MAHASISWA BERSUARA: Belajar dari Kegagalan Program Tempat Parkir Elektronik di Kota Bandung
Keberadaan Tempa Parkir Elektronik (TPE) berakhir sebagai pajangan berdebu yang gagal dimanfaatkan.

Bintang Naiyzella Hega
Mahasiswa Program Studi Administrasi Publik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
27 Juni 2025
BandungBergerak.id – Keberadaan Tempat Parkir Elektronik (TPE) di Kota Bandung mangkrak akibat minimnya pemahaman warga terhadap bagaimana cara menggunakan mesin tersebut. Padahal, program TPE di Kota Bandung yang dimulai tahun 2017 pada era Ridwan Kamil saat menjadi wali kota, ditujukan sebagai solusi menata kawasan parkir sekaligus meningkatkan pendapatan daerah.
Terdapat 445 unit TPE yang tersebar di 57 ruas jalan, namun berdasarkan riset yang ditulis oleh Rachmawati dan Fitriyanti (2021), sebanyak 46,5 persen dari mesin-mesin tersebut tidak beroperasi dengan baik karena UPT Parkir tidak menjalankan kegiatan perawatan mesin tersebut secara rutin. Minimnya sosialisasi kepada masyarakat dan maraknya praktik pungutan liar menjadi faktor utama penyebab gagalnya penerapan TPE di Kota Bandung. Tanpa pemahaman dan akses yang memadai, TPE hanya akan berakhir sebagai pajangan berdebu yang gagal dimanfaatkan.
Masyarakat Kota Bandung lebih memilih membayar kepada juru parkir dibanding memakai mesin parkir. Berbagai macam alasan ditemukan, mulai dari mesin tidak menyala, hingga rendahnya pemahaman bagaimana cara mengoperasikan mesin tersebut. Masyarakat terus menjalankan dengan kebiasaan lama dan lebih memilih cara-cara parkir tradisional (Kurniawan, 2024). Dinas Perhubungan Kota Bandung sebenarnya telah memberikan arahan kepada petugas parkir agar mengarahkan masyarakat untuk menggunakan mesin parkir. Namun, sebagian dari mereka menganggap keberadaan mesin parkir membuat mereka kehilangan penghasilan (Rachmawati & Fitriyanti, 2021), padahal faktanya, Pemkot Bandung memberikan gaji kepada petugas parkir setiap bulannya.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Urgensi Vaksinasi HPV sebagai Upaya Pencegahan Kanker Serviks di Indonesia
MAHASISWA BERSUARA: Gengsi Selangit tapi Dompet Sempit
MAHASISWA BERSUARA: Antara Sekolah Negeri dan Swasta, Potret Ketimpangan Akses dan Kualitas Pendidikan
Beragam Kendala
Mesin parkir yang tidak user friendly juga menjadi kendala yang ditandai dengan adanya tarif parkir yang tidak seimbang dan hanya menerima kartu khusus untuk pembayarannya. Tarif parkir yang tidak seimbang dengan durasi parkir membuat masyarakat merasa dirugikan. Tampilan antar muka mesin yang membingungkan dan minim petunjuk yang jelas juga dikeluhkan oleh banyak pengguna. Ketidakpraktisan sistem ini memperkuat anggapan bahwa mesin parkir tidak memberikan kemudahan sebagaimana mestinya. Tidak adanya peraturan yang harus mewajibkan para pengguna jasa parkir untuk menggunakan TPE menyebabkan sulitnya melancarkan dan menguatkan pelaksanaan program TPE.
Kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah juga menjadi faktor utama penyebab sebagian warga tidak paham cara menggunakan mesin parkir. Kenyataannya, suatu pelayanan publik akan memberikan manfaat jika masyarakat mengetahui dan memahami cara mengakses serta menggunakannya. Sosialisasi bukan hanya dalam bentuk kegiatan yang bersifat sementara (incidental), namun juga harus dilaksanakan secara berkelanjutan (continueitas) (Suherman, 2020) agar meningkatkan pemahaman warga terhadap mesin TPE tersebut. Sosialisasi secara rutin juga bisa dilakukan secara digital, yaitu dalam media sosial. Penyebaran informasi yang menarik melalui media sosial sangat efektif karena mudah, cepat, dan jangkauannya sangat luas.
Oleh sebab itu diperlukan kerja sama yang aktif antara pemerintah, komunitas warga, maupun masyarakat lokal untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut secara efektif dan tidak berkepanjangan. Sosialisasi berkelanjutan sangat diperlukan agar masyarakat memahami mekanisme dan manfaat TPE, seperti peningkatan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan retribusi. Selain itu, pelaksanaan uji coba terbuka TPE di berbagai tempat strategis dapat membantu mengidentifikasi kendala teknis maupun kendala sosial yang mungkin akan timbul sehingga pemerintah daerah dapat segera mengambil langkah antisipasi yang tepat.
Pemerintah daerah juga perlu menyesuaikan sistem TPE agar dapat menerima berbagai metode pembayaran, mulai dari pembayaran secara cash, kartu debit, ataupun aplikasi digital seperti QRIS, sehingga masyarakat merasa lebih praktis dalam menggunakan TPE. Pada akhirnya, upaya bersama yang didukung oleh semua pihak akan meningkatkan keberhasilan dalam mengubah layanan TPE menjadi lebih modern dan transparan, sehingga memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara