Gugatan FICMA terhadap Aktivis Melemahkan Kampanye Bahaya Asbes bagi Kesehatan Masyarakat
Gugatan FICMA bermula setelah aktivis menang uji materi terhadap Peraturan Menteri Perdagangan yang mewajibkan produk asbes mencantumkan label peringatan bahaya.
Penulis Iman Herdiana20 September 2025
BandungBergerak - Pada April 2024, Asosiasi Pabrik Semen Fiber (Asosiasi Manufaktur Fiber Cement Indonesia/FICMA) mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Lembaga Pelindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yasa Nata Budi, serta sejumlah aktivis Leo Yoga Pranata, Ajat Sudrajat, Dhiccy Sandewa, dan lain-lain.
Gugatan ini berfokus pada putusan Mahkamah Agung yang memenangkan LPKSM Yasa Nata Budi dalam uji materi (judicial review) terhadap Peraturan Menteri Perdagangan No. 25 Tahun 2021. Putusan tersebut mengharuskan produk asbes untuk mencantumkan label peringatan bahaya dalam bahasa Indonesia, dengan tujuan memberikan informasi yang jelas kepada konsumen mengenai bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh asbes.
FICMA menilai keputusan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian senilai 790 miliar rupiah dan menyatakan bahwa proses judicial review yang dilakukan oleh LPKSM Yasa Nata Budi tidak melibatkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2013 tentang Ratifikasi Konvensi Rotterdam. Oleh karena itu, mereka mengajukan gugatan untuk membatalkan putusan Mahkamah Agung serta menuntut ganti rugi.
Dukungan Internasional untuk LPKSM Yasa Nata Budi
Gugatan FICMA terhadap LPKSM Yasa Nata Budi dan para aktivis menarik perhatian luas, termasuk dari berbagai organisasi internasional yang mendukung upaya LPKSM dalam melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya asbes. Berbagai lembaga riset, serikat buruh, dan organisasi kesehatan turut mengirimkan surat dukungan atau amicus curiae kepada pengadilan.
Beberapa organisasi terkemuka seperti Collegium Ramazini di Italia, McQuarie University di Australia, dan Serikat Buruh Australia, mengingatkan bahwa paparan asbes, baik dalam bentuk apa pun, terbukti menyebabkan sejumlah jenis kanker, termasuk mesotelioma, kanker paru-paru, dan kanker ovarium.
“Kami mendesak agar semua produk yang mengandung asbes yang dijual di Indonesia diwajibkan mencantumkan label peringatan kesehatan yang menginformasikan kepada industri, pekerja, dan masyarakat bahwa semua jenis asbes, termasuk asbes krisotil, merupakan penyebab kanker pada manusia,” kata Melissa McDiarmid, Presiden Collegium Ramazini.
Liam O’Brian, Asisten Sekretaris Serikat Buruh Australia, menyoroti bahwa gugatan yang dilakukan FICMA sebagai strategic lawsuits against the public interest (SLAPP), yaitu bagian dari pola lebih besar yang sering digunakan oleh korporasi besar untuk membungkam organisasi buruh dan kesehatan masyarakat yang memperjuangkan kepentingan pekerja dan publik.
“Kami mendesak pengadilan untuk menolak perkara ini dan memastikan bahwa pekerja serta masyarakat memperoleh informasi yang lengkap mengenai risiko yang terkait dengan penggunaan asbes krisotil maupun bentuk asbes lainnya,” ujar O’Brian, dalam keterangan amicus curie yang dikirimkan melalui kuasa hukum LPKSM Yasa Nata Budi.
Selain itu, organisasi internasional lainnya, seperti Building and Wood Worker’s International (BWI) dan International Ban Asbestos Secretariat (IBAS), Inggris, Asian Ban Asbestos Network (ABAN), Jepang, Asian Citizen’s Center for Environment and Health (ACCEH), Korea, Brazilian Association of the Asbestos-Exposed, Brazil, Merseyside Asbestos Victim Support Group Liverpool, Inggris Raya (MAVS) mendukung keputusan Mahkamah Agung Indonesua yang mewajibkan label peringatan pada produk asbes.
Mereka menyatakan bahwa keputusan tersebut merupakan langkah krusial dalam melindungi kesehatan masyarakat dan pekerja.
Bahaya Asbes bagi Kesehatan Masyarakat
Asbes, yang sering digunakan dalam industri bangunan, khususnya sebagai bahan atap, memiliki risiko kesehatan yang sangat serius. Semua jenis asbes, termasuk asbes krisotil, telah terbukti menjadi karsinogen (penyebab kanker) bagi manusia. Paparan asbes dapat menyebabkan berbagai jenis kanker, seperti mesotelioma, kanker paru-paru, kanker laring, kanker ovarium, dan kanker gastrointestinal. Paparan bahkan dalam jumlah kecil atau sekali pun tetap berisiko menyebabkan penyakit mematikan.
Organisasi kesehatan internasional dan lembaga riset seperti Collegium Ramazini yang telah lama melakukan riset dampak asbes menegaskan, tidak ada paparan asbes yang aman. Semua bentuk paparan asbes dapat menyebabkan penyakit yang mengarah pada kematian yang menyakitkan. Oleh karena itu, penting bagi konsumen, pekerja, dan masyarakat untuk diberi informasi yang jelas mengenai risiko tersebut, salah satunya dengan mencantumkan label peringatan pada produk yang mengandung asbes.
Para ahli seperti Mathew J Pieters dari McQuarie University Australia menegaskan, paparan asbes, termasuk paparan terhadap asbes krisotil, dapat menyebabkan seluruh spektrum penyakit terkait asbes.
“Setiap pernyataan yang menyatakan keraguan bahwa paparan asbes, termasuk paparan tunggal terhadap krisotil, bukan merupakan karsinogen bagi manusia adalah tindakan ceroboh dan tidak sejalan dengan bobot bukti epidemiologis serta bukti ilmiah dasar,” ujar Mathew J Pieters.
Organisasi Bantuan Internasional yang didirikan serikat buruh Australia, Union Aid Abroad APHEDA mengingatkan pemerintah Indonesai bahwa sebagai penandatangan IPEF (Indo Pacific Economic Forum) bahwa di dalam pilar perjanjiannya negara IPEF sepakat untuk bekerja sama melakukan transisi keluar dari asbes menuju alternatif yang lebih aman serta bersama-sama menurunkan angka penyakit terkait asbes.
Kate Lee, Pejabat Eksekutif APHEDA mengatakan terdapat bukti yang jelas dan tak terbantahkan mengenai risiko kanker dan penyakit lain yang terkait dengan paparan asbes krisotil dan semua jenis asbes terhadap manusia.
“Asian Development Bank (ADB) memutuskan untuk melarang seluruh material yang mengandung asbes dari setiap investasi yang didukungnya, efektif berlaku mulai Januari 2026,” ungkap Lee.
Dukungan untuk Para Aktivis
Meskipun gugatan FICMA terus berlanjut di persidangan, LPKSM Yasa Nata Budi memperoleh dukungan kuat dari masyarakat internasional. Organisasi seperti Union Aid Abroad APHEDA, Asian Ban Asbestos Network (ABAN), dan berbagai jaringan advokasi di seluruh dunia menegaskan pentingnya melawan upaya pembungkaman terhadap partisipasi publik dalam melawan bahaya asbes.
Dukungan ini semakin memperkuat posisi LPKSM Yasa Nata Budi dalam melawan gugatan tersebut, dengan harapan agar pengadilan menolak tuntutan FICMA dan memperkuat hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang jelas dan benar mengenai bahaya asbes.
Koordinator Indonesia Ban Asbestos Network (Inaban) Darisman menegaskan, tekanan internasional terhadap FICMA akan semakin besar, terutama karena industri asbes berusaha mempertahankan keuntungan finansial mereka meski membahayakan kesehatan publik.
“Kami tahu siapa di balik semangat FICMA menggugat LPKSM Yasa Nata Budi. Mereka adalah jaringan pelobi internasional yang memiliki uang besar dan berkepentingan agar Indonesia terus menggunakan asbes. Kita akan terus lawan mereka dengan solidaritas,” ujar Darisman.
Darisman menilai gugatan FICMA merupakan upaya untuk menghindari tanggung jawab.
"Gugatan FICMA itu adalah upaya mereka lari dari tanggung jawab dimasa depan ketika banyak korban bermunculan. Justru LPKSM telah baik hati agar mereka segera menyesuaikan usahanya dengan produk yang aman bagi kesehatan masyarakat," ungkapnya.
Baca Juga: Polusi PLTU Batu Bara Menurunkan Kualitas Udara ...
Mengurangi Dampak Polusi Udara secara Mandiri
Haris Azhar: SLAPP itu untuk Mempermasalahkan Partisipasi Warga
Sidang gugatan FICMA di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memasuki agenda pemeriksaan para saksi dan ahli, 15 September 2025. Haris Azhar, seorang ahli yang dihadirkan LPKSM, menjelaskan kaitan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan gugatan ini, yang menurutnya menyasar partisipasi publik. Keahlian Haris dalam advokasi HAM dianggap penting untuk memperjelas konteks ini dalam persidangan.
Leo Yoga Pranata, koordinator advokasi LPKSM Yasa Nata Budi, menegaskan bahwa gugatan FICMA semakin terbukti bertujuan untuk menghentikan upaya mereka dalam meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya asbes.
"Dari semua saksi yang dihadirkan FICMA tidak ada satupun yang menjelaskan bentuk kerugian yang diderita FICMA atas putusan MA yang memenangkan kami. Jadi mereka ini sebenarnya menyasar aktivitas kami" tegas Leo.
Leo menambahkan bahwa kehadiran Haris Azhar sangat penting untuk menjelaskan tentang SLAPP, sebuah gugatan yang sering digunakan untuk melemahkan partisipasi publik dalam isu-isu sosial atau lingkungan.
"SLAPP bukan hanya terjadi di kasus lingkungan hidup, tapi bisa terjadi di berbagai sektor," ujarnya.
Dalam persidangan yang berlangsung hingga malam, Haris Azhar menjelaskan bahwa prinsip dasar gugatan SLAPP adalah serangan terhadap partisipasi publik. Serangan ini bisa berupa gangguan fisik, fitnah, ancaman hukum, hingga gangguan administratif. Tujuannya adalah melemahkan posisi para pelaku partisipasi publik dengan cara membebani mereka secara waktu dan biaya, sehingga mereka gagal untuk bekerja secara optimal.
"SLAPP itu untuk mempermasalahkan partisipasi warga. SLAPP sudah menjadi kepedulian PBB. Pelapor khusus HAM di PBB melaporkan banyak temuan praktik bisnis melakukan serangan terhadap aktivisme warga kepada OHCHR. Yang diserang adalah partisipasi publik. Partisipasi publik tidak ada batasnya,” tegas Haris.
Konferensi Pers FICMA
Pesidangan gugatan FICMA memicu polemik bahaya asbes atau semen fiber. Pada periode yang sama dengan persidangan, Fiber Cement Manufacturer Association menggelar konferensi pers di Hotel Shangrila, Jakarta, Selasa, 16 September 2025, yang hasilnya tayang di beberapa media daring. Konferensi pers yang dihadiri Direktur Eksekutif FICMA Jisman, ahli toksikologi international David M. Bernstein, dan peneliti dari Universitas Indonesia Sjahrul Meizar Nasri itu membantah bahaya asbes atau semen fiber putih.
Sementara itu, laman FKM UI, 13 Agustus 2025 merilis peluncuran kegiatan penelitian sekaligus melakukan uji coba pengukuran debu chrysotile pada produk asbes yang telah digunakan masyarakat selama lebih dari tiga dekade. Peluncuran ini dilakukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) melalui Pusat Kajian Terapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PKTK3) LPPM FKM UI bekerja sama dengan Public Health Innovation and Research Laboratory (PHIR-Lab) UI.
Sjahrul Meizar Nasri bersama Doni Hikmat Ramdhan merupakan peneliti yang terlibat dalam penelitian ini. Dua Guru Besar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) ini mendapatkan dukungan pendanaan riset FICMA.
Disebutkan bahwa tujuan utama riset untuk mengevaluasi kualitas dan keamanan produk lembaran semen bergelombang setelah masa pakai 30–40 tahun. Melalui uji eksperimental di laboratorium, FKM UI ingin memastikan bahwa kekuatan ikatan material produk mampu mencegah pelepasan serat chrysotile yang berisiko terhirup oleh pengguna.
Dalam uji coba, tim peneliti menyiapkan ruang eksperimen berupa booth kedap berukuran 3x3x3 meter dengan sistem ventilasi khusus. Produk asbes bekas pemakaian masyarakat digiling, lalu disemprot menggunakan blower hingga menghasilkan debu halus. Debu yang terbentuk kemudian diambil sampelnya dengan peralatan air sampling selama 3,5 jam pada beberapa titik ketinggian. Selanjutnya, sampel dianalisis di laboratorium menggunakan metode PCM dan standar NIOSH 7400 untuk mengetahui kadar serat chrysotile di udara.
“Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah terkait konsentrasi serat chrysotile di udara, apakah masih berada di bawah atau melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) 0,1 f/cc. Apabila hasilnya menunjukkan kadar di bawah NAB, maka dapat disimpulkan bahwa produk memenuhi standar kualitas dan aman digunakan sepanjang masa pakainya,” tutur Doni, diakses dari laman resmi FKM UI.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB