam negeri.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa nilai impor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada Februari 2025 mencapai 606,8 juta dolar AS. Meski angkanya menurun dibanding Januari 2025, dominasi produk impor masih terasa kuat dibanding Februari 2024, mengingat total impor nasional justru naik 2,3 persen dari tahun sebelumnya. Di tengah gempuran ini, pelaku industri lokal semakin terjepit karena regulasi pemerintah yang longgar mulai dari lemahnya pengawasan barang impor, ketidakadilan penerapan standar mutu, hingga kebijakan bea masuk yang tidak konsisten.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Ketika Kekerasan Seksual pada Tragedi Mei 1998 Dianggap Hanya Cerita
MAHASISWA BERSUARA: Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Strategi Membangun Sumber Daya Manusia yang Berkualitas di Papua
MAHASISWA BERSUARA: Narasi, Negosiasi Kuasa, dan Politik dalam Bingkai Kamera

Pakaian Bekas Ilegal dan Tekstil Murah

Produk pakaian bekas ilegal dan tekstil murah terus masuk ke Indonesia tanpa hambatan berarti, bahkan saat Kementerian Perdagangan memperpanjang masa kerja Satgas Pengawasan Barang Impor Ilegal hingga 2025. Perpanjangan ini memang menunjukkan keseriusan pemerintah, namun efektivitas satgas masih diragukan karena data di lapangan menunjukkan barang ilegal tetap membanjiri pasar. Di Cigondewah, salah satu sentra tekstil di Bandung, para pelaku usaha kecil mengeluhkan sulitnya bersaing dengan baju impor yang dijual di bawah harga modal. “Kami harus patuh pada aturan SNI dan bayar pajak, tapi yang ilegal malah bebas keluar masuk,” ujar seorang pemilik toko kecil.

Sementara pelaku usaha lokal harus mematuhi regulasi ketat dan menanggung biaya produksi tinggi, produk impor baik legal maupun ilegal masuk dengan mudah dan tanpa standar yang sama. Menurut laporan Kementerian Perindustrian tahun 2024, pelaku industri tekstil lokal menghadapi tekanan berat akibat masuknya produk impor ilegal yang merusak harga pasar dan mengancam keberlangsungan usaha mereka. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa lemahnya pengawasan bukan hanya celah administratif, tapi menjadi ancaman langsung terhadap keberlangsungan industri lokal.

Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) juga masih sangat timpang. Berdasarkan laporan Kementerian Perindustrian 2024, hanya sekitar 20 persen  produk tekstil impor yang diawasi pemenuhan SNI-nya secara menyeluruh. Sementara produk lokal wajib memenuhi SNI sebelum bisa dijual, produk impor sering kali lolos dari kewajiban ini karena lemahnya pengawasan di pelabuhan dan keterbatasan sumber daya. Akibatnya, produk lokal yang telah memenuhi standar kualitas dan keamanan tidak dihargai di pasar karena bersaing dengan barang yang masuk tanpa uji mutu. Ketimpangan ini membuat produk lokal tampak mahal, padahal masalah utamanya ada pada longgarnya pengawasan terhadap impor.

Masalah lainnya adalah kebijakan bea masuk yang berubah-ubah seperti kompas rusak. Dalam laporan INDEF tahun 2024, disebutkan bahwa kebijakan tarif impor pakaian mengalami perubahan hingga tiga kali dalam satu tahun, tanpa koordinasi yang memadai dengan pelaku industri. Perubahan tarif secara mendadak, terkadang tanpa pengumuman yang layak, membuat pelaku usaha lokal kesulitan menyusun strategi bisnis jangka panjang. Ketika bea masuk diturunkan tiba-tiba, produk asing langsung membanjiri pasar dengan harga rendah, memaksa produsen lokal menurunkan harga atau berhenti berproduksi. Kondisi ini menciptakan iklim usaha yang tidak stabil dan berisiko tinggi bagi keberlangsungan industri pakaian lokal.

Untuk membalikkan keadaan, pemerintah perlu melakukan evaluasi total terhadap kebijakan impornya. Pengawasan barang masuk harus diperkuat, baik dari sisi legalitas maupun kualitas, agar produk asing tidak mendominasi pasar secara tidak adil. Penerapan SNI harus dilakukan secara menyeluruh dan adil, sehingga masyarakat mendapatkan produk yang bermutu dan pelaku usaha lokal tidak dirugikan. Selain itu, kebijakan tarif bea masuk harus dirumuskan dengan pertimbangan jangka panjang dan melibatkan pelaku industri sebagai mitra diskusi. Dengan reformasi regulasi yang konsisten dan berpihak pada keadilan usaha, industri pakaian lokal bisa bangkit dan berkontribusi lebih besar pada perekonomian nasional.

Pada akhirnya, ini bukan hanya soal kain, benang, atau angka statistik. Ini tentang keberlangsungan ribuan keluarga yang menggantungkan hidupnya di industri tekstil lokal. Jika kita terus membiarkan pasar dipenuhi produk asing tanpa batas, bukan hanya industri yang mati, tapi juga harapan dan martabat pelaku usaha kecil yang selama ini menopang ekonomi negeri secara diam-diam.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//