• Opini
  • PELAJAR BERSUARA: Masuk Sekolah Jam 06.30 Pagi dan Ilusi Disiplin

PELAJAR BERSUARA: Masuk Sekolah Jam 06.30 Pagi dan Ilusi Disiplin

Perubahan jam masuk sekolah menyentuh banyak hal. Dari ritme tidur, kondisi psikis, beban orang tua, hingga akses aman menuju sekolah. Kritik ini bukan soal malas ba

Adiya Rafa Nugraha

Siswa Kelas XII di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Bandung

Pukul 06.00 - 06.59, pelukan orang tua pada anaknya yang akan masuk sekolah, 25 September 2024. (Foto: Anka Lasase Liam/KawanBergerak)

23 Juli 2025


BandungBergerak.id – Jam dinding belum genap menunjuk pukul enam. Langit masih basah sisa gelap, dan mata anak-anak sekolah baru setengah terbuka. Di Jawa Barat, kebijakan sekolah masuk pukul 6.30 pagi mulai diterapkan dengan dalih menumbuhkan disiplin, produktivitas, dan daya saing pelajar. Tapi siapa yang benar-benar diuntungkan dari kebijakan ini? Dan lebih penting: siapa yang dikorbankan?

Narasi "bangun pagi adalah kunci sukses" sudah terlalu sering dipakai untuk membenarkan kebijakan semacam ini. Tapi seiring waktu, narasi ini tidak lagi terdengar seperti dorongan, melainkan perintah yang menindas. Tidur anak-anak dipangkas, ritme alami tubuh mereka diganggu, dan waktu istirahat menjadi mewah. Semua demi disiplin versi negara.

Dalam banyak kasus, yang dimaksud "disiplin" bukanlah kemandirian atau kesadaran diri, melainkan kepatuhan. Anak-anak dibentuk untuk patuh pada waktu, bukan mengelola waktu. Mereka tidak diberi ruang untuk memahami kenapa pagi buta harus ditempuh dengan seragam dan sepatu, hanya diminta ikut dalam barisan yang ditentukan.

Padahal, banyak studi yang membuktikan bahwa jam biologis remaja cenderung lebih aktif di malam hari dan memerlukan waktu tidur lebih lama di pagi hari. Mengacuhkan fakta ini sama saja dengan mengorbankan kesehatan mental dan fisik siswa demi efisiensi birokratis. Remaja mengalami pergeseran ritme sirkadian. Mereka baru bisa tidur lebih larut dan sulit untuk bangun pagi.

Baca Juga: PELAJAR BERSUARA: Mendefinisikan Ulang Dinamika Tatanan Dunia
PELAJAR BERSUARA: Memaknai Jingga Karya  Efek Rumah Kaca
PELAJAR BERSUARA: Andaikan Kampus Setuju Menerima Konsesi Tambang

Studi Bangun Pagi

Studi di UMN Minneapolis menemukan bahwa pengunduran jam masuk sebanyak satu jam membuat siswa tidur 34 menit lebih lama, meningkatkan kehadiran dan suasana hati. American Academy of Pediatrics bahkan merekomendasikan agar siswa SMP–SMA tidak masuk sebelum pukul 8.30 pagi untuk mendukung kebutuhan tidur 8,5-9,5 jam per malam.

Para pengambil kebijakan jarang benar-benar menjadi bagian dari realitas murid. Mereka tak merasakan dinginnya pagi saat berjalan kaki menuju sekolah, atau tekanan mental saat harus belajar dengan mata yang masih berat. Mereka berbicara atas nama "disiplin dan daya saing" tapi melupakan bahwa yang sedang mereka bentuk adalah manusia, bukan mesin produksi nilai.

Penelitian URMC (2017) menunjukkan bahwa masuk sebelum pukul 8.30 pagi berisiko menimbulkan depresi dan kecemasan pada remaja karena kualitas tidur menurun. Data LIPI: 72,7 persen pelajar tidak cukup tidur, dan mereka jadi rentan terhadap gangguan mental. Di Indonesia, psikolog Ayoe Sutomo menyatakan bahwa masuk pagi bikin anak kurang tidur dan menyebabkan stres keluarga.

Beberapa negara maju memajukan jam masuk sekolah seperti Connecticut (AS) yang mensyaratkan murid masuk tak sebelum pukul 8.30 pagi. Di Indonesia, peneliti dari Digital Mama mengkritik jam 6.30 pagi, yang cenderung membuat siswa kembali tidur di kelas karena mengantuk.

Kritik terhadap kebijakan jam 6.30 pagi bukan soal malas bangun pagi. Ini tentang hak istirahat, hak atas kesehatan mental, dan hak untuk tidak dimanipulasi oleh standar semu yang dijual atas nama "kemajuan pendidikan." Karena terlalu banyak hal yang dianggap wajar di sekolah, padahal membentuk luka jangka panjang.

Anak-anak tidak lagi melihat sekolah sebagai ruang yang aman untuk bertumbuh, tapi sebagai tempat yang harus ditaklukkan. Mereka berangkat dengan mata sembab, pikiran kosong, dan energi setengah. Daya pikir belum aktif, tapi sudah disuruh memahami logaritma. Konsentrasi belum penuh, tapi sudah harus menyerap lima mata pelajaran berturut-turut.

Menurut Trisa Triandesa (neurosains), masuk pukul 06.00-06.30 WIB sangat berbahaya bagi otak anak karena mereka belum siap kognitif saat memulai pelajaran. Lebih miris lagi, ketimpangan sosial memperburuk dampak kebijakan ini. Mereka yang tinggal jauh dari sekolah harus bangun pukul 4 pagi. Mereka yang tidak punya kendaraan harus berjalan atau naik angkot dalam gelap. Yang kaya bisa tidur sedikit lebih lama karena diantar mobil, yang miskin harus berdamai dengan dingin dan bahaya jalanan.

Sekolah Bukan Pabrik

Dalam logika kapitalistik, lebih pagi berarti lebih produktif. Tapi di dunia pendidikan, lebih pagi tidak otomatis berarti lebih efektif. Kita lupa bahwa sekolah bukan pabrik. Anak-anak bukan karyawan. Dan belajar bukan hanya soal menyerap pelajaran, tapi juga soal kesiapan tubuh dan pikiran. Ironisnya, para murid justru diajarkan untuk mengabaikan tubuh mereka sendiri. Mereka belajar bahwa mengantuk itu lemah, dan lelah itu cengeng. Mereka mulai menyangka bahwa yang kuat adalah yang bisa terus bangun paling pagi, terlepas dari apa yang dirasakan.

Beberapa dampak yang ditimbulkan antara lain kurang tidur kronis, penurunan konsentrasi, mood tidak stabil, lelah terus menerus, kesehatan mental terganggu, risiko tinggi depresi dan kecemasan, penurunan prestasi dan keterlambatan sekolah, serta rendahnya kehadiran dan prestasi akademik. Kita sedang membangun generasi yang terbiasa menekan dirinya sendiri, bahkan sebelum dunia mulai menekannya. Dan semua ini dimulai dari kebijakan yang terlihat sederhana: jam masuk sekolah dimajukan.

Dalam sejarah kebijakan pendidikan, perubahan jam sekolah sering kali hanya soal angka. Tapi angka di papan pengumuman itu menyentuh banyak hal, dari ritme tidur, kondisi psikis, beban orang tua, hingga akses aman menuju sekolah. Angka itu menjadi simbol siapa yang didengar dan siapa yang diabaikan.

Para pembuat kebijakan semestinya belajar bahwa perubahan tidak selalu dimulai dari pengaturan waktu. Perubahan yang berarti dimulai dari keberanian untuk melihat murid sebagai manusia utuh, bukan objek yang harus dibentuk sekencang mungkin agar masuk ke cetakan ideal. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan mungkin bangga karena berhasil "menata ulang" waktu sekolah. Tapi mereka lupa, bahwa waktu yang dipakai anak-anak itu bukan sekadar jam dinding, itu waktu tumbuh mereka, waktu istirahat mereka, waktu belajar mereka yang seharusnya manusiawi.

Jika pendidikan adalah soal membentuk manusia yang berpikir, maka izinkan mereka untuk berpikir dalam keadaan sadar, segar, dan cukup tidur. Dan jika sekolah adalah ruang tumbuh, maka pertumbuhan itu tidak bisa dipaksakan lewat kebijakan yang bahkan tidak mau mendengar keluhan tubuh dan hati mereka. Pendidikan bukan soal siapa yang datang paling pagi. Tapi siapa yang pulang paling mengerti.

Catatan: 

Tulisan ini bukan ajakan membangkang, melainkan undangan berpikir. Bahwa disiplin tidak harus berarti represi, dan bahwa pendidikan yang baik adalah yang memberi ruang, bukan menambah tekanan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//