PELAJAR BERSUARA: Memaknai Jingga Karya Efek Rumah Kaca
Lagu Jingga besutan Efek Rumah Kaca menarasikan tentang Aksi Kamisan. Ia adalah cara untuk terus mengingat, meski dalam dunia yang sering kali lebih mudah melupakan.
Muhamad Rafi Pasha Al-Hakim
Pelajar SMAN 1 Depok
20 Januari 2025
BandungBergerak.id – "Di setiap kamis, nyali berlapis”. Begitulah sepenggal larik dari lagu berjudul “Jingga”. Lagu tersebut berisi sebuah pesan yang dibuat dengan cemerlang oleh grup musik Efek Rumah Kaca. Mereka bernarasi tentang adanya sebuah aksi di setiap hari Kamis. Namanya Aksi Kamisan. Para pesertanya, adalah mereka yang sedang menuntut keadilan atas pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Bahaya Perundungan dalam Dunia Pendidikan
PELAJAR BERSUARA: Pemerataan sebagai Jalan Terbuka untuk Kemajuan Pendidikan Indonesia
PELAJAR BERSUARA: Mendefinisikan Ulang Dinamika Tatanan Dunia
Elegi — 1
Aksi Kamisan ini tidaklah sumir, melainkan sudah bertahun-tahun berada dan dilakukan di seberang istana. Jika dikaji dengan seksama, Aksi Kamisan ini sudah dimulai sejak tahun 2007. Artinya sudah begitu lama mereka menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab. Mereka berkumpul karena sadar bahwa negara sengaja mengabaikan berbagai kasus pelanggaran HAM.
Dengan melakukan “Aksi Kamisan” atau yang dikenal juga dengan sebutan “Aksi Payung Hitam”, maka sekaligus mereka itu mengupayakan kebenaran, mencari keadilan, dan melawan kelupaan. Sampai detik ini jelas belum ada inisiasi pemerintah untuk bertanggung jawab. Aksi Kamisan memilih untuk 'diam' sebagai wujud tuntutan pada pemerintah.
Menurut informasi yang tertuang dalam Aksikamisan.net, “diam” berarti telah kehilangan hak-hak sebagai warganegara, dan “berdiri” melambangkan bahwa korban/keluarga korban pelanggaran HAM. Dari sana, dan/atau dari mereka, kita bisa belajar bahwa sebagai warganegara, kita punya hak di bumi pertiwi Indonesia dan sadar bahwa hak itu tidak gratis bisa didapat, terlebih-lebih ketika pemerintah tidak mau peduli.
Dinamika — 2
Di setiap hari kamis, wajah -wajah yang datang selalu dinamis. Simpul massa juga selalu beregenerasi. Ini juga bisa menjadi ruang untuk membangun ingatan anak-anak muda bahwa banyak pelanggaran HAM yang pernah terjadi. Seperti misalnya penembakan Semanggi 1, Semanggi 2, dan penembakan Mahasiswa Trisaksi, serta penghilangan paksa aktivis. Juga kerusuhan Mei 1998, Talangsari Lampung, Tanjung Priok 1984, tragedi 1965, pembunuhan aktivis HAM Munir dan tragedi Wasior-Wamena dan masih banyak lagi.
"Yang hilang Menjadi katalis, Di setiap kamis, Nyali Berlapis, Marah Kami Senyala api, Di depan istana berdiri ," begitu petikan dari lagu Jingga, Efek Rumah Kaca.
Bahkan, narasi -narasi Aksi Kamisan ini selalu muncul di ruang-ruang diskusi, sebagai tanda bahwa masih ada yang peduli terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi di Indonesia. Berbagai medium seperti pamflet dan sebagainya, turut serta membuat distribusi informasi atas narasi-narasi yang diperjuangkan dalam Aksi Kamisan ini kian meluas ke dalam format yang berbeda-beda. Mereka menyentuh kaum muda agar lebih peduli.
Bangku — 3
Efek Rumah Kaca juga membuat segelintir orang sadar, setidaknya mereka mendengar, bahwa banyak problematika sosial khususnya berisi persoalan tentang HAM yang tidak bisa juga digubris oleh orang dengan kuasa penuh di atas sana. Mungkin saja bisa, tapi kapan kira-kira?
Dengan lagu-lagunya yang eksentrik dan bernyali, Efek Rumah Kaca atau ERK seolah berambisi untuk membangunkan kesadaran tiap individu betapa pentingnya menaruh atensi penuh kepada isu-isu seperti ini. Cholil bersama dengan rekan-rekannya giat melemparkan lirik-lirik yang tajam, serta memberikan ruang bagi generasi muda untuk merenung, dan menyentuh mereka yang mungkin tidak tahu atau tidak peduli.
"Sebagai gerakan, ya, dia cukup besar, lah. Berhasil menjadi tempat orang belajar. Bukan hanya melakukan aksi, tapi jadi tempat belajar untuk pendidikan politik juga di situ," ucap Cholil Mahmud, di Kanal YouTube LBH Jakarta, yang berjudul Langit Diponegoro.
Lagu-lagunya juga dapat mengingatkan kita pada apa yang sudah lama terlupakan, pada luka yang belum sembuh, sekalipun belum terjawab. Ia termanifestasi pada orang-orang yang bernaung di dalam Aksi Kamisan. Ia adalah cara untuk terus mengingat, meski dalam dunia yang sering kali lebih mudah melupakan. Jika kita turut melupakan, maka kita membiarkan ketidakadilan terus berkembang.
Banyak yang bilang kalau keadilan tidak akan datang dengan sendirinya, apalagi jika kita terus membiarkan sejarah terkubur dalam kebisuan. Saya kira itu benar. Karena itu, setiap individu di Aksi Kamisan seolah memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga memori kolektif, agar luka-luka lama tidak hanya menjadi bayang-bayang yang melupakan, tetapi untuk dijadikan pelajaran yang mengingatkan kita semua, untuk tidak jatuh pada kesalahan yang sama. Dalam setiap langkah yang dipijak, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari komunitas, Aksi Kamisan mengajarkan bahwa kita harus berani mempertanyakan ketidakadilan dan memperjuangkan kebenaran, meski itu berarti melawan arus.
Sebenarnya masih banyak inspirasi lainnya yang bisa didapat dari Aksi Kamisan dan Lagu Jingga atau lagu-lagu Efek Rumah Kaca pada umumnya. Khususnya bagi pelajar, menurut saya bisa menumbuhkan kesadaran kritis sekaligus empati dalam diri, dan menyadari jika sejarah kelam tidak dipelajari dengan baik, maka berpotensi terulang kembali di masa depan. Ini juga penting untuk memahami betapa rapuhnya sebuah peradaban yang lupa pada hak asasi dan keadilan.
Sebab jika diam, bukan hanya kehilangan kesempatan untuk memperbaiki yang salah, tetapi juga memberikan ruang bagi ketidakadilan untuk berkembang lebih jauh, lebih dalam. Bagi saya, selaku pelajar yang sedang berupaya mencari informasi secara objektif, saya sangat mengapresiasi gerakan Aksi Kamisan ini. Menurut saya, bahkan bisa menjadi pelajaran yang benar-benar membuat kita sebagai warga negara sadar bahwa ada orang-orang yang selalu ingin mengungkapkan kebenaran. Dan kita tidak bisa ikut mengabaikannya.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Pelajar Bersuara