• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Membaca adalah Jalan Makrifat Kita!

MAHASISWA BERSUARA: Membaca adalah Jalan Makrifat Kita!

Omong kosong mencerdaskan kehidupan bangsa kalau masyarakat saja tidak boleh membaca.

Rizqy Saiful Amar

Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Dapat dihubungi di akun Instagram @rizqyamar_

Buku adalah teman dialog yang menggugah nalar dan rasa. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

7 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Di tahun 2018 saya pernah diajukan oleh sekolah saya untuk mengikuti lomba DAI di Kota Magelang. Saat itu saya tengah duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah.

Acara lomba ceramah keagamaan itu diadakan oleh kepolisian resor kota dengan kontingen dari seluruh polsek yang ada. Entah apa yang ada di benak para guru saat itu, saya dipilihlah untuk mewakili kepolisian sektor setempat.

Saya yang hanya pelajar biasa dan tidak tahu-menahu seluk beluk dunia podium sebelumnya merasa bingung. Kira-kira tausiah apa yang akan saya sampaikan ke hadapan para juri berisi bapak-ibu polisi tersebut.

Setelah merenung dan mendapat pengarahan dari guru mata pelajaran Agama, saya mantap mengambil surah Al-Alaq ayat 1-5 sebagai materi. Surah tersebut adalah ayat pertama yang diturunkan Tuhan pada Nabi SAW setelah berkontemplasi selama 40 hari di Gua Hira.

Terdapat ayat monumental dalam surat tersebut yakni kata “Iqra!” pada ayat pertama. Konon, saat itu malaikat Jibril sampai mengulangi ayat tersebut hingga lima kali agar nabi membaca secarik kertas yang dipegang Sang Pembawa Wahyu itu.

Namun, Nabi hingga badanya terpojok ke dinding gua oleh Jibril pun tak mampu membacanya. Ia adalah seorang yang “ummi” yakni buta baca dan tulis. Akhirnya Jibril sendirilah yang terpaksa membaca risalah tersebut.

Saya bacakan juga ayat itu di depan dewan juri, lengkap dengan artinya. Kiranya saya menjelaskan kepada mereka bahwa Tuhan memberi perintah kepada Sang Nabi untuk umatnya adalah untuk membaca.

Membaca menjadi titik awal terpenting bagaimana ajaran agama Islam ditanamkan. Kita diperintahkan untuk belajar dan memahami dengan membaca. Baik tulis maupun pertanda empiris.

Belakangan saya memahami maksud lain dari ayat itu.  Mengutip dari penjelasan Gus Baha saat pengajian tafsirnya, surat itu selain perintah belajar kita juga diarahkan untuk paham bahwa Tuhan adalah sosok pertama yang memberi pelajaran.

Tuhan, zat yang Maha Mulia itu sebagai guru pertama memerintahkan kita untuk membaca. Bacalah “Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya!” bunyi ayat kelima.

Saya merenungi maksud ayat tersebut dan memahaminya kembali setelah tujuh tahun berlalu. Sebagai mahasiswa Sastra Indonesia yang berjibaku terhadap dunia literatur, saya sangat sedih mendengar berita yang bergulir di media saat ini.

Pasca aksi di berbagai pelosok daerah kemarin, terjadi banyak penyisiran gerakan rakyat. Kantor-kantor NGO dan terduga “perusuh” diserbu aparat.

Anehnya, dalam gelar konferensi pers polisi banyak menampilkan buku-buku berbagai jenis yang mereka dapat. Narasi yang polisi keluarkan adalah buku tersebut berimplikasi pada pemikiran para “terduga” perusuh untuk merusak.

Buku dengan paham kiri  dan buku humaniora lainnya terpampang di meja-meja saat konferensi berlangsung. Menariknya ada buku karya Pramoedya dan Romo Magnis di situ.

Miris, kedua orang tersebut adalah sebagian dari empu humaniora Indonesia. Kedua orang tersebut telah berjasa dalam ikut mendidik manusia untuk belajar dan memahami kemanusiaannya.

Sekarang kedua orang tersebut seperti dinistakan dengan mengecap bukunya sebagai biang keladi impuls motivasi perusakan. Bagi saya kedua orang itu adalah orang yang telah mempraktikkan langsung risalah Tuhan dalam surah Al-Alaq dan hasilnya bukan sebuah “omon-omon”.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mengenal Kesusastraan Sunda dalam Sudut Kontemporer
MAHASISWA BERSUARA: Pembungkaman Publik ala Negara, Memahami SLAPP dalam Isu Lingkungan Hidup
MAHASISWA BERSUARA: Yang Muda, yang Peduli Sejarah

Tuhan Ingin Kita Pintar, Iblis Ingin Kita Bodoh

Berita pencekalan buku tersebut adalah noda hitam dalam khazanah pendidikan Indonesia. Omong kosong mencerdaskan kehidupan bangsa kalau masyarakat saja tidak boleh membaca.

Saya jadi ingat kisah saat Iblis akan dibuang dari surga pasca berhasil menggoda Adam. Ia berjanji pada Tuhan akan menyesatkan manusia dan membuat mereka lupa dari-Nya.

Tuhan mendengar hal itu tidaklah murka, ia sudah mengatur segala skenario-Nya. Tuhan mengaminkan akan sumpah Iblis tersebut.

Kelak banyak dari anak keturunan Adam akan berpaling dari-Nya dan tersesat oleh godaan Iblis. Maka Ia akan mengutus rasul dari golongan Adam sendiri untuk kembali menuntun mereka ke jalan yang benar.

Para rasul itu diberikan risalah nubuat untuk menjadi pedoman manusia kembali pada-Nya. Hal itu terjawab dengan Musa dan Ibrahim yang diberikan lembaran-lembaran perintah Tuhan.

Mereka dikirimkan pada kaum yang durhaka dan telah tercoreng imannya oleh Iblis. Gangguan demi gangguan mereka hadapi oleh kaki tangan Iblis yang berasal dari kaum nabi itu sendiri. Namun, hanya sebagian yang taat dan lebih banyak yang menista.

Puncak dari skenario itu sendiri adalah diutusnya Nabi SAW. Ia mendapat wahyu sebagai pembawa risalah terakhir dan juru selamat umat manusia.

Dengan bermodal surat pertama Al-Alaq tersebut, Tuhan memberi perintah kepada manusia untuk kembali mengenal-Nya melalui kegiatan membaca. Sang Nabi diperintahkan pula oleh Tuhan untuk menyeru bahwa Tuhan adalah zat Maha Mulia dan mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya.

Dalam titik ini kita paham, keselamatan dan jalan kembali pada Tuhan kita dapatkan melalui pengetahuan. Lalu demi memenuhi sumpah untuk menyesatkan manusia dari Tuhan, pasti Iblis akan membuat manusia menjauh dari ilmu pengetahuan.

Iblis akan menyesatkan manusia dengan menjatuhkan mereka ke jurang kebodohan. Bagi manusia yang beriman seyogyanya ia senantiasa membaca agar lebih dekat dan kembali mengenal Tuhan.

Menurut ilmu tasawwuf sendiri proses kembali mengenal Tuhan itu disebut makrifat. Kemakrifatan bukan diperoleh secara gratis. Ia perlu usaha yang gigih dan konsisten.

Al-Alaq memberikan kita pencerahan bahwa jalan kemakrifatan dapat dicapai melalui proses membaca. Membaca harus dijalani dengan tekun agar memperoleh pengetahuan yang hakiki.

Singkatnya, dari kisah ini  dapat diperoleh kesimpulan bahwa membaca adalah jalan nubuat yang sah untuk kembali pada Tuhan. Siapa pun yang bekerja di dunia bacaan adalah mereka yang bekerja di jalan kenabian.  Bagi siapa pun yang menghalangi jalan nubuat itu baik secara langsung atau tidak berarti telah menempuh jalan Iblis!

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//