PELAJAR BERSUARA: Ketika Pemerintah Membuka Gerbang Bahaya di Ruang Digital
Pemerintah harus menjelaskan dengan transparan kerja sama dengan Amerika Serikat yang mencakup transfer data pribadi warga.

Adiya Rafa Nugraha
Siswa Kelas XII di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Bandung
11 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Beberapa waktu lalu, wacana soal data pribadi kembali membakar ruang digital. Bukan karena kebocoran data dari peretasan, bukan pula karena penipuan berbasis OTP yang marak terjadi, melainkan sebuah kabar resmi: pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto, menyetujui kerja sama dengan Amerika Serikat yang salah satu poinnya mencakup transfer data pribadi warga negara Indonesia.
Di tengah era di mana data sama berharganya dengan “minyak”, data diperjualbelikan, disalahgunakan, dan diperebutkan oleh banyak aktor. Pengabaian pemerintah terhadap kedaulatan data bukan sekadar kelalaian teknis. Ini adalah bentuk kekerasan struktural yang dibungkus jargon diplomasi dan kerja sama antarnegara. Sebagai pelajar yang tumbuh di ekosistem digital, saya tidak hanya terdampak, tapi juga merasa terancam. Ketika negara tak mampu menjaga data warganya, bagaimana bisa kita merasa aman di tanah air sendiri?
Mari kita luruskan satu hal dulu: data bukan hanya angka. Dalam data, tersimpan pola. Dalam pola, tersimpan perilaku. Dalam perilaku, tersimpan kekuasaan. Maka, menyerahkan data ke negara lain, terutama negara dengan histori panjang sebagai pengontrol geopolitik global seperti Amerika Serikat, sama artinya dengan memberikan kunci rumah kepada orang asing, lalu berharap mereka tak akan masuk ke kamar pribadi kita.
Pemerintah berdalih bahwa kerja sama ini bersifat strategis. Namun, tidak ada penjelasan rinci mengenai data apa yang akan ditransfer, bagaimana proses perlindungannya, dan apakah rakyat memiliki kendali atas datanya sendiri. Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang disahkan pada 2022 sejatinya menjadi landasan untuk mencegah penyalahgunaan data, namun hingga kini regulasi turunannya belum tuntas. Maka, kerja sama ini tak ubahnya seperti menyerahkan kapal besar tanpa nakhoda ke pelabuhan asing.
Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Mendefinisikan Ulang Dinamika Tatanan Dunia
PELAJAR BERSUARA: Memaknai Jingga Karya  Efek Rumah Kaca
PELAJAR BERSUARA: Masuk Sekolah Jam 06.30 Pagi dan Ilusi Disiplin
Mengapa Kita Harus Curiga?
Kita belajar sejarah, bukan? Kita tahu bagaimana negara adidaya seperti Amerika membangun kekuasaannya dengan kontrol informasi dan intervensi halus melalui lembaga multinasional. Contoh paling nyata adalah program PRISM dari NSA (National Security Agency) yang membocorkan bahwa Amerika telah memata-matai jutaan data warga dunia, termasuk sekutunya sendiri.
Jadi, jika pemerintah Indonesia mengatakan bahwa transfer data ini aman, pertanyaannya adalah: aman untuk siapa? Bukan mustahil kerja sama ini menjadi pintu masuk untuk pengawasan yang lebih masif, tidak hanya oleh negara sendiri, tapi juga oleh kekuatan global yang bisa mengendalikan opini publik lewat algoritma, iklan, dan manipulasi digital.
Sebagai pelajar, saya dan teman-teman saya adalah pengguna aktif dunia digital. Kami mengunggah, mencari, dan menyimpan informasi hampir setiap detik. Kami percaya bahwa dunia maya bisa menjadi ruang yang setara, tempat kami bisa tumbuh, belajar, dan bersuara. Tapi bagaimana jika suara itu diawasi? Bagaimana jika jejak digital kami disimpan oleh kekuatan asing dan digunakan untuk mengatur kami berpikir dan memilih?
Apa yang pemerintah lakukan bukan hanya kesalahan teknokratis, tapi juga pengkhianatan terhadap generasi muda. Kami yang akan hidup lebih lama dalam era digital ini justru tak dilibatkan dalam perumusan arah kebijakan digital nasional. Kami hanya objek, padahal kami seharusnya jadi subjek: aktor yang sadar, kritis, dan punya kuasa atas data sendiri.
Istilah “kedaulatan digital” seharusnya menjadi kompas utama dalam setiap kebijakan teknologi. Tapi nyatanya, istilah ini seolah tak pernah dibaca dalam rapat kabinet. Padahal banyak negara mulai menyadari bahwa kedaulatan di abad 21 bukan lagi soal batas geografis, tapi soal siapa yang memegang server, mengelola data, dan mengatur lalu lintas informasi.
India, misalnya, telah mulai membangun data localization policy yang ketat, mewajibkan perusahaan asing menyimpan data warga negaranya di server dalam negeri. Uni Eropa bahkan lebih jauh dengan regulasi GDPR yang keras dan berpihak pada warga. Sementara Indonesia? Kita justru menyerahkan kedaulatan itu secara pro bono atas nama kerja sama.
Apa Dampaknya bagi Kita?
Kamu mungkin berpikir: “Ya udah sih, emang ngaruh ke aku?” Ngaruh banget. Dengan data, pihak asing bisa memahami psikologimu, preferensimu, pola tidurmu, bahkan posisi politikmu. Coba bayangkan jika algoritma medsosmu mulai diarahkan untuk memperkuat ideologi tertentu, atau menghindarkan kamu dari informasi penting demi kepentingan pihak tertentu. Inilah bentuk penjajahan baru yang lebih senyap.
Lebih lanjut, ketika data pribadi digunakan untuk kepentingan keamanan negara lain, misalnya identifikasi calon aktivis, pemimpin muda, atau gerakan sosial, maka masa depan demokrasi kita benar-benar di ujung tanduk. Siapa yang menjamin aktivis digital tidak akan dibungkam secara algoritmis? Atau bahkan secara fisik?
Kami tidak anti kerja sama. Tapi kami anti pada kebijakan yang tidak transparan dan tidak partisipatif. Kami ingin negara yang terbuka, yang melibatkan rakyatnya sebelum mengambil keputusan besar. Terutama dalam hal yang menyangkut data pribadi, yang hari ini lebih sakral dari sekadar KTP atau paspor.
Pemerintah harus membuka naskah kerja sama secara publik. Harus menjelaskan secara terbuka: data apa saja yang diserahkan, siapa yang akan mengelolanya, dan bagaimana rakyat bisa mengakses serta mengontrol data tersebut. Ini bukan hal teknis. Ini soal martabat bangsa.
Di masa depan, mungkin pertempuran bukan lagi di medan perang fisik, tapi di dashboard, server, dan cloud. Dan kita, warga biasa, jadi pion. Maka, keputusan pemerintah hari ini bukan sekadar strategi diplomatik, tapi taruhan atas masa depan kita semua.
Sebagai pelajar, saya hanya ingin mengatakan: kami tidak bodoh. Kami tahu data kami berharga. Kami tahu siapa yang diuntungkan dari kerja sama yang tidak adil. Dan kami tidak akan diam.
Bandung bergerak karena generasinya berpikir. Dan hari ini, kami memilih untuk bersuara.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Pelajar Bersuara