• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Membayangkan Warga Desa Mengepung Kota

MAHASISWA BERSUARA: Membayangkan Warga Desa Mengepung Kota

Sudah seharusnya hubungan kota dan desa saling memberikan kemanfaatan bagi kedua belah pihak.

Khanan Saputra

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Ilustrasi. Negara demokrasi mesti mendengar aspirasi rakyat. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

20 Juni 2025


BandungBergerak.id – Desa dan kota seharusnya menjadi wilayah yang saling terhubung dan saling memberikan kemanfaatan. Tetapi, hal ini juga bisa sebaliknya, di mana kota dan desa masih dikatakan terhubung tetapi kemanfaatan hanya diraih oleh salah satu pihak saja. Sebelum lebih lanjut, penting di awal tulisan untuk memberikan penegasan siapa yang dimaksud orang kota dan warga desa. Sebab, hal ini akan menggarisbawahi perihal permasalahan kota dan desa.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Ketika Kekerasan Seksual pada Tragedi Mei 1998 Dianggap Hanya Cerita
MAHASISWA BERSUARA: Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Strategi Membangun Sumber Daya Manusia yang Berkualitas di Papua
MAHASISWA BERSUARA: Narasi, Negosiasi Kuasa, dan Politik dalam Bingkai Kamera

Siapa Orang Kota dan Siapa Warga Desa?

Tak bisa dipungkiri, orang kota memang banyak yang berasal dari warga desa. Hal ini dikarenakan tidak adanya akses lapangan pekerjaan yang sering membuat siklus warga desa pasca lulus sekolah pergi ke perkotaan untuk mencari penghidupan. Namun, yang dimaksud “orang kota” dalam tulisan ini bukanlah mereka yang berasal dari desa kemudian pergi untuk mencari lapangan pekerjaan tanpa pandangan politis apa pun. “Orang kota” dalam tulisan ini ialah menyasar orang-orang yang memiliki pengaruh dalam setiap gerakannya terhadap warga desa itu sendiri, dalam hal ini katakanlah politisi; kaki tangan perusahaan; dan orang-orang yang bisa membuat kebijakan yang kebijakan itu mampu berdampak terhadap warga desa. Tak bisa dipungkiri, warga desa adalah orang yang bergelut dengan kehidupannya dan mengalami dampak yang tak kecil dari kebijakan orang-orang kota itu.

Warga desa yang hidupnya sebagai buruh tani, nelayan, pekerja lepas tak menentu, dan lain sebagainya, ialah orang-orang yang merasakan kebijakan itu semua tanpa banyak memprotes. Warga desa terlihat selalu diam bukan karena ia merasakan kenikmatan, terkadang diam yang dirasakannya ialah mengandung banyak amarah yang dipendam dan masih belum tahu caranya meluapkan amarah tersebut. Kesusahan dalam meluapkan amarah tersebut juga karena warga desa harus disibukkan dengan perihal penghidupannya, di mana warga desa hanya berpraktik kehidupan agar besok bisa makan saja itu sudah syukur, sehingga jika ia melakukan aktivitas berpikir tanpa adanya logistik, maka hal itu sama saja akan membunuh fisiknya. Sehingga hal itu juga membentuk kultur di mana warga desa hanya menggantungkan harapannya terhadap orang yang dianggap mampu, katakan saja dalam hal ini mahasiswa.

Mahasiswa kerap digantungkan harapan dari warga desa agar bisa memprotes kota ketika kondisi desa sedang terdesak. Dalam hal ini, mahasiswa memang memiliki posisi yang strategis, di mana mahasiswa bisa bergerak tanpa harus berpikir besok harus menyiapkan logistik apa untuk dirinya, sebab kebanyakan mahasiswa perihal logistik dibantu oleh orang tuanya. Sehingga menjadi konsekuensi logis ketika konsolidasi dan aksi di kota didominasi oleh gerakan mahasiswa, dibanding dengan warga desa yang dirinya benar-benar merasakan dampak dari kebijakan yang dikeluarkan oleh orang-orang kota. Walaupun demikian, amarah sendiri seperti bom waktu yang tak ada yang tahu kapan itu akan meledak. Ketika kondisi semakin hari semakin memojokkan desa, maka amarah warga desa akan lebih cepat meledak, dan juga sebaliknya ketika desa diberikan kondisi yang layak, maka ledakan itu juga akan meredam.

Warga Desa Mendominasi Konsolidasi dan Aksi Kota

Konsolidasi dan aksi demonstrasi di kota saat ini masih kerap didominasi oleh sektor gerakan mahasiswa. Warga desa yang merasakan langsung kebijakan dari orang-orang kota masih jarang hadir dalam konsolidasi dan aksi kota. Padahal, warga desa ialah manusia yang menghidupi kota dengan berbagai sumber daya yang ada di desa, seperti persawahan, peternakan, pertanian, dan lain sebagainya.

Berharap mendapatkan kemanfaatan yang seimbang, justru warga desa berbanding sebaliknya, warga desa diberikan kebijakan dari orang-orang kota yang tak berpihak pada warga desa. Ketika kondisi semakin memojokkan desa, maka hal ini juga bisa mempercepat gerak warga desa untuk meluapkan amarah. Dalam hal meluapkan amarah, memang ada dua pemantik, entah itu karena kondisi yang semakin terdesak sehingga kesadaran politik menjadi naik ataupun ada yang memantik kesadaran warga desa untuk bergerak, dua pemantik ini tak ada yang tahu seperti apa warga desa menjadi tergerak menuju ke kota. Warga desa tergerak menuju ke kota bukan untuk mencari pekerjaan seperti sebelumnya, namun kali ini untuk mengepung kota dan menghajar kebijakan yang menindas warga desa. Melihat kebijakan yang tak berpihak pada warga desa serta melihat ketidakpercayaan warga desa terhadap gerakan mahasiswa.

Gerakan mahasiswa yang perputarannya kian terbaca bisa menjadi pemantik warga desa untuk mendominasi konsolidasi dan aksi kota, sebab gerakan mahasiswa berulang kali hanya akan menciptakan politisi semata yang nantinya juga akan mengeluarkan kebijakan yang tak berpihak pada warga desa. Mahasiswa yang awalnya kerap kali vokal, lambat laun ketika lulus dari perkuliahan juga memiliki tujuan untuk memperoleh jabatan di kota. Hal ini ketika terus-menerus terjadi, maka warga desa yang merasakan kebijakan itu secara langsung akan bergegas dan bersiap-siap untuk menuju kota. Obrolan-obrolan ringan di warung kopi desa akan sementara beralih menjadi obrolan konsolidasi dan teknis lapangan aksi di kota. Di saat seperti itu, warga desa akan menjadi mendominasi diskusi konsolidasi dan aksi di perkotaan, mahasiswa mungkin hanya akan menjadi faktor pendukung saja, bukan lagi menjadi faktor utama penyelenggara konsolidasi dan aksi kota. Ketika konsolidasi dan aksi kota sudah didominasi oleh orang-orang yang merasakan langsung dari setiap jengkal kebijakan politik, maka di sini akan menjadi konsekuensi logis gerakan aksi yang ada menjadi jauh melompat tinggi memanas. Amarah yang terbawa secara psikologis lebih matang dibanding dengan mahasiswa yang belum merasakan langsung dari setiap kebijakan politik yang ada.

Pengepungan kota oleh warga desa ini menjadi sesuatu yang sangat mencekam, namun juga bisa menjadi sesuatu harapan untuk perubahan. Karena langsung mengalami ketertindasan yang nyata dari kekuasaan orang-orang kota, pergerakan warga desa akan menjadi benar-benar gerakan yang dahsyat. Amarah dendam atas ketertindasan ini membuat gerakan lebih matang hingga lebih bisa menaruh fokus yang lebih tinggi dibanding dengan gerakan sebelumnya yang tak jarang dengan mudah kabur fokusnya terhadap suatu tujuannya setelah aksi dilancarkan, karena aksi hanya seperti dianggap euforia semata. Kedahsyatan amarah ini benar-benar menjadi hal yang masuk akal, dan seharusnya menjadi pengingat bagi penguasa orang-orang kota. Terlebih, di masa lalu Indonesia sudah pernah meletus Peristiwa Tiga Daerah yang melibatkan wilayah Brebes, Tegal, dan Pemalang tahun 1945. Saat itu, Peristiwa Tiga Daerah terjadi saat rakyat tak puas dengan kebijakan para penguasa, sehingga rakyat melakukan aksi kekerasan, penganiayaan, hingga pembunuhan yang menyasar pada para pemegang kekuasaan serta elite ekonomi yang menindas rakyat. Dengan demikian, sudah seharusnya hubungan kota dan desa saling memberikan kemanfaatan bagi kedua belah pihak agar pengepungan kota yang membawa amarah dahsyat dari warga desa bisa dihentikan.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//