• Kolom
  • MEMORABILIA BUKU (28): Larangan Pementasan Monolog Tan Malaka di IFI Bandung

MEMORABILIA BUKU (28): Larangan Pementasan Monolog Tan Malaka di IFI Bandung

Saya mendapat keterangan bahwa ada sekelompok orang yang mengancam akan membubarkan Monolog Tan Malaka jika tetap dipentaskan.

Deni Rachman

Pemilik Lawang Buku, pegiat perbukuan, dan penulis buku Pohon Buku di Bandung.

Tiket pementasan Monolog Teater Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” yang baru bisa dipentaskan keesokan harinya di IFI (24/3/2016). (Sumber foto: Deni Rachman)

23 Januari 2022


BandungBergerak.idTahun 2016, buat saya menyimpan catatan kelam bagi literasi dan kebebasan berekspresi di Kota Bandung. Mulai dari pelarangan pementasan monolog Tan Malaka, pembubaran pementasan pantomim Wanggi Hoed, ancaman terhadap sekolah Marx di ISBI, pembubaran Perpustakaan Jalanan Bandung, dan pembubaran Perpustakaan Apresiasi di Telkom University.

Khusus peristiwa pelarangan pementasan monolog Tan Malaka di Institut Français Indonesia (IFI) Bandung, saya alami betul Rabu petang itu (23/3/2016). Saya sengaja hendak membeli tiket pentas monolog itu on the spot, sepulang dari kegiatan tadarus buku yang diselenggarakan oleh komunitas Asian-African Reading Club.

Saya berangkat jalan kaki dari Museum Konperensi Asia-Afrika menuju IFI Bandung di Jalan Purnawarman bersama beberapa kawan bertadarus buku. Namun setelah memasuki gerbang gedung, sebuah pengumuman seukuran kertas A4 menempel di kaca kedai. “Acara Monolog Teater ‘Saya Rusa Berbulu Merah’ Dibatalkan”.

Saya lantas terus masuk melewati kedai dan menuju selasar IFI menuju pintu masuk ruang pementasan. Suasana lengang, hanya ada beberapa orang saja yang duduk-duduk di kursi. Di bibir pintu masuk, Osi Prisepti terlihat duduk di meja pendaftaran dan penjualan kaos monolog. Patung manekin perempuan memakai kaos, terpajang di sudut meja.

Pengumuman pembatalan monolog, ditempel di kaca kedai IFI (Sumber: Deni Rachman)
Panitia pementasan Monolog Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” (24/3/2016). (Sumber foto: Deni Rachman) 

Osi adalah salah seorang panitia tim produksi pementasan monolog. Bersama Osi, Pradetya Novitri dan Heliana Sinaga (Pimpinan Produksi), Wawan Sofwan (Sutradara) dan kawan-kawan tim dari Mainteater Bandung sedianya menyelenggarakan Monolog Teater Tan Malaka “Saya Rusa Berbulu Merah” karya Ahda Imran. Aktor Tan Malaka diperankan oleh Joind Bayuwinanda. Sedianya monolog itu akan dipentaskan dalam dua hari, 23-24 Maret 2016 setiap jam 20.00.

Dari Osi dan beberapa kawan yang sudah hadir di lokasi saya mendapat keterangan bahwa ada sekelompok orang yang mengancam akan membubarkan acara itu jika tetap dipentaskan. Ada beberapa utusan panitia yang saat itu sedang menemui Ridwan Kamil selaku Wali Kota Bandung agar mengumumkan jaminan pementasan monolog.

Saya mencoba masuk ke ruang pementasan. Ada Ahda Imran, Heliana Sinaga, Pak Rasyid, dan Pak Mif duduk-duduk di barisan kursi hitam di depan panggung. Sekilas obrolan, Pak Rasyid yang katanya sempat menjadi jurnalis, menegaskan siapa Tan Malaka. Tan adalah sosok Bapak Bangsa bergelar pahlawan nasional yang sudah tercatat dalam sejarah Indonesia.

Kekecewaan yang meliputi kawan-kawan panitia, sangat saya rasakan betul seiring kekecewaan batalnya saya membeli tiket pementasan. Osi berharap semoga besok monolog bisa dipentaskan. Saya memutuskan pulang.

Di luar gerbang, tampak beberapa orang berpeci putih sedang berkerumun dan ada satu-dua aparat polisi. Saya berjalan kaki ke arah Jalan Purnawarman (atas) menaiki angkot yang sedang ‘ngetem’ di seberang kantor provider seluler.

Baca Juga: MEMORABILIA BUKU (25): Kaleidoskop Buku Bandung 2021, Menggelar Lagi Pameran Buku
MEMORABILIA BUKU (26): Bersolidaritas Buku di Festival Kampung Kota Dago Elos 2017
MEMORABILIA BUKU (27): Kelindan Simpul Komunitas di Festival Indonesia Menggugat 2016

Heliana Sinaga (pimpro), Ahda Imran (penulis naskah), dan Rasyid (warga yang akan menonton) sedang terlibat obrolan pelarangan pentas. (Sumber: Deni Rachman)
Heliana Sinaga (pimpro), Ahda Imran (penulis naskah), dan Rasyid (warga yang akan menonton) sedang terlibat obrolan pelarangan pentas. (Sumber: Deni Rachman)

Massa Merangsek Masuk ke Kantor IFI

Tak lama setiba di rumah, saya mendapat kabar dari pesan WA bahwa telah terjadi penyerangan dari sekumpulan pendemo. Mereka merangsek masuk ke selasar IFI. Beberapa foto beredar di gawai. Setahu saya, IFI yang merupakan perwakilan resmi negara Prancis yang berada di wilayah negara RI yang berdaulat tidak sepatutnya diserang seperti itu.

Baru kali pertama, pementasan di gedung perwakilan kebudayaan negara Prancis itu menjadi sedemikian bermasalah dan seperti tiada rasa respek dari pandangan sekelompok penentang pementasan itu. Sedari tahun 2000-an saya kerap mengikuti pelbagai kegiatan kebudayaan di sana, tak pernah ada perilaku tak terpuji yang berujung kisruh. Bukankah ketidaksetujuan bisa tetap dilakukan di luar gerbang dengan berbagai macam teriakan atau hujan hujatan apapun silakan, asal tidak merangsek dan membuat rusuh? Geram, malu, dan kesal bercampur aduk.

Massa para pendemo yang menamakan dirinya Forum Masyarakat Islam Anti Komunis Bandung Raya (FPI, Garis, FUI) terlibat konflik dengan massa yang ada di dalam selasar IFI. (Sumber foto: Istimewa/tersebar dari pesan WA).
Massa para pendemo yang menamakan dirinya Forum Masyarakat Islam Anti Komunis Bandung Raya (FPI, Garis, FUI) terlibat konflik dengan massa yang ada di dalam selasar IFI. (Sumber foto: Istimewa/tersebar dari pesan WA).

Esok hari saya membeli koran dan mendapatkan kabar baik, bahwa pementasan tetap dilangsungkan dengan pengamanan ketat dari kepolisian. Peristiwa rusuh semalam dari informasi yang saya dapat, dimulai dari upaya obrolan antara pihak panitia dan pendemo, sembari menghadirkan Pak Rasyid yang saat itu dianggap sebagai sesepuh. Namun entah mengapa berujung cekcok dan adu mulut, suasana panas dilanjutkan dengan saling menyerang sambil berteriak-teriak. Massa pendemo yang dilansir dari koran Tribun (24/3/2016) adalah gabungan dari FPI, Garis (Gerakan Reformis Islam), dan FUI yang menamakan dirinya Forum Masyarakat Islam Anti Komunis Bandung Raya.

Saya jadi membayangkan peristiwa semalam, ada yang bertemu dengan sang Wali Kota. Lalu pandangan saya sebelum pulang tertuju pada beberapa orang di luar gerbang yang kemudian merangsek masuk. Saya juga mencoba menghubung-hubungkan Ridwan Kamil dengan kebijakannya bahwa Kota Bandung dijuluki Kota dengan ramah HAM. Kebijakan ini diuji dalam peristiwa ini, menjadi pembuktian sang Wali Kota kepada publik.

Pengumuman pembatalan monolog, ditempel di kaca kedai IFI Bandung. (Sumber: DeniRachman)
Pengumuman pembatalan monolog, ditempel di kaca kedai IFI Bandung. (Sumber: DeniRachman)

Pementasan Dijaga Ketat Polisi

Menjelang malam, saya berangkat ke IFI untuk membeli tiket. Setiba di sana, di depan gerbang tampak berjajar aparat kepolisian berjaga-jaga. Saya bergegas menuju meja pendaftaran. Dengan merogoh Rp 30 ribu saya mendapat buku tiket dan panduan monolog. Saya sempat juga membeli satu ukuran kaos monolog sebagai bentuk apresasi dan respek terhadap Osi dan kawan-kawan panitia.

Monolog itu mementaskan fragmen kehidupan Tan Malaka kecil hingga Perang Kemerdekaan. Salah satu bagian monolog menceritakan pertemuan Tan dengan Bung Karno, berupa penyerahan mandat agar Tan memimpin Republik ini jikalau pemimpin pemerintahan – yang berseberangan pemikiran dengan Tan – semuanya ditangkap oleh Belanda.

Sosok Tan lebih memilih berada di tengah pemuda dan laskar rakyat, melakukan gerilya dan bergerak di bawah tanah, ketimbang duduk di kabinet. Menurut pandangan saya, sikap konsistensi Tan makin teruji pascaproklamasi kemerdekaan. Ia memiliki konsepsi yang teguh merdeka 100 persen, menentang konsepsi Maklumat 1 dan 3 November 1945 yang ditandatangani oleh Moh. Hatta yang kemudian berefek pada banyaknya perundingan dengan pihak kolonial.

Aktor Joind Bayuwinanda saat memerankan Tan Malaka (Sumber foto: Deni Rachman).
Aktor Joind Bayuwinanda saat memerankan Tan Malaka (Sumber foto: Deni Rachman).

Menurut Tan, Proklamasi 17 Agustus 1945 memiliki arti kemerdekaan dalam memiliki dan mempergunakan semua sifat dan hak dalam paham kenegeraan. Tidak ada tawar-menawar lagi dengan pihak kolonial.

Tan menegaskan bahwa jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, mereka harus terlebih dahulu menarik tentaranya dari wilayah RI, baru RI boleh membuka perundingan dengan pihak Belanda mengenai bekas hak milik mereka dan lain-lain.

Monolog ini memberi pesan kuat bahwa seseorang mesti kokoh mempertahankan konsistensi merebut diri dan bangsanya dari kekuatan apa pun yang hendak mendominasinya.

Penonton di ruang pementasan sangat padat, banyak pula para pegiat seni hadir memberi dukungan solidaritas terhadap ancaman pelarangan monolog itu. Sampai akhir, pementasan rampung dengan suasana aman meski masih ada rasa was-was. Sampai di satu titik, saya mempertanyakan kembali kebebasan berekspresi seni budaya dan berkegiatan literasi yang selama ini direguk pascareformasi, akankah kelak terjadi lagi?

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//