MAHASISWA BERSUARA: Propaganda Squealer dan Cermin Politik Kita
Jika masyarakat terus membiarkan diri mereka dibutakan oleh propaganda dan retorika kosong, maka demokrasi hanyalah topeng palsu yang menutupi tirani modern.

Ardisty Mutiara Kamulya
Mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad)
14 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Pada dasarnya, politik menjadi sarana bagi rakyat untuk menentukan arah dan masa depan bersama. Abraham Lincoln pernah mengungkapkan bahwa pemerintahan yang ideal adalah "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Pernyataan ini menegaskan bahwa kekuasaan politik harus benar-benar berasal dari rakyat dan bekerja demi kepentingan mereka. Namun, dalam kenyataannya, proses politik sering kali tidak berjalan semudah itu.
Informasi yang diterima rakyat bisa saja dimanipulasi, sehingga kebenaran menjadi kabur dan kesalahan dialihkan kepada pihak lain. Contohnya, dilansir dari Media Indonesia, pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019, Bawaslu mencatat adanya 486 kasus dugaan pelanggaran kampanye di media sosial. Selain itu, terdapat 2.350 kasus peningkatan jumlah berita hoaks tentang isu politik dan pemilu sepanjang 2019. Disinformasi ini dapat berdampak negatif terhadap lingkungan sosial dan stabilitas politik.
Adanya berita palsu mendorong orang-orang cenderung memercayai informasi yang sesuai dengan keyakinan mereka dan berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat. Melihat hal ini, dapat kita lihat bahwa kata-kata bisa menjadi senjata ampuh yang mampu membentuk realitas, mengaburkan kebenaran, dan memutarbalikkan tanggung jawab. Seperti halnya yang digambarkan oleh George Orwell dalam novelnya berjudul Animal Farm, novel fiksi singkat namun penuh dengan isu yang padat dan relevan hingga saat ini.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: HAM dalam Bayang-bayang Otoritarianisme
MAHASISWA BERSUARA: Bukan Memberi Makan Siang Gratis, tapi Merombak Sistem Pendidikan
MAHASISWA BERSUARA: Terberangus Kebodohan Rezim Antihuruf
Bahasa Propaganda
George Orwell menghadirkan sosok Squealer di dalam bukunya, Squealer merupakan babi propaganda yang lihai memanipulasi bahasa demi mempertahankan kekuasaan rezim tirani. Menurut Armel Mbon dan Benjamin Evayoulou dalam Squealer or the Sophism Working for Modern Dictatorship: A Re-visitation of Orwell’s Animal Farm (2019), Squealer ini dihadirkan sebagai representasi media Uni Soviet khususnya media koran berjudul Pravda yang menjadi alat propaganda komunis pada masa Stalin. Kehadiran tokoh Squealer tidak hanya secara fiksi, lebih dari itu, ia mencerminkan praktik politik nyata di mana propaganda digunakan untuk menutupi kegagalan, menyesatkan publik, dan mengalihkan kritik.
Squealer bukan sekadar karakter pendukung dalam Animal Farm, ia merupakan representasi propaganda yang sistematis dan terorganisir. Dengan kemampuan retorika yang luar biasa, Squealer membengkokkan fakta, mengubah narasi, dan menanamkan ketakutan agar hewan-hewan di peternakan tetap patuh pada rezim Napoleon. Ia menggunakan teknik propaganda klasik: pengulangan, distorsi fakta, dan penciptaan musuh bersama. Misalnya, ketika para hewan protes mengapa babi-babi mendapatkan jatah makanan lebih, tempat tinggal yang lebih mewah, hingga perubahan aturan dan kebijakan Tujuh Perintah, Squealer selalu meyakinkan dengan berkata bahwa babi-babi tersebut bertindak untuk kepentingan semua orang. Dalam konteks propaganda ala Squealer, kata-kata digunakan untuk memindahkan tanggung jawab dari penguasa kepada pihak lain.
Penggunaan kata-kata sebagai alat propaganda sebenarnya sudah ada sejak munculnya Kaum Sofis (Sophistic) yang menjadi penanda periode akhir dari Filsafat Yunani Kuno. Munculnya Kaum Sofis ini akibat adanya sistem demokrasi langsung yang digunakan di Athena dan orang yang mengemukakan pendapat dituntut harus pandai sehingga muncul kebutuhan akan pendidikan. Ketika itu, muncullah Kaum Sofis yang mau mengajari rakyat Athena, tetapi mereka tidak memprioritaskan untuk mencari kebenaran, melainkan memprioritaskan untuk materi yang berupa uang. Retorika menjadi karakteristik Kaum Sofis yang pertama, yang lebih mementingkan seolah-olah benar dan diakui sebagai orang benar daripada kebenaran yang memang benar. Mereka menjadikan pendidikan sebagai bisnis dan memungut bayaran layanan mereka.
Kondisi Politik Indonesia
Fenomena yang terjadi dalam buku Animal Farm sangat relevan dengan kondisi politik di Indonesia. Dalam konteks demokrasi yang masih rentan, propaganda politik sering digunakan untuk mengalihkan perhatian publik dari kegagalan pemerintah, korupsi, bahkan hingga untuk mengontrol ketertarikan publik dalam memilih pemimpin. Hal ini disebut framing atau sebuah proses di mana media memilih dan menonjolkan elemen-elemen tertentu dari realitas untuk diberikan penekanan dalam berita. Misalnya, pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024, pasangan nomor urut 2 yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menggunakan tren TikTok sebagai media kampanye, beliau berhasil menarik simpati Generasi Z dalam branding politiknya melalui tren-tren yang disukai Generasi Z, seperti joget-joget di aplikasi TikTok dengan lagu “Oke Gas Prabowo Gibran Paling Pas”. Branding politik “gemoy” ini berhasil menutup masa lalu Prabowo Subianto pada tahun 1998, bahkan branding gemoy ini menjadi kata paling trending pada masa itu. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa dalam distorsi fakta, kata-kata dipilih sedemikian rupa untuk membingkai isu agar publik tidak mempertanyakan, menuntut pertanggungjawaban, atau bahkan untuk menghilangkan fakta tertentu dalam sejarah. Mereka mencontohkan bagaimana isu-isu sensitif seperti korupsi atau pelanggaran HAM sering kali diabaikan atau diputarbalikkan melalui narasi yang mencontoh tren-tren terkini. Ini adalah bentuk modern dari “Squealer effect” yang memutarbalikkan tanggung jawab dan menutupi kegagalan.
Jika propaganda ini terus berlanjut, akan menjadi efek bola salju dengan dampak yang semakin besar. Masyarakat akan mudah “disetir” oleh para penguasa yang tidak bertanggung jawab dan bisa membawa Indonesia ke ambang kehancuran. Para penguasa hanya peduli pada apa yang bisa mereka tuai tanpa memikirkan dampaknya. Salah satu cara masyarakat lepas dari borgol propaganda ini adalah dengan menjadi pintar, memahami kebijakan pemerintah, dan peduli dengan rekam jejak seluruh pemimpin maupun calon pemimpin bangsa, karena para pemimpin rezim mungkin tidak akan peduli dengan sebab-akibat perilaku mereka kecuali kalau masyarakatnya mampu kritis dan mengkritik kebijakan mereka.
Kesadaran kritis masyarakat menjadi benteng utama melawan propaganda yang mengaburkan kebenaran. Seperti yang tergambar dalam Animal Farm, kata-kata bukan sekadar alat komunikasi, melainkan senjata ampuh yang dapat memperbudak atau membebaskan massa. Jika masyarakat terus membiarkan diri mereka dibutakan oleh propaganda dan retorika kosong, maka demokrasi hanyalah topeng palsu yang menutupi tirani modern. Literasi politik dan kecerdasan media bukan lagi pilihan, melainkan keharusan mutlak untuk menggagalkan manipulasi kekuasaan yang sistematis. Tanpa kesadaran kritis yang tajam, kita bukan hanya kehilangan kedaulatan politik, tetapi juga masa depan bangsa yang sejati. Maka, bangkitlah dari kepasifan intelektual sebelum kata-kata menjadi rantai yang mengikat kebebasan kita selamanya.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB