PELAJAR BERSUARA: Kritik Seksis pada Politisi Perempuan dan Pelanggengan Budaya Patriarki
Kita luput menyadari kondisi objektif bahwa hari ini perempuan masih menjadi kelompok rentan dan korban mutlak masyarakat yang masih patriarkal.

Nayla Wulandari
Pelajar SMKN 26 Jakarta.
27 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Demonstrasi Agustus 2025 menjadi salah satu titik didih aksi pasca Reformasi 1998. Laju informasi berhasil membawa asap amarah rakyat dan menjalarkannya pada api perjuangan ke berbagai kota di Indonesia. Meski tetap saja para elite kuasa tetap tebal muka dengan segala penindasannya.
Kemarahan rakyat yang membuncah berhasil memantik segala kalangan untuk melawan penindasan. Tak hanya buruh tani, mahasiswa, kaum marginal dan miskin kota yang bergerak, juga masyarakat elite, kelas menengah, pekerja informal, bahkan pelajar ikut memenuhi berbagai sektor titik aksi.
Aksi digalang semakin kreatif. Dimulai dari aksi unjuk rasa di Mako Brimob dan kantor-kantor kepolisian di sejumlah kota, aksi solidaritas warga bantu warga, panggung mimbar bebas, gaung power-pink dan green-resistance di media sosial, tuntutan 17+8 di Instagram, hingga kritik seksis terhadap para elite politik. Dari insureksi, aksi damai, hingga aksi solidaritas warga bantu warga tapi tetap satu makna: bahwa rakyat masih mampu memutus rantai penindasan yang menjerat lehernya sendiri!
Modernitas perjuangan tidak boleh lepas untuk direfleksikan kembali oleh kita, insan perjuangan. Seperti kata Minke dalam Bumi Manusia, bahwa “Selaku kaum terpelajar, kita mesti adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.” Elite politik hari ini telah gagal menjadi wajah kekuasaan yang baik; hipokrit juga kita, apabila enggan melakukan kritik diri atas perjuangan yang selama ini kita gaungkan.
Bagi penulis, bila revolusi yang kita tuntut begitu besarnya, ada baiknya revolusi itu harus kita mulai dari dalam diri kita sendiri.
Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Memaknai Jingga Karya  Efek Rumah Kaca
PELAJAR BERSUARA: Ketika Pemerintah Membuka Gerbang Bahaya di Ruang Digital
PELAJAR BERSUARA: Kaburnya Batas antara Pakar dan Pemengaruh
Inisiasi Kelahiran Penindasan Baru
Dalam aksi Agustus 2025, sebuah mural cat semprot bertajuk “Memek Puan bau” tersohor di penjuru Senayan. Tak hanya mendekam di tembok Gedung DPR RI, jejaknya ikut menggema dan menyambangi kita lewat media sosial.
Puan Maharani memang sosok elite politik yang pantas dikritik. Sah-sah saja mengkritik Puan melalui cara apa pun. Sebagai Ketua DPR RI, ia sudah menjadi ihwal ketertindasan rakyat hari ini.
Namun, kritik seksis pada politisi perempuan tersebut membuat Penulis menyoroti satu hal: mural cat semprot bertajuk “Memek Puan Bau” tak dapat hanya dibaca melalui kacamata kemarahan rakyat . Justru, kalimat tersebut mengindikasikan realitas masyarakat kita yang masih patriarkal.
Seksisme organ reproduksi seperti yang dialami Puan Maharani memang bukan hal baru. Kita akrab menyambangi seksisme serupa dalam interaksi yang lebih mikro dalam kehidupan sehari hari, terutama di sektor masyarakat miskin dan marginal. Sudah jadi normalisasi brutal kalimat-kalimat objektifikasi perempuan terpampang di kanopi belakang truk muatan besar, toilet umum, dan kini dilayangkan langsung pada elite politik.
Masyarakat yang patriarkal mengizinkan amarah untuk menyenggol detail nirsubstansi. Sehingga, seksisme terhadap elitis perempuan dianggap sepele. Kita luput menyadari kondisi objektif bahwa hari ini perempuan masih menjadi kelompok rentan dan korban mutlak masyarakat yang masih patriarkal.
Ruang aman bagi perempuan di Indonesia terimpit berbagai faktor, mulai dari budaya, stigma, kelas sosial, hingga agama yang melekat pada patriarki itu sendiri.
Perlu kita insafi bahwa kondisi liyan perempuan tidak serta merta hadir begitu saja. Semua faktor yang mendasari kekerasan simbolik dari langgengnya patriarki tidak selalu hadir melalui tajuk yang dianggap “negatif” dan tak berpihak.
Mula-mula hegemoni ditanamkan melalui agama dan tradisi, mereka melekat menggunakan janji-janji “baik” dan “adil”. Narasi usang demi “melindungi perempuan” terus digeret, seolah perempuan adalah gender yang mesti dilindungi –ia lebih lemah dari gender lainnya, bahkan jauh dari kata setara.
Narasi yang menempatkan perempuan sebagai gender yang lebih lemah kemudian bertransformasi menjadi normalisasi yang menindas perempuan baik mikro hingga ke makro. Ia melecehkan nilai perempuan dalam tatanan masyarakat. Ironinya, kondisi ini lama kelamaan menjadi stagnan reaktif atas relasi kuasa yang terbentuk dalam dinamika sosial masyarakat yang patriarkal.
Patriarki telah berhasil mendorong narasi segala keintiman feminitas perempuan sebagai posisi “liyan” dan “lebih lemah dari yang lainnya”, sehingga organ intim yang tidak bersubstansi sekalipun dijadikan mastrubasi komoditas yang masih rutin diserang.
Meluasnya sasaran objektivitas perempuan dalam kelas yang makin melebar dalam kritik seksis untuk Puan Maharani menambah catatan hitam baru, bahwasanya tidak ada lagi kelas sosial yang aman bagi tubuh perempuan. Sekalipun, ia berada dalam kelompok elite negara.
Coretan mural “Memek Puan Bau” sama sekali tidak membredel organ kewanitaan seorang Puan Maharani. Lebih dari itu, ia justru tengah membredel hak hidup perempuan lain yang berada di kelas ekonomi dan sosial jauh di bawah Puan Maharani.
Hari ini, Puan Maharani memang tidak akan langsung tersuruk atas seksisme “Memek Puan Bau”. Perempuan elite itu masih bisa memilih menu makanan di resto favoritnya, atau ia tak perlu khawatir mendapat pelecehan fisik karena memperoleh penjagaan ketat sebagai pejabat negara. Namun, bagi perempuan marginal dan miskin yang tak memiliki power atau sumber daya lebih, bahkan untuk memenuhi kebutuhan fundamennya, nyala harapan itu redup dihembus angin. Ia telah sempurna mati.
Kita giat menggemakan slogan “Hidup Perempuan yang Melawan”. Tapi jenis tindakan perempuan seperti apakah yang kita terima sebagai bentuk melawan, sedang realitas memenuhi fundamen hidup saja belum tentu mampu dipenuhi dengan layak?
Catatan dari Seorang Perempuan
Kita, saya, kamu, dan semua kelas tertindas hari ini sudah jengah ditindas habis oleh penguasa dan ragam bentuk kekerasan yang sengaja ditanamnya. Hak hidup diberangus, kematian menjadi sekadar angka, dan ruang aman menjadi imajiner utopian saja.
Bagi perempuan, hidup di Indonesia sudah bentuk perlawanan. Maka, apabila sebegitu besarnya kita mengutuk penindasan hari ini, bagaimana kalau tanpa kita sadari, justru kita menjadi pelaku yang menginisiasikan ruang kerentanan baru bagi kelompok gender yang belum sempat mengecap ruang hidup yang aman.
Puan Maharani memang berada di posisi yang dilematis: antara posisinya sebagai seorang yang duduk di tampuk kekuasaan, juga posisi ketertindasannya sebagai perempuan saat organ intimnya diangkat sebagai komoditas protes yang nirsubstansi.
Tapi tidak berarti kekecewaan yang beruntun tersebut dapat menjadi pemakluman bergesernya nilai-nilai dalam gerakan yang sudah sepakat mengutuk patriarki. Insan perjuangan sudah semestinya teguh mengemban nilai-nilai perjuangan itu sendiri dan merefleksikan setiap detail bentuk perjuangan yang kita upayakan.
Jangan sampai perjuangan kita malah mencederai nilai-nilai yang sudah kita sepakati. Bahkan, mengaburkan pandangan atas efek domino lahirnya bentuk penindasan baru yang dapat terjadi. Angin perubahan lewat bara amarah kita harus membakar penindasan yang konkret. Kita harus segera meninggalkan hal-hal nirsubstansif yang tak akan mengubah apa-apa.
***
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Pelajar Bersuara

