• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Bukan Memberi Makan Siang Gratis, tapi Merombak Sistem Pendidikan

MAHASISWA BERSUARA: Bukan Memberi Makan Siang Gratis, tapi Merombak Sistem Pendidikan

Tanpa sistem pendidikan dan fasilitas belajar yang baik, mereka tidak bisa belajar secara optimal meski perut kenyang.

Iqbal Ramadhan

Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

Pelajar keracunan menjalani perawatan darurat aula Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, 24 September 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

13 Oktober 2025


 BandungBergerak – Frasa “tidak ada makan siang gratis” berasal dari praktik bar-bar di Amerika Serikat yang memberikan makan siang gratis. Namun di bawah kapitalisme, tidak ada yang benar-benar gratis. Biaya untuk makan siang gratis dibebankan pada minuman yang harus dibeli pelanggan. Makanan yang diberikan secara gratis mengandung banyak garam yang membuat mudah haus, sehingga kebanyakan orang yang makan harus membeli minuman. Jadi meskipun makanannya “gratis”, orang-orang tetap membayar untuk hal lain, yaitu minuman yang mau tidak mau harus mereka beli.

Demikian juga program Makan Bergizi Gratis (MBG)-nya Prabowo Subianto. Ada hal-hal yang harus dibayar di balik program yang dilabeli “gratis” itu. Dan tentu saja, lagi dan lagi kita sebagai rakyat yang harus membayarnya. Malangnya, anak-anak sekolah yang diberi makan gratis itulah yang harus membayar paling mahal. Dalam kasus keracunan massal – satu saja dari sekian banyak masalah yang membelit MBG –, harga yang harus dibayar tak main-main: masa depan mereka.

Bukan hanya label “gratis” yang bermasalah, pencantuman kata “bergizi” juga sering tidak tepat. Dalam beberapa kasus, makanan yang disajikan jauh dari bergizi. Tidak sedikit anak-anak mereka merasa makanannya sangat tidak layak, tapi mereka diharuskan untuk mengonsumsinya. Maka pertanyaan mendasarnya, sebetulnya untuk siapa program MBG ini? Benarkah anak-anak sekolah yang merasakan manfaatnya? Atau jangan-jangan mereka yang justru menjadi korban dari program yang sejak awal sudah gagal ini?

Pemerintah selalu berdalih bahwa program ini baik untuk meningkatkan kecerdasan, menambah gizi anak-anak, dan mengatasi gizi buruk dan stunting. Betapa konyol, karena ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak paham bahwa pencegahan gizi buruk dan stunting harus dimulai sejak anak berada dalam kandungan, bukan ketika mereka sudah masuk sekolah. Meskipun ibu hamil dimasukkan juga sebagai sasaran program ini, rincian pelaksanaannya masih belum jelas.

Menilik praktik manajemen program MBG dari hulu hingga hilir, kita bisa melihat siapa yang mengelola yayasan dan dapur-dapur MBG. Program ini sangat sarat kepentingan politis. Sangat naif mengatakan program ini bertujuan untuk mengatasi gizi buruk anak-anak. Kenyataannya program ini lebih merupakan ladang kepentingan yang koruptif. Apalagi tidak ada mekanisme pengawasan yang jelas bagi proyek raksasa ini. Dengan anggaran yang sangat besar dan kualitas makanan yang tidak layak bahkan memicu kasus-kasus keracunan massal, kita bisa bertanya: ke mana larinya uang tersebut?

Baca Juga: Banalitas Kejahatan dalam Kasus Keracunan Massal Makan Bergizi GratisMAHASISWA BERSUARA: Melihat Kembali Program Makan Bergizi Gratis Presiden Prabowo Subianto

Sistem Pendidikan

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diketahui menyedot anggaran negara hingga ratusan triliun rupiah. Pengalokasian yang berimbas pada pemangkasan beberapa pos anggaran lain. Di balik program “gratis” ini, ada guru yang harus menahan lapar karena gajinya hanya cukup untuk makan sehari sekali, ada orang tua yang bingung bagaimana harus membayar uang sekolah anaknya karena biaya pendidikan yang tinggi, ada mahasiswa yang harus belajar sambil bekerja untuk membayar biaya kuliah yang tak ramah, ada lulusan sekolah yang harus menganggur karena kurikulum sistem pendidikan tidak mengasah kemampuan mereka sebagai manusia. Tapi bukannya memperbaiki sistem pendidikan, Presiden Prabowo yang terhormat malahan memilih program Makan Bergizi Gratis sebagai solusi memecahkan masalah.

Memang, memperbaiki sistem yang sudah kacau sangatlah sulit. Perlu solusi yang radikal: menghancurkannya lalu membangun kembali dari awal. Solusi kebijakan yang ditawarkan haruslah sistematis: kurikulum yang mampu mengembangkan kemampuan siswa, guru yang profesional dengan gaji yang layak, fasilitas pembelajaran yang mampu menunjang pendidikan, dan akses pendidikan yang ramah bagi siapa pun. Biayanya tidak murah, tapi justru di situlah pentingnya pemrioritasan. Dana besar dibutuhkan untuk memperbaiki sistem pendidikan yang sanggup menuntun anak-anak kita ke masa depan yang lebih cerah.

Memangnya setelah dikasih makan gratis, anak-anak sekolah langsung jadi pintar? Jaka sembung bawa golok! Tanpa sistem pendidikan dan fasilitas belajar yang baik, mereka tidak bisa belajar secara optimal meski perut kenyang. Yang lebih penting dibangun adalah pengembangan dan pembagian ide serta ilmu.

Sangat sulit untuk mengamini Indonesia Emas 2045 jika program yang diusung pemerintah justru menjauhkan anak-anak dari tujuan itu. Usaha mengentaskan masalah tanpa melihat dan mencoba memperbaiki akarnya, hanya akan melahirkan masalah-masalah baru. Dan itulah yang terjadi dalam program politis MBG ini. Tidak ada pembaruan sistem pendidikan yang dihasilkan.

Anak-anak Indonesia berhak atas masa depan yang lebih baik, dan itu dimulai dengan merombak sistem pendidikan secara menyeluruh. Toh tidak semua kebijakan itu bijak, apalagi yang bersifat top-down seperti MBG ini. Sudah saatnya ia dievaluasi.

 

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//