• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (29): Pernyataan Bandung 2016, Stop Pemberangusan Buku! ­

MEMORABILIA BUKU (29): Pernyataan Bandung 2016, Stop Pemberangusan Buku! ­

Tahun 2016 marak dengan razia buku dan pelarangan diskusi. Zaman seperti hendak kembali ke masa Orde Baru di mana kebebasan berekspresi tidak mendapatkan tempat.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Pernyataan Bandung dibacakan oleh Ahda Imran (tengah), dan Semi Ikranegara, dan saya (bertopi biru) disaksikan oleh kawan-kawan pegiat literasi yang hadir di ruang utama Gedung Indonesia Menggugat, 17 Mei 2016. (Sumber foto: Ganecapos.com).

30 Januari 2022


BandungBergerak.id"Pemberangusan buku sama saja dengan penghancuran pikiran. Kita harus dapat menghapus penyakit sejarah yang sudah lama tumbuh. Hanya bangsa yang dungu yang memberangus buku dan diskusi. Kebudayaan dibangun lewat dialog-dialog seperti yang dilakukan para founding fathers dalam membangun negara dan bangsa ini” (Ahda Imran, Galamedia, Pikiran Rakyat dan Tribun Jabar, 18 Mei 2016).

Respons yang ditunjukkan sekelompok masyarakat dan pemerintah terhadap diskusi yang berbau paham-paham tertentu, terlalu berlebihan. Padahal aksi pembubaran tak lagi relevan dalam konteks saat ini” (Muradi, Koran Sindo, 18 Mei 2016).

Sudah 18 tahun reformasi berjalan, bangsa ini belum sembuh dari trauma yang tak perlu. Ini kemunduran dalam memajukan peradaban” (Garin Nugroho, Koran Tempo, 18 Mei 2016).

Lintasan kutipan di atas saya nukil dari kliping pernyataan para pegiat literasi, seniman, akademisi, aktivisi di dua kota (Bandung dan Yogyakarta), menyikapi pemberangusan buku atau razia buku kiri, pembubaran diskusi dan pembubaran pertunjukan seni.

Di tingkat lokal Bandung, pernyataan Ahda Imran dan Muradi menyikapi terjadinya peristiwa pembubaran pementasan monolog Tan Malaka, pembubaran seni pantomim Wanggi Hoed, dan penyerbuan ormas ke kampus ISBI ketika sedang berlangsung diskusi Marxisme. Mengenai pembubaran pementasan monolog Tan Malaka bisa kawan-kawan baca di Memorabilia Buku (28) sebelumnya. Sedangkan di Yogyakarta, Garin Nugroho bereaksi terhadap razia literatur komunisme oleh aparat.

Sikap aparat terhadap razia buku kiri dan pembubaran pementasan seni ini di antaranya ada keinginan kuat agar paham komunis tidak tumbuh berkembang kembali di negeri ini. Seperti yang diungkap oleh Brigjen TNI Wuryanto dari Kasdam III/ Siliwangi dalam Obrolon Teras Sindo, 17 Mei 2016. Wuryanto mengamati mungkin ada respons berlebihan, tapi itu sebatas spontanitas masyarakat yang enggan melihat lagi ideologi usang itu muncul kembali. Ia mengaku TNI masih menyimpan rapi data orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan 1965.

Saat pembubaran pementasan monolog Tan Malaka, saya melihat ada pembiaran dari aparat kepolisian. Massa yang menolak pementasan bisa masuk merangsek dan membuat konflik di kantor IFI yang merupakan bagian dari kedaulatan negara lain. Pementasan baru berjalan lagi keesokan harinya, setelah ada upaya dari pihak panitia mengadukan peristiwa ini kepada Ridwan Kamil sebagai Wali Kota Bandung saat itu. Aparat kepolisian barulah pasang badan di depan IFI. Apa nasibnya pementasan, jika tidak ada protes dan pengaduan dari panitia?

Sedangkan di Yogyakarta, Kejaksaan Tinggi Yogyakarta membantah jika dikatakan merazia buku. Joko Purwanto dari Asisten Intelijen Kejati Yogyakarta mengklaim, pihaknya mengamankan buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk dikaji dengan cara membelinya.

Tindakan dengan cara membeli ini, jadi teringat akan peristiwa seorang aparat yang memborong buku-buku terbitan Ultimus di stand Ultimus saat pameran buku di Landmark. Sejak saat itu, Ultimus tak pernah hadir lagi di pameran dan beberapa kali technical meeting pameran buku selanjutnya selalu dihadiri oleh aparat militer. Entah kebetulan atau tidak, secara hampir bersamaan perpustakaan Sejarah Angkatan Darat juga membuka stand di pameran buku.

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (26): Bersolidaritas Buku di Festival Kampung Kota Dago Elos 2017
MEMORABILIA BUKU (27): Kelindan Simpul Komunitas di Festival Indonesia Menggugat 2016
MEMORABILIA BUKU (28): Larangan Pementasan Monolog Tan Malaka di IFI Bandung

 Pelbagai kliping yang berhasil penulis kumpulan seputar pemberangusan buku di tahun 2016 (Sumber kliping: Deni Rachman).
Pelbagai kliping yang berhasil penulis kumpulan seputar pemberangusan buku di tahun 2016 (Sumber kliping: Deni Rachman).

Pernyataan Bandung

Di Bandung, Mei tahun 2016, saya mencoba mengangkat kembali kliping dan memorabilia penolakan aksi sepihak kepolisian dan ormas. Tepat pada Hari Buku Nasional, sekumpulan kawan-kawan berkumpul di Gedung Indonesia Menggugat membacakan dan menandatangani “Pernyataan Bandung”.

Pagi itu, saya mendapat pesan japri melalui Whatsapp untuk menghadiri undangan pernyataan itu. Saya sengaja menutup toko buku di Baltos lebih awal, demi menghadiri undangan dan bergabung dengan kawan-kawan di GIM. Di sana sudah berkumpul sekumpulan warga Bandung yang rerata adalah kawan-kawan pegiat buku, komunitas, dan seniman.

Acara terlebih dahulu dimulai dengan agenda jumpa pers acara Festival Indonesia Menggugat (FIM) #1 yang akan berlangsung seminggu lagi yaitu pada tanggal 20-22 Mei 2016. Pembukaan FIM bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional dan sedianya akan digelar pameran seni, sastra, pentas seni, diskusi, dan seminar. FIM ini terus berlanjut secara berkala di tahun itu. Mengenai FIM #3 kawan-kawan bisa simak di Memorabilia Buku (27).

Saya hadir di ruang utama seusai jumpa pers. Di sana saya mendapatkan selebaran pernyataan. Seingat saya, saya direkomendasi oleh Agus Bebeng dan didaulat untuk mewakili komunitas buku bersama Ahda Imran dan Semi Ikranegera di depan peserta yang hadir. Dengan menghadap ke kawan-kawan yang hadir, saya dan Semi mengapit Ahda Imran yang membacakan pernyataan.  

Berikut ini isi Pernyataan Bandung: 

PERNYATAAN BANDUNG

Bagi rakyat Indonesia, Bulan Mei bukan hanya sekadar keterangan waktu. Tetapi juga bermakna sebagai ingatan atas peristiwa penting dalam sejarah pergerakan kebangkitan nasional 1908, juga perubahan besar yang terjadi dengan Reformasi 1998. Dan setiap tahun, tanggal 17 Mei juga ditetapkan sebagai peringatan Hari Buku Nasional. Kebangkitan Nasional 1908, Reformasi 1998, Hari Buku Nasional; ketiganya bermakna sebagai kesatuan menuju budaya demokrasi.

Namun, ironisnya pada bulan Mei 2016 inilah terjadi berbagai peristiwa pemberangusan terhadap dunia literasi dan kebebasan berekspresi. Dengan alasan bangkitnya kembali paham Partai Komunis Indonesia (PKI), aparat kepolisian, militer, dan organisasi massa, secara sewenang-wenang melakukan razia dan memberangus buku-buku yang mereka sebut sebagai buku “Kiri”.

Perbuatan anti kebudayaan ini senyata-nyatanya telah melanggar Keputusan Mahkamah Kontitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010. Keputusan tersebut telah membatalkan UU No.4/PNPS/1963, yang selalu dijadikan dasar bagi kejaksaan dalam pemberedelan buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Kejaksaan hanya bisa menyita buku dan barang cetakan lain jika telah mendapat izin pengadilan. Maka, mengingat keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, aparat kepolisian, militer, terlebih organisani massa, tidak berhak melakukan razia dan memberangus buku.

Selain itu, sejak beberapa bulan terakhir, dengan alasan mencegah kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), telah terjadi pula berbagai pemberangusan terhadap kebebasan bereskpresi. Intimidasi dan pembubaran diskusi publik, festival seni budaya, pemutaran film, teater, hingga penyerbuan organisasi massa intoleran ke dalam lingkungan kampus.

Tap MPRS No. XXV Th. 1966 tentang larangan penyebaran paham komunisme yang selalu dijadikan dalih, sesungguhnya telah ditinjau ulang melalui Tap MPR No.1 Th. 2003 melalui Pasal 2 angka 1 yang mengamanatkan tetap adanya “Penghormatan pada prinsip-prinsip keadilan, menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak azasi manusia.”

Di Bandung, ini terjadi pada pementasan Monolog Tan Malaka, penangkapan seniman pantomim, dan penyerbuan organisasi massa ke dalam lingkungan kampus Insititut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Intimidasi dan pemberangusan kebebasan berekspresi ini tak hanya terjadi di Bandung, tapi juga Jakarta dan Yogjakarta. Terjadi pembiaran aparat kepolisan atas kesewenang-wenangan organisasi massa yang bertindak intoleran tersebut.

Atas nama hak-hak kami sebagai warga negara yang dilindungi kontitusi, maka dengan ini, kami pegiat literasi, seniman, aktivis budaya, dan pelaku komunitas kreatif Kota Bandung menyerukan pernyataan: 

  1. Mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan intimidasi dan pemberangusan terhadap buku, diskusi buku, dan aktivitas literasi lainnya;
  2. Mendesak aparat kepolisan dan militer menghentikan pembiaran atas perbuatan organisasi massa intoleran yang mengancam kebebasan bereskpresi;
  3. Mendesak kesungguhan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya melaksanakan UUD, demi mencerdaskan kehidupan bangsa dan budaya demokrasi melalui kehidupan dunia literasi yang sehat, termasuk melindungi hak-hak warga negara dalam kebebasan berekspresi;
  4. Mendesak para pembesar di jajaran pemerintahan untuk berhenti mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang kontra produktif bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, termasuk bagi kelangsungan budaya demokrasi yang sehat;
  5. Menyerukan pada para pemangku kepentingan dalam perbukuan nasional (para penulis, penerbit, penerjemah, penyunting, penjual buku, pembaca, pegiat literasi) dan masyarakat luas; bersatu menolak pemberangusan buku dan kebebasan berekspresi.

Tuhan bersama kita!

Bandung, Gedung Indonesia Menggugat, 17 Mei 2016.

Pernyataan Bandung ditandatangani 144 individu dari kalangan penulis, penerjemah, penyunting, wartawan/ persma, penerbit, penjual buku, seniman, komunitas literasi, aktivis, mahasiswa, dan lainnya.

Berikut ini para penandatangan Pernyataan Bandung:

  1. Ahda Imran (Selasar Bahasa)
  2. Hanief Mochammad (Komunitas Gedung Indonesia Menggugat)
  3. Bilven Sandalista (Ultimus)
  4. Deni (LawangBuku)
  5. John Heryanto (LPM Daunjati)
  6. Ekalaya Adji (Idea Institute)
  7. Sahlan Mustaba (MainTeater Bandung)
  8. Dyaning P. (Media Parahyangan)
  9. Robby Darmawan (LPM Suaka)
  10. Adrian Dwi (BEM UNLA)
  11. Regin WN (BEM FKIP UNLA)
  12. Aditya F. Ihsan (ISH Tiang Bendera ITB)
  13. Renando Yafi (MG – KSSEP ITB)
  14. Nata Adhiyaksya (DPM STKS Bandung)
  15. Arief Rahman H (Media Mahasiswa Indonesia)
  16. Syahid Syawahidul Haq (Unit Pers Mahasiswa UPI)
  17. Wisnu (Perpustakaan Apresiasi)
  18. Indra Prayana (Jaringan Buku Alternatif)
  19. Kukuh Samudera (Lingkar Sastra ITB)
  20. Raka (BEM FIB UNPAD)
  21. Mujia R. Idris (UKSK UPI)
  22. Dasep Sumardjani (Kebun Seni)
  23. Sinatrian Lintang R. (Lingkar Studi Mahasiswa Telkom University)
  24. Zen R.S. (panditfootball.com)
  25. Harold Wilson (LBH Bandung)
  26. Urab (Ultimus)
  27. Rinaldi Fitra Riandi (Unpas)
  28. Rizky A.D. (Unpas)
  29. Muhammad Taufik (STKIP Pasundan)
  30. Ryan R. Akbar (Universitas Telkom)
  31. Lenin (Unhan)
  32. Firman Hidayah K. (STKS Bandung)
  33. Egi Budiana (LPM Jumpa Unpas)
  34. Muhammad Rushdi (Majalah Ganesha ITB)
  35. Rama Prambudhi Dikimara (Dewantara Institute)
  36. Isthiqonita (LPM Suaka)
  37. Adytia F. Ihsan (KM ITB)
  38. Didin Tulus (Ultimus)
  39. Adi (AJI Bandung)
  40. Iqbal AS Hidayat (Gerakan Aktivis 77/78)
  41. Habib (LPM Daunjati)
  42. Immanuel Deporat (LPM Daunjati)
  43. Anton Kurnia (Front Api)
  44. Adi Marsela (AJI Bandung)
  45. Adam Rahadian Ashari
  46. Agung Sedayu
  47. Agus Bebeng
  48. Ahmad Fauzan
  49. Ahmad Nurcholi
  50. Aming Derahman
  51. Andar Manik
  52. Wisnu Primason (Cikuda Papers)
  53. Andika Tazaka
  54. Anwar Siswadi
  55. Ari Adi Purwawidjana
  56. Arif Yogiawan (LBH Bandung)
  57. Bob Teguh
  58. Budi Yoga Soebandi
  59. Budiana Irmawan
  60. Dadan Ramdan Harja
  61. Deddy Koral
  62. Denai Sangdenai Ultimus (Mnemonic)
  63. Dwi Amelia
  64. Dewi Maulani
  65. Doddi Ahmad Fauji
  66. Eko Arif Nugroho
  67. Faiz Ahsoul
  68. Frino Bariarcianur
  69. Furqan AMC (Kabar Kampus)
  70. Goben Gusmiadi
  71. Gusjur Mahesa
  72. Gustaff Harriman Iskandar
  73. Hari Pochang
  74. Hawe Setiawan
  75. Heliana Sinaga
  76. Hermana HMT
  77. Hernadi Tanzil
  78. Heri Dia
  79. Iman Abda
  80. Ipong Witono
  81. Isa Perkasa
  82. Kyai Matdon
  83. Maman Imanulhaq
  84. Mang Dadang
  85. Martha Topeng
  86. Melia Melie Agustine
  87. Mimi Fadmi
  88. Mohammad Chandra (LPM Daunjati)
  89. Muhammad Firman Eko Putra (Festival Indonesia Menggugat)
  90. Muhidin M Dahlan
  91. Mukti Muktimukti Mimesissoul
  92. Oshi Prisepti Koestatan (Studio Jamus)
  93. Rifqi Fadhlurrakhman (Festival Indonesia Menggugat)
  94. Pradetya Novitri
  95. Rahmat Jabaril
  96. Reggi Kayong Munggaran
  97. Ridwan CH Madris
  98. Riyadus Salihin
  99. Sahlam Bahuy
  100. Sapei Rusin
  101. Semi Ikra Anggara (Alumni STSI)
  102. Setiaji Purnasatmoko
  103. Tisna Sanjaya
  104. Ubaidilah Muchtar
  105. Wanggi Hoediyatno
  106. Wawan Sam
  107. Wawan Sofwan (Mainteater Bandung)
  108. Wawan WG
  109. Wili Hanafi
  110. Yopi Setia Umbara
  111. Yusef Muldiyana
  112. Zaky Yamani
  113. Zullfa Nasrullah
  114. Fagih R. Purnama (Media Parahyangan)
  115. Muslim Gifari (Bias Bahasa)
  116. Irfan Teguh P. (Pustaka Preanger)
  117. Farhad Zamani (Majalah Ganesha ITB)
  118. Benny AS (Perpustakaan Antropologi Unpad)
  119. Suka Sapi (Ultimus)
  120. Doni (Ultimus)
  121. Wytny Alia (LMP Jumpa Unpas)
  122. Wildan (STHB)
  123. Iman (RJ Soang)
  124. Fauzan Sazli (Warga Cijerah)
  125. Reni Andriani (ISBI)
  126. Saepul Mujib (ISBI)
  127. Galuh Pangestri Larashati (In The House Project)
  128. Fareza HS (Festival Indonesia Menggugat)
  129. Sultan (Suas Lorong)
  130. Apel Gumilar (Media Parahyangan)
  131. Andrenaline Katarsis (Katarsis Book)
  132. Ismael Faruki (Majalah Ganesha ITB)
  133. Ujang (Front API)
  134. Rudiansyah (Front API)
  135. Fajar Kelana (Festival Indonesia Menggugat)
  136. Edo W Aditiawarma (Festival Indonesia Menggugat)
  137. Hanief Mochamad (Festival Indonesia Menggugat)
  138. Herdiansyah Suhandi (Festival Indonesia Menggugat)
  139. Ghera Nugraha (Festival Indonesia Menggugat)
  140. Wisnu Tri (Festival Indonesia Menggugat)
  141. Abi Koes (Festival Indonesia Menggugat)
  142. An Nisaa Yovani (Festival Indonesia Menggugat)
  143. Dani Yulio Putra (Festival Indonesia Menggugat)
  144. Annas (Festival Indonesia Menggugat)

Kegiatan serupa juga disuarakan oleh kawan-kawan pegiat literasi di Yogyakarta. Mereka menggelar diskusi “Maklumat Buku dari Jogja” di kantor LBH Yogyakarta, 17 Mei 2016. Maklumat yang dikeluarkan dalam acara ini di antaranya mendorong pemerintah menciptakan iklim perbukuan yang sehat dan kompetitif serta memberikan kebebasan diskusi buku (Kliping Koran Tempo, 18 Mei 2016).

Poster digital Undangan Terbuka Hari Buku Nasional: Pernyataan Sikap Bandung terhadap Pemberangusan Buku (Sumber foto: Hernadi Tanzil).
Poster digital Undangan Terbuka Hari Buku Nasional: Pernyataan Sikap Bandung terhadap Pemberangusan Buku (Sumber foto: Hernadi Tanzil).

Upaya Jalur Hukum dan Inisiatif Warga

Kasus pelarangan buku kiri ini mengingatkan saya pada peristiwa 10 tahun sebelumnya (2006) ketika terjadi pembubaran acara diskusi Marxisme di Toko Buku Ultimus oleh ormas. Pembubaran diakhiri dengan penangkapan sejumlah orang yang hadir dalam diskusi. Mereka yang ditangkap lalu dibawa ke kantor Polrestabes Bandung. Beberapa buku di toko buku Ultimus yang dianggap kiri disita oleh sejumlah orang yang membubarkan diskusi itu. 

Kasus pelarangan buku (yang tidak hanya bertema kiri) di tahun 2010 kemudian menjadi pengajuan permohonan beberapa penulis ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon itu di antaranya ada Darmawan M.M. (penulis buku Enam Jalan Menuju Tuhan) dan Muhidin M. Dahlan (penulis Lekra Tak Membakar Buku). Kedua buku karya penulis tersebut dan 20 judul buku lainnya di masa pascareformasi dilarang oleh Kejaksaan Agung sejak tahun 2006-2010. Padahal dari tahun 1998-2005, tak ada pelarangan buku. Kejaksaan berdalih hanya 10 judul yang dilarang pada masa pascareformasi.

Para pemohon mempertanyakan produk hukum UU Nomor 4/PNPS/1963 yang sering menjadi dasar Kejaksaan Agung membredel buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Dan alhasil, Mahkamah Konstitusi mengabulkan poin pemohon tersebut, bahwasanya produk hukum tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Penyitaan dan pelarangan buku harus terlebih dahulu mendapat izin dari pengadilan. Aparat kepolisian, militer, kejaksaan agung, ormas tidak punya wewenang untuk menyita buku.

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 6-13-20/PUU-VII/2010 telah membatalkan UU Nomor 4/PNPS/1963, bertanggal 13 Oktober 2010. Kawan-kawan pembaca bisa mengunduh putusan MK yang berjumlah 255 halaman itu di mesin pencari web.

Upaya jalur hukum menggugat pelarangan buku dan putusan ini, tak disertai dengan sosialisasi massif kepada masyarakat dan aparat, sehingga peristiwa pelarangan buku terjadi lagi enam tahun kemudian.

Namun, ada pola kritis yang perlu menjadi catatan bagi saya. Sikap proaktif warga untuk menentang aksi sepihak pelarangan buku ini, kali itu tak dibiarkan begitu saja berbeda seperti pada kasus Ultimus tahun 2006. Di tahun 2016, para pegiat literasi secara kompak berkumpul dan meneriakkan ketidaksetujuannya terhadap aksi ini yang serentak disuarakan di beberapa kota.

Begitu pula ketika terjadi lagi pasca-Pernyataan Bandung ini yaitu pembubaran perpustakaan jalanan di Cikapayang Bandung dan perpustakaan Apresiasi di Telkom University. Sebagian warga menyikapinya dengan melakukan aksi penolakan dan diskusi-diskusi.

Ketika produk hukum menjadi kebas, maka sikap kritis warga sangat dinanti. Jadinya tak boleh terulang lagi adanya pembiaran terhadap pelarangan buku, pun jika itu terjadi kemudian hari atau seperti menjadi pola pelarangan setiap 10 tahun di kota ini.  Salambuku!

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//