PELAJAR BERSUARA: Kaburnya Batas antara Pakar dan Pemengaruh
Hari ini kepercayaan publik tidak lagi hanya ditentukan oleh pengetahuan, tetapi oleh siapa yang paling pandai mengemasnya di layar ponsel.

Farhan M Adyatma
Siswa di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Malang
19 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Di zaman ketika suara seseorang bisa viral hanya karena cara bicaranya menarik, kita jadi perlu bertanya: siapa yang lebih dipercaya –yang belajar bertahun-tahun atau yang pandai bicara di depan kamera? Otoritas pengetahuan tidak lagi ditentukan di ruang kelas atau jurnal ilmiah, tetapi oleh algoritma dan impresi digital. Inilah era ketika batas antara "pakar" dan "influencer (pemengaruh)" semakin sulit dikenali dan dibedakan.
Matinya kepakaran, sebuah fenomena yang tidak akan ada habisnya untuk dibahas hingga hari ini, sebuah fenomena yang terus menjadi momok di tengah maraknya banjir informasi digital. Fenomena "matinya kepakaran" singkatnya adalah ketika suara pakar dianggap sama dengan suara publik. Terutama di era sekarang yang merupakan era media sosial, suara pakar dianggap sama dengan suara pemengaruh.
Anggapan bahwa "publik kurang –atau bahkan tidak– percaya pada pakar" tampak seperti hantu yang menakutkan. Seorang pakar yang sudah bertahun-tahun dan mungkin puluhan tahun menjadi spesialis di suatu bidang keilmuan, suaranya bisa dianggap sama atau bahkan tidak dianggap keberadaannya di hadapan pemengaruh dengan ratusan ribu dan bahkan jutaan pengikutnya.
Namun, survei dari Tirto bersama Jakpat pada 1 Juli 2025 mungkin sedikit menyangkal anggapan tersebut. Dari 1.238 responden yang disurvei, sebanyak 46,61 persen lebih percaya pada pakar, 42,57 persen percaya pakar dan pemengaruh secara bersamaan, dan 10,82 persen sisanya lebih percaya pada pemengaruh. Artinya, meski tidak dominan, responden cenderung lebih mempercayai pakar dibanding pemengaruh.
Walaupun begitu, saya memiliki pertanyaan. Apakah benar publik sekarang lebih percaya pada pakar? Atau jangan-jangan, selama ini publik keliru menganggap bahwa pemengaruh yang mereka percaya adalah sebagai seorang "pakar" hanya karena pemengaruh tersebut tampil meyakinkan di layar ponsel?
Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Mendefinisikan Ulang Dinamika Tatanan Dunia
PELAJAR BERSUARA: Andaikan Kampus Setuju Menerima Konsesi Tambang
PELAJAR BERSUARA: Ketika Pemerintah Membuka Gerbang Bahaya di Ruang Digital
Menjernihkan Definisi Pakar dan Pemengaruh
Mari kita jernihkan dahulu definisi dari "pakar". Menurut Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul Matinya Kepakaran (2016), pakar adalah orang yang memiliki pengetahuan secara "komprehensif" dan "otoritatif". Ada banyak pakar di dunia ini dan mudah sekali untuk kita temukan. Misalnya seperti dokter, insinyur, pilot, sutradara film, dan pianis, mereka adalah "pakar" di bidangnya masing-masing.
Ketika Anda ingin menafsirkan hasil tes darah, Anda memerlukan konsultasi ke dokter. Ketika Anda ingin membangun rumah, Anda memerlukan arsitek yang merencanakan, mendesain, dan mengawasi konstruksi bangunan rumah Anda. Ketika Anda ingin memotret produk yang Anda jual dengan kualitas foto yang bagus, Anda memerlukan fotografer profesional.
Dari contoh tersebut, bisa diartikan bahwa pakar adalah orang-orang yang jauh lebih tahu di suatu bidang tertentu ketimbang mayoritas orang. Pakar adalah sosok yang dicari ketika ada orang lain yang membutuhkan nasihat, pendidikan, atau solusi dalam bidang tertentu.
Cara membedakan pakar dengan orang awam adalah dengan melihat perpaduan pendidikan, bakat, pengalaman, dan pengakuan dari rekan sejawat. Pendidikan formal adalah tanda status keahlian yang paling jelas dan paling mudah untuk dilihat. Begitu juga dengan sertifikasi yang berfungsi sebagai bukti kepada orang lain bahwa kemampuan mereka telah ditinjau oleh rekan sejawat dan memenuhi standar dasar kompetensi (Nichols, 2016:36).
Sekarang mari kita jernihkan definisi dari "pemengaruh". Dalam Pengaruh Influencer Marketing Sebagai Strategi Pemasaran Digital Era Moderen (Sebuah Studi Literatur) (2018), Novi Tri Hariyanti dan Alexander Wirapraja menyatakan bahwa influencer atau pemengaruh adalah seseorang atau figur yang ada di media sosial yang memiliki jumlah pengikut yang banyak atau signifikan. Pendapat atau opini dari pemengaruh yang dilontarkan hampir bisa dipastikan dapat mempengaruhi atau merespons perilaku dari para pengikutnya.
Di mana Batas antara Pakar dan Pemengaruh?
Saya melihat bahwa publik di sini sebagian besar mungkin masih bingung dengan perbedaan antara "pakar" dan "pemengaruh" di media sosial. Tidak sedikit orang yang mengira bahwa seseorang adalah "pakar" hanya karena dirinya sering muncul di layar ponsel dan terdengar pintar.
Ranny Rastati dalam Fenomena Influencer: Mengapa Mereka Lebih Dipercaya daripada Pakar? (2024), menyatakan bahwa pemengaruh dengan banyaknya jumlah followers, like, comments, dan view dapat menjadi bukti bahwa opini influencer/pemengaruh tersebut dianggap relevan dan penting bagi orang lain. Dengan demikian, para pemengaruh pun berhasil mendapat pengakuan sebagai "pakar" –terutama oleh para pengikutnya– dan ketenaran akibat pengaruh media sosial.
Seorang pemengaruh sangat mungkin untuk membuat konten yang membicarakan suatu bidang keilmuan tertentu, tetapi dia sendiri mempelajarinya secara otodidak dan tidak melewati proses pendidikan formal dan sertifikasi di bidang keilmuan tertentu yang tengah ia bahas tersebut. Dengan kata lain, dalam membicarakan suatu bidang keilmuan tertentu, pemengaruh tidak terlebih dahulu melewati suatu proses –seperti pendidikan formal dan sertifikasi– yang harus dilalui oleh seseorang untuk menjadi pakar.
Namun, dengan kekuatan eksposur yang dimiliki oleh pemengaruh berupa banyaknya jumlah followers, like, comments, dan view membuat apa yang disampaikan oleh pemengaruh tersebut diterima –secara mentah-mentah tentunya– oleh publik. Padahal, tidak semua konten di media sosial itu dapat dibuktikan kebenarannya.
Ketika pemengaruh diposisikan layaknya "pakar", sementara para pakar enggan "turun ke bawah" membersamai publik dan lebih memilih untuk berada di menara gading, terbentuklah situasi rawan di mana informasi yang beredar sulit –atau bahkan tidak dapat– diverifikasi kebenarannya. Lebih parahnya lagi, informasi semacam ini justru dikonsumsi luas oleh publik dan perlahan membentuk pemahaman yang menyimpang dari fakta sebenarnya.
Pertanyaan “di mana batas antara pakar dan pemengaruh” menjadi semakin relevan ketika "otoritas pengetahuan" kini bisa dibentuk bukan oleh proses akademik, melainkan oleh algoritma dan keterampilan komunikasi digital. Dalam ruang digital, pakar dan pemengaruh sama-sama bisa membicarakan topik yang sama, tetapi dengan legitimasi yang berbeda: yang satu berasal dari proses ilmiah, dan yang satu dari popularitas. Batas antara keduanya menjadi kabur serta menuntut publik untuk lebih cermat dalam membedakan mana informasi yang bersandar pada keahlian, dan mana yang sekadar tampil meyakinkan.
Namun, apakah keberadaan pemengaruh ini salah? Bagi saya, jelas tidak salah selama informasi yang disampaikan oleh pemengaruh tersebut itu benar. Maka, di sini yang perlu diedukasi adalah publik itu sendiri. Publik perlu diedukasi secara terus-menerus tentang verifikasi fakta dan tidak menerima informasi secara mentah-mentah dari para pemengaruh tersebut.
Namun, apakah publik harus terus-menerus disalahkan karena tidak cakap dalam verifikasi fakta? Bagi saya, publik tidak bisa terus-menerus disalahkan dan pakar harus bersuara. Sembari adanya edukasi publik mengenai verifikasi fakta, pakar di sini mungkin bisa mengambil posisi sebagai expert influencer.
Expert Influencer sebagai Solusi
Untuk mengatasi fenomena "matinya kepakaran" ini, jelas pakar tidak bisa diam saja dengan terus berada di menara gading. Meminjam ungkapan Iqbal Aji Daryono, "Maka, taruh dulu bakwan scopus-nya, dan mulailah ikut berbincang-bincang dengan semuanya. Sodorkan pandangan yang tajam, ilmiah, akurat, tapi tetap dengan gaya para pengunjung warung kopi yang tak sudi mendengar istilah-istilah sekolahan yang ngeri-ngeri."
Yang dimaksud expert influencer di sini adalah pakar yang juga aktif membagikan ilmunya lewat media sosial, sehingga mereka punya pengaruh di media sosial layaknya pemengaruh. Selain itu, aktifnya pakar di media sosial juga bisa semakin memperkuat kredibilitasnya sebagai seseorang yang ahli di bidang tertentu.
Kehadiran expert influencer –kalau boleh disebut demikian– seperti Bagus Muljadi (Asisten Profesor Teknik Kimia dan Lingkungan di Universitas Nottingham), Rhenald Khasali (akademisi dan praktisi bisnis), dan Fajrul Falah (fisikawan) yang aktif di media sosial menjadi angin segar untuk mengatasi fenomena "matinya kepakaran" yang terjadi khususnya di Indonesia. Kehadiran mereka juga bisa menjadi "pengecek fakta" untuk informasi suatu ilmu pengetahuan yang beredar di internet dan dikonsumsi oleh publik.
Pakar diharapkan bisa menyampaikan suatu informasi ke publik dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan tidak menggunakan istilah yang rumit. Arli Aditya Parikesit dalam Diskursus “matinya kepakaran” di media sosial (2024), para ilmuwan atau pakar perlu menyampaikan informasi melalui pendekatan naratif seperti bercerita (storytelling), atau dengan memanfaatkan elemen visual seperti infografik, supaya pesan yang disampaikan lebih menarik dan mudah dipahami.
Pada akhirnya, untuk mengatasi fenomena "matinya kepakaran", salah satu tindakan yang diperlukan adalah tindakan dari pakar itu sendiri. Pakar harus "turun ke bawah" dan membersamai publik. Mungkin berat sebagai pakar untuk menyampaikan informasi kepada publik, mengingat terdapat risiko pakar bisa ditentang jika informasinya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh publik atau bertentangan dengan kepercayaan publik.
Namun, demi mempertahankan "otoritas pengetahuan" yang dimiliki oleh pakar, maka beradaptasi dengan zaman adalah sebuah jawaban agar "otoritas pengetahuan" itu terus ada pada pakar. Ketika pakar gagal beradaptasi dengan zaman, semakin lama "otoritas pengetahuan" akan bergeser dan menjauh dari pakar, utamanya bergeser ke pemengaruh dengan kemampuannya memberikan informasi yang mudah dipahami oleh publik tetapi tidak dibekali dengan kemampuan verifikasi fakta yang memadai.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Pelajar Bersuara