MAHASISWA BERSUARA: Terberangus Kebodohan Rezim Antihuruf
Buku yang disita dalam serangkaian penangkapan demonstran sudah dikembalikan polisi. Tetap saja, buku pernah dicap sebagai barang bukti para tahanan politik.

Rossihan Anwar Shidiq
Mahasiswa Universitas Sains Alquran Wonosobo. Saat ini aktif di LPM Shoutul Quran.
13 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Anggapan orang bahwa menulis butuh kebiasaan membaca itu tidak meleset. Namun, pastikan mereka tidak buta huruf. Itu.
Cara penting menumbuhkan kebiasaan membaca adalah juga tidak antihuruf. Fondasi dasarnya demikian memang. Betapa cakap mereka yang antihuruf bahkan antimembaca (golongan tim sukses rezim bibliosida) main sikat para aktivis cum pegiat literasi dengan tuduhan pidana?
Pidana muskil bekerja sebagai amanat konstitusional berupa “mencerdaskan kehidupan bangsa” padahal ia beririsan sesuai kehendak kebebasan apa yang hendak rakyat baca lalu tulis. Setidaknya ini upaya mencegah kebodohan.
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Revitalisasi Sekolah Seharusnya Menjadi Jawaban Nyata untuk Pendidikan Bermutu
MAHASISWA BERSUARA: HAM dalam Bayang-bayang Otoritarianisme
MAHASISWA BERSUARA: Bukan Memberi Makan Siang Gratis, tapi Merombak Sistem Pendidikan
Tiga Kata
Misalnya begini: judul berita (atau kliping digital) milik CNBC Indonesia pada 3 September 2025 berjudul “Aturan Baru Sri Mulyani: Kuda Kaveleri untuk Kemenhan dan TNI Bebas PPN” menarik untuk dihidupkan bermodal tiga kata penting. Adalah “Kuda, Pajak, Perang” menjadi esai panjang dengan “memanggil” dua hal pendamping berupa pengalaman (jam terbang tulis-menulis) dan bacaan pendamping (kekayaan isi kepala). Jelang sepuluh hari, esai Muhidin M. Dahlan terbit di rubrik Halte Jawa Pos berjudul “Tak Ada Java Oorlog di Ujung Agustus” pada 13 September 2025.
Daya tangkas menulis Gus Muh, sapaan akrab Muhidin, tak lain dilatih dari penciptaan sudut pandang serta kerangka esainya.
Tiga kata penting seperti “kuda”, “pajak”, dan “perang” dipancing lewat konteks peristiwa akhir bulan Agustus: Kenaikan pajak picu penolakan besar-besaran. Kata “pajak” relevan diulas tapi masih belum cukup. Di sudut sana, masih menanti dua kata yakni “perang” dan “kuda”. Ia butuh pancingan lebih dalam. Apalagi isu Agustus tahun ini dekat dengan peringatan 200 Perang Jawa.
Lantas saya melantik tiga kata “buku”, “buru”, dan “stigma” yang berangkat dari peristiwa September. Lebih-lebih pola stigmatisasi dan cap “perusuh”, “makar”, dan “terorisme” meluncur dari mulut Prabowo sendiri terhadap “anarki” dan paham “anarkisme”. Saya menyebutnya rezim “antihuruf” itu terjangkit kebodohan yang justru menuai kemunduran bangsa ini. Selambatnya 10 tahun terakhir.
Perbukuan versus Perburuan
Buku-buku Delpedro Marhaen dikembalikan polisi. Alasannya, kerja Delpedro tidak terkait dengan kasus yang ditersangkakan. Enam belas buku yang sebelumnya disita itu berasal dari kantor Lokataru Foundation, tempat aktivis Delpedro bergeliat di bidang Hak Asasi Manusia.
Di Jawa Timur, polisi memulangkan 39 buku milik aktivis akibat demonstrasi 29 Agustus 2025. Alasannya: buku tidak berkaitan dengan tindak pidana. Namun, para “tahanan politik” statusnya tetap tersangka.
Trunoyudo Wisnu Andiko gigit jari usai penyidik kepolisian memastikan dugaan pidana tahanan politik tak berhubungan dengan barang bukti buku.
“Polri memastikan setiap langkah penyidikan dilakukan secara objektif, profesional, dan proporsional. Setelah dilakukan evaluasi mendalam oleh penyidik, disimpulkan bahwa buku-buku tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana yang disidik,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri. (Kompas.com, 30 September 2025).
Lain pula di Jawa Barat, polisi menyita 29 judul buku dan menangkap 42 tahanan politik di Bandung akibat aksi 29 Agustus–9 September 2025. Belum sampai situ, turut ditemukan 81 buku dan artikel tambahan “yang mengandung faham anarkisme.”
Ingatan saya berhenti di jumlah buku yang disita lalu kembalikan polisi. Tetap saja, buku pernah dicap sebagai barang bukti para tahanan politik.
Saya hendak bandingkan jumlah tahanan politik dengan buku-buku yang terbukti tidak dapat dijadikan dasar kriminalisasi para tahanan. Data Lembaga Bantuan Hukum-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH-YLBI) mencatat 960 orang sebagai tersangka oleh Polri. Mereka mendekam di penjara.
Tahanan di Polda Jatim paling banyak 325 orang (185 dewasa, 140 anak). Disusul Polda Metro Jaya meringkuk 232 tahanan (200 dewasa, 32 anak). Lalu Polda Jateng menangkap 136 orang (80 dewasa dan 56 anak). Ditambah Polda Jabar menahan 111 orang (80 dewasa dan 1 anak). Polda Sulsel menggelandang 58 tahanan (46 dewasa, 12 anak) serta Polda NTB menahan 21 orang (15 dewasa, 6 anak). Masih ada Polda Sumsel yang sedikitnya menahan 15 orang (12 dewasa, 3 anak) diikuti Polda Bali menangkap 14 orang (10 dewasa dan 4 anak). Jangan lupakan Polda Lampung menetapkan 8 orang (1 dewasa dan 7 anak) di ditahan. Belum lagi Polda Kaltim menahan 7 orang. Bareskrim Polri: 5 tahanan. Di Polda Kalbar tertahan 4 orang (1 dewasa, 3 anak) lalu tercatat di Polda Jambi sebanyak 3 orang. 4 Tahanan Politik mendekam di Polda Banten dan Polda Sumbar masing-masing 2 orang.
Dari 960 individu yang jadi tersangka, 265 di antaranya adalah anak-anak. Melansir siaran pers, 26 anak yang ditangkap di Magelang, Jawa Tengah, mengalami penyiksaan. “Salah satu anak yang didampingi oleh LBH Yogyakarta mengaku bahwa dirinya dicambuk menggunakan selang, ditampar, ditendang, dan dipukul bagian dadanya,” tulis LBH-YLBHI.
Pola kebodohan polisi itu menandai kemunduran pelanggaran konstitusi yang dilakukan negara. Jika hari ini kata “perburuan” berlangsung akibat munculnya kata “makar” dan “terorisme”, maka patologi demokrasi kenyataannya berlangsung sejak 10 tahun terakhir.
Stigmatisasi “Hantu” Komunis
Buku sebagai “barang haram” versi rezim pernah terjadi pada 2016 saat merazia buku kiri di Yogyakarta. Literatur komunisme dijadikan dalih oleh Joko Purwanto, Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, untuk “dikaji” dengan cara “mengamankan” buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia (Penerbit Ultimus, Bandung: 2016) kendati ia membelinya.
Selain buku, pementasan monolog Tan Malaka, pertunjukan Senin pantomim Wanggi Hoed, dan pencekalan diskusi Marxisme di ISBI Bandung oleh aparat militer (tentara masuk kampus) diduga adanya keinginan kuat atas “kebangkitan” paham komunis dan PKI. Ini pernah diungkapkan Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) III/Siliwangi, saat itu Brigadir Jenderal TNI Wuryanto. Lebih-lebih ia mengaku bahwa TNI masih mengantongi data orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan 1965. (Obrolon Teras Sindo, 17 Mei 2016.)
Mei 2016, Mayjen (Purn.) Kivlan Zen mengklaim bahwa PKI secara diam-diam telah mendaftarkan 15 juta orang, mengumpulkan sejumlah besar uang, dan siap untuk kembali mendeklarasikan keeradaannya di bekas markasnya di bawah kepemimpinan Wahyu Setiaji. (McVey, IndoProgress, 2016). Padahal, tulis John Roosa dalam kata pengantar buku Mengajarkan Modernitas: PKI sebagai Lembaga Pendidikan, tak ada satu pun yang pernah mendengar atau bisa menemukan orang Setiaji. Zen punya cerita yang sungguh absurd. “Namun tak ada yang jauh lebih absurd dari propaganda Orde Baru tentang PKI yang hingga hari ini masih diperlakukan sebagai kebenaran oleh banyak orang,” lanjut Roosa.
Pada Mei 2016 itu, asumsi Zen soal deklarasi PKI ternyata keliru. Peringatan Hari Buku Nasional, 17 April 2016, justru Pernyataan Bandung yang dideklarasikan. Isinya melawan pemberangusan buku dan perilaku “anti-kebudayaan” yang diperbuat aparat kepolisian, militer, serta organisasi massa. Pernyataan Bandung menonjok kebodohan rezim berupa pelanggaran atas Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010. Regulasi ini mengganti aturan usang berupa UU No.4/PNPS/1963 yang kerap dijadikan dasar bagi kejaksaan terhadap pembredelan buku dan dianggap mengganggu ketertiban umum. Lalu peninjauan ulang Tap MPRS No. XXV Th. 1966 tentang larangan penyebaran paham komunisme –selalu dijadikan dalih– lewat Tap MPR No.1 Th. 2003 melalui Pasal 2 angka 1 mengamanatkan tetap adanya “Penghormatan pada prinsip-prinsip keadilan, menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.”
Satu tahun setelahnya, di Wonosobo, pemuda 17 tahun berurusan dengan tentara dan polisi gara-gara ia memakai kaos lengan pendek warna merah bergambar palu arit kuning bersilangan. Koramil 08/Sapuran menyeret AZ usai dapat laporan dari Jupri, mekanik bengkel tempat AZ ganti oli dan servis. Alasannya: risih. Tentara lalu beri penjelasan kalau AZ minta dibelikan temannya kaos tersebut waktu bekerja di Palopo dan ia buta huruf. Menjadi masuk akal bila AZ tak paham apa yang dimaksud PKI akibat putus sekolah sejak kelas 3 SD.
Inilah bukti kegagalan negara beri hak dasar berupa pengetahuan. Bukan justru menakut-nakuti simbol, buku, pentas dan seterusnya. Dalam konteks kejadian Bandung dan Wonosobo, Roosa menulis, “... setelah 50 tahun dihabisi tanpa ampun, PKI masih dianggap sangat berkuasa, seperti penjahat yang tak terkalahkan dalam cerita-cerita superhero.” Ya. Hari ini aparat alami cetek pengetahuan akibat memberangus ilmu dari buku-buku. Itu.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB