• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Solidaritas Rakyat sebagai Kekuatan Kolektif Menghadapi Represi Negara

MAHASISWA BERSUARA: Solidaritas Rakyat sebagai Kekuatan Kolektif Menghadapi Represi Negara

Solidaritas rakyat muncul sebagai bentuk perlawanan kolektif, tak hanya untuk melawan represi negara, tapi juga untuk saling menjaga dari ancaman konflik horizontal.

Ahmad Zidane Ghassan Nanlohy

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran (Unpad)

Dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

15 September 2025


BandungBergerak.id – Dalam catatan sejarah, rakyat selalu menjadi aktor utama dalam setiap perlawanan terhadap ketidakadilan. Sejak era kolonial, solidaritas rakyat menjadi kekuatan kolektif yang mampu memegang peranan penting dalam mendorong perubahan sosial politik. Solidaritas rakyat memiliki kekuatan yang sangat besar hingga mampu menimbulkan kegelisahan dan ketakutan pada penguasa. Dalam perjalanan sejarah bangsa, solidaritas rakyat sering kali mendapatkan tindakan represif dari negara. Bahkan setelah lebih dari dua dekade reformasi terjadi yang menandai terciptanya demokrasi di negara ini. Represifitas aparat negara serta pelanggaran hak asasi manusia masih sering kali menghiasi lini masa berita sebagai topik terhangat.

Pemberitaan seperti kriminalisasi terhadap aktivis, penangkapan terhadap mahasiswa serta pelajar yang mengekspresikan pendapatnya, penggusuran paksa, dan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang tak kunjung ada kejelasan menjadi gambaran sehari-hari berita yang ada di Indonesia. Kondisi tersebut sudah cukup menjelaskan bahwa negara belum serius dalam menjalankan perannya sebagai pelindung rakyat. Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh para wakil rakyat sering kali mendiskreditkan aksi yang digelar oleh rakyat tepat di depan gedung para wakil rakyat bekerja. Bahkan mereka tak segan melontarkan kata-kata yang tidak pantas terhadap aksi yang digelar oleh rakyat. Hal ini tentu memicu eskalasi gerakan yang lebih besar.

Represifitas aparat terhadap aksi demonstrasi juga bukan menjadi hal yang jarang dibicarakan. Hampir di setiap aksi demonstrasi aparat sering kali bertindak represif dengan kekerasan hingga menyebabkan korban berjatuhan lalu diiringi dengan penangkapan massa aksi demonstrasi secara massal dan menghalangi lembaga bantuan hukum untuk memberikan pendampingan hukum terhadap massa aksi yang tertangkap.

Dalam situasi seperti ini, solidaritas rakyat muncul sebagai bentuk perlawanan kolektif, tidak hanya untuk melawan represi negara, tetapi juga untuk saling menjaga rakyat sipil dari ancaman konflik horizontal. Dalam situasi ini konflik horizontal berbau suku , agama, ras, dan antargolongan (SARA) mungkin saja bisa terjadi. Terdapat pihak-pihak yang ingin membenturkan rakyat dengan rakyat melalui provokasi yang berbau SARA, serta ajakan untuk melakukan persekusi terhadap sesama warga sipil yang berasal dari etnis tertentu.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Tragedi Affan Kurniawan dan Catatan Merah Institusi Polisi
MAHASISWA BERSUARA: Reformasi Pendidikan Polri agar Tidak Represif pada Rakyat
MAHASISWA BERSUARA: Vandalisme versus Kerusakan Ekologis

Demonstrasi karena Rakyat Kecewa

Setelah ramai pemberitaan tentang tunjangan dengan angka yang fantastis bagi para anggota wakil rakyat dan memicu protes di berbagai wilayah, pernyataan yang dikeluarkan oleh salah satu anggota wakil rakyat sungguh di luar dugaan. Ia mengatakan kata yang tidak pantas kepada rakyat yang memprotes tunjangan yang didapatkan oleh anggota wakil rakyat. Kata yang sangat tidak pantas diucapkan kepada rakyat yang memilih serta mengantarkannya duduk di kursi parlemen yang mewakili rakyat. Gelombang aksi semakin meluas diliputi tindakan represif dari aparat yang semakin brutal.

Negara merespons gerakan aksi protes besar-besaran yang terjadi selama beberapa hari berturut-turut dengan tindakan represif yang membuat banyak korban berjatuhan. Negara juga mulai mengotak-ngotakan massa aksi yang bukan berasal dari mahasiswa sebagai penumpang gelap. Padahal sesungguhnya gerakan rakyat sendiri lahir dari rahim rakyat dan milik rakyat. Bukan hanya milik golongan tertentu, bukan hanya milik mahasiswa saja, dan bukan hanya milik serikat buruh saja.

Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat hingga berujung kekerasan menimbulkan korban jiwa, seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan menjadi korban dari kebrutalan aparat ketika aksi demonstrasi. Affan tewas setelah dilindas oleh mobil rantis milik polisi di Jakarta. Selain Affan juga ada Rheza seorang mahasiswa di Yogyakarta tewas diduga terkait kericuhan unjuk rasa dengan satu bagian tubuhnya terdapat bekas sepatu lars.

Rakyat semakin geram dengan rentetan kekerasan aparat saat aksi demonstrasi. Eskalasi gerakan aksi semakin meluas ke seluruh penjuru negeri, semua masyarakat dari berbagai kalangan turun ke jalan menyuarakan amarah serta kekecewaan mereka pada negara. Pada momen inilah solidaritas rakyat menjadi kekuatan kolektif untuk menghadapi represi negara. Rakyat bersolidaritas dengan saling membantu satu sama lain, termasuk dengan memberikan berbagai donasi untuk logistik kebutuhan massa aksi seperti perlengkapan medis. Selain itu banyak pula masyarakat yang memberikan donasi berupa air mineral dan makanan ringan untuk massa aksi. Bahkan ketika massa aksi mendapatkan tindakan represif dari aparat tidak jarang masyarakat yang melihat akan membantu menyelamatkan massa aksi, selain itu banyak pula masyarakat yang tinggal di sekitar tempat aksi demonstrasi menjadikan rumah mereka sebagai posko untuk melindungi massa aksi.

Di tengah aksi demonstrasi tentu saja ada pihak yang ingin mengadu domba warga sipil untuk melemahkan gerakan solidaritas rakyat. Provokasi berbau SARA menjadi lagu lama yang dimainkan oleh pihak tertentu untuk memecah belah gerakan solidaritas rakyat dan memicu konflik horizontal. Rasisme dan fasisme selalu menjadi musuh utama masyarakat sehingga provokasi adu domba tersebut tidak berpengaruh terhadap gerakan solidaritas rakyat. Rakyat justru meresponnya dengan membuat ajakan “warga jaga warga” untuk saling melindungi satu sama lain.

Tuntutan 17+8

Gerakan solidaritas rakyat ini berhasil memaksa pemerintah untuk bernegosiasi. Rakyat memberikan 17+8 tuntutan bagi pemerintah yang dibagi untuk beberapa lembaga negara. Namun rakyat kembali dibuat kecewa setelah sampai batas waktu yang telah ditentukan bahkan sampai hari ini pemerintah tidak berhasil untuk memenuhi tuntutan rakyat. Seharusnya negara mampu memahami bahwasanya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Negara tidak boleh melawan rakyatnya sendiri terlebih sampai melakukan tindakan represif berupa kekerasan. Dalam bahasa latin terdapat istilah “Vox Populi Vox Dei” yang memiliki arti “Suara rakyat adalah suara Tuhan”.

Dalam menanggapi situasi seperti ini negara seperti tidak serius karena polanya selalu sama. Ketika eskalasi gerakan semakin besar dan terjadi gelombang protes berupa aksi demonstrasi di berbagai daerah kemudian aparat negara akan melakukan tindakan represif diliputi kekerasan dan penahanan terhadap massa aksi yang kemudian berakhir dengan jatuhnya banyak korban. Setelah itu para pejabat akan berlomba-lomba muncul seperti pahlawan kesiangan dengan memberikan pernyataan yang terdengar klise untuk meredam gerakan aksi massa yang terjadi di berbagai daerah. Lalu negara akan memberikan penawaran baru berupa janji-janji untuk memenuhi tuntutan rakyat, yang kemudian perlahan negara pun lupa akan janji yang pernah mereka tawarkan kepada rakyat sebelumnya. Korban-korban yang berjatuhan pun seakan ikut dilupakan oleh negara tanpa dibantu untuk mendapatkan proses peradilan yang sebagaimana mestinya.

Negara seperti tidak belajar dengan kejadian serupa yang pernah terjadi di masa lalu. Dalam buku berjudul “The Life of Reason” yang ditulis oleh George Santayana, terdapat kutipan “Mereka yang tidak belajar dari sejarah dikutuk untuk mengulanginya”. Kutipan tersebut cocok dengan apa yang terjadi di negara ini.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//