Polusi PLTU Batu Bara Menurunkan Kualitas Udara karena Polusi
Polusi udara Indonesia tahun 2025 menunjukkan dampak serius bagi kesehatan masyarakat. PLTU batu bara turut berkontribusi menghasilkan polusi.
Penulis Awla Rajul30 Juli 2025
BandungBergerak.id - Polusi udara kembali menjadi sorotan serius pada tahun 2025, seiring meningkatnya kualitas udara buruk di berbagai kota besar Indonesia. Kota Tangerang Selatan tercatat sebagai kota dengan tingkat polusi udara tertinggi, dengan indeks kualitas udara (AQI) mencapai 155. Diikuti oleh DKI Jakarta di urutan kedua dengan indeks 140. Kedua kota ini masuk dalam kategori tidak sehat, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan penderita penyakit pernapasan.
Secara nasional, Indonesia berada di urutan ke-15 negara dengan kualitas udara terburuk di dunia, dengan indeks AQI rata-rata sebesar 101. Kondisi ini mengindikasikan bahwa secara keseluruhan, kualitas udara Indonesia tergolong tidak sehat dan berpotensi memicu dampak kesehatan yang serius.
Salah satu penyumbang terbesar pencemaran udara di Indonesia adalah keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara, yang menyebar luas di beberapa wilayah, terutama di Jawa Barat.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, terdapat sedikitnya tujuh PLTU batu bara di provinsi ini yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional. PLTU tersebut tersebar di Kabupaten Bekasi, Karawang, Purwakarta, Indramayu, Cirebon, dan Sukabumi, dengan konsentrasi tertinggi berada di wilayah utara.
PLTU batu bara sejak awal telah menuai kontroversi dari sisi lingkungan hidup, karena menggunakan energi kotor yang menghasilkan polusi udara dan turut memicu krisis iklim. Dampaknya kini dirasakan langsung oleh masyarakat, khususnya warga Jakarta yang masih dihantui oleh ancaman serius terhadap kesehatan udara yang mereka hirup sehari-hari.
“Setiap napas yang dihirup oleh penduduk kota menjadi semakin berisiko, dengan partikel-partikel berbahaya dan gas beracun yang menyusup ke dalam sistem pernapasan. Dalam keseharian, polusi udara menyebabkan peningkatan kasus penyakit pernapasan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA),” demikian pernyataan resmi Walhi yang diakses Selasa, 29 Juli 2025.
Dampak buruk PLTU tidak hanya bersifat umum, namun juga menargetkan kelompok paling sensitif. Dilla Anindita, dokter umum dari Kawan Medis menerangkan, paparan polutan dari pembakaran batu bara dapat berdampak langsung pada kehamilan dan perkembangan anak.
Baca Juga: Awla Rajul Rhizoma Indonesia bersama jaringan Aksi Muda Kolektif menyusun naskah kebijakan (policy brief) bertajuk Cerobong PLTU Mencemari Bumi Babelan, diterbitkan
Menggugat Penghapusan Daftar Cagar Budaya Kota Bandung di Perda Baru
Menurutnya, angka kelahiran bayi dengan berat badan rendah berkaitan dengan tubuh ibu yang menyerap polutan ke dalam tubuhnya. Ada juga dampak lainnya, seperti, senyawa merkuri yang bersifat neurotoksin, dapat merusak sistem persarafan.
"Efek tersebut bisa gangguan perkembangan untuk otak dan sistem persarafan gitu. Dan itu lebih banyak dominannya itu ditemukan pada usia anak dan bayi. Makanya kalau memantau nanti jangan cuma memantau angka ISPA-nya saja,” lanjut Dilla, pada diskusi Listrik untuk Industri, Asap untuk Warga: Krisis dan Gerakan Perlawanan Warga PLTU Babelan, di Toko Buku Pelagia, Sabtu, 12 Juli 2025.
Selain dampak dari aktivitas pembakaran, ancaman lain datang dari aktivitas pengangkutan batu bara yang kerap melintasi permukiman warga. “Apa bedanya nanti orang yang bekerja di tambang dengan orang yang jarak rumahnya cuma beberapa meter dilewatian batu bara bolak-balik,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa meski belum ditemukan kasus secara spesifik, dampaknya bisa menyerupai penyakit paru-paru hitam atau black lung yang biasa dijumpai pada para pekerja tambang.
Kawan Medis menghadapi tantangan dalam mengadvokasi isu kesehatan di sekitar PLTU. Dilla mengungkapkan bahwa pelayanan kesehatan setempat cenderung menutupi data-data seperti ini. Bahkan ketika ditemukan kasus ISPA, sering kali sebabnya disebutkan bukan karena aktivitas PLTU, tetapi akibat polusi atau rokok.
Sebagai langkah awal, ia menyarankan pendekatan berbasis komunitas. “Kalau mau cek, disarankan ke spesialis paru. Walaupun, cukup sulit mencari spesialis paru yang aware dengan isu ini. Jadi warga bisa mulai dengan pencatatan kesehatan komunitas. Gejala apa yang dialami masyarakat, lalu akan mengarah ke mana. Nah itu bisa jadi data untuk dipakai masyarakat ke depan ketika ada kasus kesehatan masyarakat,” pungkasnya.
Di tengah situasi ini, Kota Sorong di Papua Barat menjadi pengecualian yang menggembirakan. Kota ini mencatatkan diri sebagai wilayah dengan udara terbersih di Indonesia tahun 2024, dengan indeks kualitas udara hanya 39, jauh di bawah rata-rata nasional. Meski demikian, data tersebut menunjukkan bahwa kualitas udara sehat masih menjadi kemewahan di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama yang berada di sekitar PLTU.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB