• Lingkungan Hidup
  • Warga Indramayu dan Sukabumi Menolak PLTU dan Penggunaan Biomassa

Warga Indramayu dan Sukabumi Menolak PLTU dan Penggunaan Biomassa

Para petani Indramayu dan Sukabumi mengeluhkan keberadaan PLTU meningkatkan biaya produksi dan mengancam hasil pertanian.

Petani Jawa Barat melakukan aksi damai menolah PLTU batu bara dan biomassa, 21 Oktober 2025. (Foto: Dokumentasi Trend Asia)

Penulis Awla Rajul29 Oktober 2025


BandungBergerak - Tanggal 21 Oktober 2025 lalu diperingati sebagai Hari Internasional #Bigbadbiomass atau peringatan dampak buruk dari penggunaan biomassa. Di Jawa Barat, sejumlah masyarakat di Sukabumi dan Indramayu menggelar aksi damai sebagai bentuk penolakan terhadap penggunaan oplosan (co-firing) biomassa di PLTU yang berada di dua kawasan tersebut.

Jaringan Tanpa Asap PLTU Indramayu (Jatayu) menggelar aksi di sekitaran PLTU dengan membentangkan spanduk dan poster. Sementara Asihkan Bumi, komunitas anak muda Sukabumi menggelar aksi di sekitar PLTU Pelabuhan Ratu. Sejumlah petani di Kecamatan Waluran, Sukabumi juga menggelar aksi di lahan garapannya.

“Keberadaan PLTU 1 Indramayu membebani pertanian kami. Setelah ada PLTU 1 Indramayu kami terbebani dengan modal yang lebih banyak untuk menggarap lahan. Kami tidak pernah mendapatkan solusi. Kami sebagai petani memperjuangkan ketahanan pangan, tapi diganggu oleh keberadaan PLTU,” kata Ahmad Yani, perwakilan Jatayu, dikutip dari siaran pers Trend Asia.

Jatayu sejak lama memperjuangkan ketahanan pangan. Hadirnya PLTU membuat alam yang menjadi sumber kehidupan menjadi rusak. Hasil pertanian dan laut menurun akibat pencemaran yang terjadi disebabkan oleh PLTU. Upaya penolakan pembakaran batu bara yang sudah dilakukan sejak lama, justru direspons oleh Bupati Indramayu dengan penandatanganan perjanjian penggunaan biomassa di PLTU Indramayu dengan PT. PLN. PLTU Indramayu sudah menerapkan skema oplos biomassa dengan batu bara sejak 2021.

Serupa dengan pemerintah daerah yang tidak berpihak kepada warga terdampak, pemerintah pusat juga tidak memberikan solusi. Presiden Prabowo Subianto bahkan berambisi menjadi raja bioenergy dan swasembada pangan di tahun 2025. Hal ini disampaikannya dalam Sidang Umum PBB September lalu.

Pemerintah Indonesia melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN) berencana mengoplos bahan bakar 52 PLTU di Indonesia dengan 5-10 persen biomassa berbentuk pelet kayu, serpih kayu, atau serbuk gergaji. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dibutuhkan pelet kayu sekitar 10,2 juta ton per tahun dan menebang 625.000 sampai 2,1 juta hektare hutan.

Penerapan biomassa sejak lama dikhawatirkan tidak mampu menjawab persoalan iklim, termasuk transisi energi. Biomassa dinilai akan membuka lahan besar-besaran untuk kebun energi. Sementara dampaknya dirasakan langsung oleh petani dan nelayan. Di Indramayu, proyek oplos batu bara dan biomassa ini mencemari sawah dan perairan.

LBH Bandung memandang penerapan biomassa di PLTU Indonesia mencederai hak asasi manusia warga. Pencemaran lingkungan akibat pembakaran batu bara sejak lama menurunkan akses warga terhadap alam. Warga sekitar PLTU menjadi korban langsung yang menerima dampak buruk dari energi kotor.

“Alih-alih menghentikan pencemaran yang telah terjadi, negara hadir untuk memperpanjang umur pencemaran tersebut dengan solusi yang seolah-olah hijau. Biomassa digagas oleh negara untuk memperpanjang umur PLTU batu bara yang seharusnya segera dihentikan. Seharusnya, negara berperan aktif dalam hal pemenuhan penghidupan yang layak dan hak atas lingkungan yang baik,” ungkap LBH Bandung, mengutip dari siaran pers yang dipublikasikan Kamis, 23 Oktober 2025.

Maulida Zahra, Pengacara Publik LBH Bandung menyatakan, dampak penggunaan biomassa di PLTU cukup berdampak terhadap masyarakat sekitar. Mobil pengangkut biomassa berlalu-lalang di sekitar permukiman warga. Lalu lalang mengakibatkan serbuk kayu beterbangan ke mana-mana. Pernyimpanan serbuk kayu ini juga ditaruh dekat dengan pemukiman warga.

“Pemulihan lingkungan (yang harus dilakukan) dengan cara mempercepat pensiun PLTU, bukan memperpanjang usia pltu, karena dengan menggunakan teknologi co-firing biomass di PLTU artinya sama saja dengan memperpanjang usia PLTU. Yang secara otomatis memperpanjang penderitaan rakyat yg terkena dampak secara langsung atau warga di sekitar PLTU,” kata Maulida kepada BandungBergerak, Senin, 27 September 2025.

Baca Juga: Rekomendasi Rhizoma Indonesia untuk Asian Development Bank, Investor yang Akan Mempensiunkan PLTU Cirebon 1
Gugatan FICMA terhadap Aktivis Melemahkan Kampanye Bahaya Asbes bagi Kesehatan Masyarakat

Petani Jawa Barat melakukan aksi damai menolah PLTU batu bara dan biomassa, 21 Oktober 2025. (Foto: Dokumentasi Trend Asia)
Petani Jawa Barat melakukan aksi damai menolah PLTU batu bara dan biomassa, 21 Oktober 2025. (Foto: Dokumentasi Trend Asia)

Orang Muda dan Petani di Sukabumi

Penerapan biomassa di Jawa Barat berhubungan erat di hulu dan hilir. Di hulu, para petani Waluran, Sukabumi terancam terusir dari lahan garapannya karena penanaman Hutan Tanaman Energi (HTE) untuk pasokan biomassa ke PLTU. Sementara masyarakat sekitar PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Indramayu terpapar langsung oleh pencemaran. Kedua PLTU ini sejak 2021 sudah mengoplos pembakaran biomassa dengan batu bara.

Komunitas orang muda Sukabumi, Asihkan Bumi menggelar aksi Big Bad Biomass 2025 karena kekhawatirannya sebagai kelompok pemuda yang memiliki harapan besar akan masa depan Sukabumi. Asihkan Bumi berpendapat, penggunaan teknologi co-firing biomassa di PLTU Pelabuhan Ratu justru memperpanjang usia PLTU yang seharusnya segera dihentikan.

Sementara petani di Waluran menggelar aksi di lahan garapannya. Mereka melakukan aksi damai dengan menanam 700 bibit tanaman di lahan. Bagi mereka, penanaman ini bermakna “menanam untuk melawan”.

“Kekhawatiran kami, akan mengakibatkan berkurangnya sumber mata air bersih dan gundulnya hutan. Tanah di Hanjuang Barat ini sudah kritis dan rawan bencana, kami khawatir proyek ini akan membawa bencana ataupun longsor,” tutur Fazri Mulyono, Warga Waluran Mandiri, Sukabumi, dikutip dari laman Trend Asia.

Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jawa Barat, Siti Hannah Alaydrus menyampaikan, alih-alih menghentikan pengoperasian PLTU, pemerintah malah menerapkan skema baru untuk memperpanjang usia dengan co-firing biomassa. Ia menegaskan, co-firing bukan solusi, tapi akal-akalan karena bebasan pencemaran yang ditimbulkan lebih besar.

“Co-firing bukan solusi yang menjadi kehendak warga karena pencemaran hujan abu tetap dirasakan di lahan pertanian warga. Tuntutan warga tetap sama, tutup PLTU 1 Indramayu dan hentikan skema-skema yang diklaim sebagai energi bersih yang diterapkan di PLTU 1 Indramayu,” kata Siti.

Pengkampanye Bioenergi Trend Asia, Bayu Maulana Putra menerangkan, pengembangan biomassa telah memunculkan banyak masalah baik di hulu ke hilir dalam rantai pasokannya. Kasus di Indramayu dan Pelabuhan Ratu hanyalah dua dari 16 PLTU di Jawa yang menerapkan skema oplos biomassa. Skema ini disinyalir cara untuk memperpanjang usia PLTU. Sementara beban kesehatan dan ekonomi masyarakat akibat kerusakan lingkungan menjadi dampaknya.

“Proyek biomassa merupakan bentuk perampasan lahan terencana dan mengonsentrasikan lahan di tangan korporasi. Hal ini akan memperuncing ketimpangan akses atas lahan di berbagai wilayah. Proyek ini mengakibatkan kebangkrutan bagi masyarakat dan memperdalam kerentanan. Cita-cita Presiden Prabowo soal Indonesia swasembada pangan justru akan semakin jauh akibat proyek biomassa, karena proyek ini mengancam kita ke gerbang krisis pangan,” kata Bayu, dikutip dari laman Trend Asia.

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//